Minggu, 14 Desember 2008

Dicari, ksatria Antropolgi…

Dicari, ksatria Antropolgi…

Tidak terasa udah satu minggu kami meninggalkan Papua setelah berakhirnya acaara sarasehan Antropolgi (tadi malam di ingetin sama Helen [USU]waktu aku smsan sama dia), oleh-oleh dari papua berupa virus batuk masih bercokol ditubuh ku :) aku yakin hampir semua anak2 yang lain juga kena flu atau batuk sepulang dari papua. Tapiii kenapa aku masih nulis berbagai hal tentang sarasehan kemaren padahal udah satu minggu dirumah… yahh gimana bisa lupa sih, kan pengalaman yang unforgetable banget towww.

Waktu di Papua kuanggeen banget sama anak2 antro UNAND taman2 seangkatan ku,, rasanya hari2 terakhir waktu di Papua kemaren pikiran gw melayang jauh kepadang karena kangen teman2 di Padang. Sekarang setelah di Padang eeh malah kangen anak2 peserta sarasehan, MMhhh jadi nyesel juga karena tidak berusaha lebih mengenal mereka jauh lebih dekat waktu sarasehan kemaren (apa lagi anak2 UNCEN yang beru ketemu pas di Papua aja, kalau yang lain mah mendingan karena kami senasib dan seperjuangan waktu di kapal). Nyampe dipadang hari selasa tanggal 9 kemaren sedangkan dari hari sabtu tanggal 6 melancong menghabiskan uang sambil menikmati udara kota Jakarta yang berpolusi dan merasakan Idul Adha di Jakarta. Tiga hari di Jakarta cukuplah,, nothing special dari kota "sakit" ini selain gedung2 tinggi dan banyaknya pusat perbelanjaan mewah, sempat juga ke terminal senen buat dari buku2 langka yang ga bakalan aku temui di Padang ini (makasih ya tek udah nemanin nyari buku2 bagus). Waktu pulang di taxi perjalanan menuju bandara, dari tol terlihat hamparan kota jakarta yang penuh sesak dengan bangunan. Tanpa pohon! Tidak ada pohon atau tanaman pelindung apapun yang tampak sejauh mata memandang. Aku tiba2 berfikir bagaimana kota "sakit" ini dapat bekerja dengan suatu sistem yang kompleksnya tanpa ada keserasian antara penghuni (manusia) dengan alam tempat mereka berpijak. Kota ini seperti apa yahh?? Seperti robot, benda mati atau sejenisnya. Ga ada suatu hubungan baik antara alam dan manusia, dan kayanya kedua aspek ini harus sama2 dibenahi dan disembuhkan baik alam maupun manusia sipenghuni alam dari kesakitan yang mereka miliki.

Kota ini butuh ksatria2 Antropologi (hueheheh bu Yun saya pinjam istilah ibu yah, "ksatria antropologi")kajian2 mengenai Antropologi perkotaan menjadi cukup relevan apabila orang menyadari betapa sakitnya kota ini, dan juga kajian tentang ekologis (Atropologi Ekologi tentunya) jadi teringat dengan kata2 temanku MangQ [UGM] waktu sarasehan kemaren (waktu kami di lapangan)di Kampung Tablanusu, waktu aku tanya kenapa ada banyak sekalu buku2 yang berkaitan dengan lingkungan yang dia bawa? Trus aku tanya lagi nulis tentang ekologis yah? Dia jawab "iya, karena masalah yang paling kelihatan dan sangat relevan sekarang ini adalah masalah lingkungan"

Yaahhh gitulah sekedar menuliskan apa yang ada kupikirkan sekarang ini, bahwa Ksatria Antropologi memang sangat dibutuhkan saat ini,, karena itu aku semakin jatuh cinta pada "Ilmu sakti" ini, dan tugas2 selama tia minggu aku izin sarasehan buanyak buanget menumpukkk. Duh rasanya kalo belum selesai belom bisa tidur tenang niiiyyy. Musti semangat kalau mau jadi Ksatria Antropologi di masa depan!!!!

Sabtu, 13 Desember 2008

Kampung Tablanusu












Kampung Tablanusu

Antropologi tanpa kerja lapangan sama aja boong, jadi dihari ke tiga kami semua berangkat ke desa Tablanusu di distrik Deprapre, kurang lebih dua jam perjalanan dari pusat kota Jayapura. Seperti biasa walaupun desa/kampung dan distrik ini masih terletak di Kabupaten Jayapura yang merupakan Ibukota Provinsi Papua jalan kesana susah diakses, tidak ada sinyal telpo, dan bahkan jalan yang menghubungkan Tablanusu ke dunia luar baru dibuka dan belum selesai dikerjakan. Perjalanan ini serasa perjalanan Padang-Bukittinggi (padahal masih didalam kota Jayapura) hutan belantara dan jalan yang sangat rusak benar2 membuat perjalanan ini menjadi sangat "menantang" (thx to Ory [UGM] atas obrolan cerianya selama perjalanan)




Perjalanan lumayan lancar tanpa ada gangguan , ada patroli dari dinas perhubungan kalau sayatidak salah yang membuka jalan kami dengan sirine. Kampung ini benar2 sebuah kampung kecil bertipikal ekologis pantai. Pemikiman penduduk penduduk terpusat disepanjang pantai, tidak begitu banyak pemukiman yang agak jauh masuk ke arah gunung yang terletak dipedalaman. Diperkirakan ditak lebih dari seratus keluarga yang menguhi kampung ini, kantor kelengkapan kampung berupa lembaga adat dan semacam badan musyawarah desa trus ada bangunan sederhana yang ternyata sebuah posyandu. Ada SD negri yang berdekatan bahkan satu kompleks dengan sebuah bangunan gereja yang desainnya sangat sederhana (gereja kristen injili tanah papua, jemaat amos talbanusu) lalu ada sebuah makam cantik dengan yang lebih mirip dengan taman karena diatapi dan bannyak bunga2an disekitar makam.

Anehnya didesa sekecil ini yang jumlah keluarganya tidak terlalu banyak mereka sudah memakai sistem administrasi yang dari pemerintah seperti RT dan RW bahkan setiap gang ada namanya juga. Cukup well organize juga padahal secara adat kamung ini cukup ketat dengan peratudan dan sangat kuat dengan pemimpin nonformalnya (Ondoafi). Warga kampung ini ramah2 tua dan muda kalau berjumpa dengan kami para peserta sarasehan selalu menyapa dengan sapaan selamat pagi siang, atau malam.




Disambut dengan tarian Yospan digerbang desa aku terkejut dengan kondisi jalanan desa (bahkan pada awalnya aku hanya berpikir kalau ini keadaan ini hanya terdapat pada jalanan utama desa, tapi ternyata diseluruh desa) yang berbatu kerikil. Agak aneh rasanya berjalan sampai kaki kami terbenam cukum dalam ketika menginjak kerikil ini dan dibutuhkan energi yang cukup besar juga untuk berjalan didesa ini. Gejala alam yang cukup unik, mulai dari pantai sampai pada bagian yang cukup jauh kepelosok desa tidak ada tanah sama sekali, semuanya batu kerikil licin seperti batu yang berasal dari air gitu….




Pada malam harinya kami mendapat sedikit obrolan ilmiah mengenai tipkal riset ala Antropologi dari salah satu dosen Antro UNCEN (maap lupa namanya, beliau baru selesai S3 di UI) walau apa yang disampaikan si bapak mungkin hampir sudah semuanya kami dengar di kuliaj metode penelitian tapi karena yang menyampaikan adalah dosen UNCEN dan juga cara penyampaian yang ga ngebosenin maka kami memutuskan untuk melawan kantuk dan tetap bertahan, terus beliau juga sedikit share tentang riset mengenai Sperm culture di suku bangsa Marin di Merauke (mudah2an ga salah penulisannya). Wah jadi tambah semangat dan tertantang utnuk riset yang sedikit Ethnographical seperti ini dan kayanya lumayan asik juga yah (walaupun ada mungkin orang yang mempertanyakan dimana aspek terapan dari penelitian ini-- tapi pati ada dong). Waaahhh beruntung banget dapat menyaksikan upacara sakral seperti itu, walaupun orang awam mungkin berpendapat bahwa menyaksikan orang2 papua berhubungan seksual secara masal-bebas dan menampung sperma dan sekret vagina mereka setelah berhubungan bukanlah merupakan pemandangan yang tidak begitu enak dilihat.

Bekal sedikit bekal semalam kami perginakan untuk mengumpulkan data pada pagi harinya, tampaknya panitia juga (terutama seksi acara) kebingungan dan kurang prepare juga tentang konsep di sesi ini. Akhirnya kelompok kami (deni [USU] sebagai ketua kelompok) memutuskan untuk mengarahkan kepada mencari tau hubungan antara kultur masyarakat dengan potensi pariwisata yang ada di desa ini.




Penduduk asli kampung ini sudah dua kali bermigrasi dari tempat asal mereka, menurut cerita responden ku pada awalnya penduduk kampung ini bermukim di duabuah pulau yang berada di teluk yang didepan kampung yang sekarang ini, tetapi karena terjadi sebuah tsunami bereka yang selamat dari musibah ini kemudian membentuk perkampungan baru yang mereka sebut dengan kampung tua yang lumayan dekat dari kampung Tablanusu yang mereka diami sekarang, nama tua atau "kampung tua" jelas bukan terminologi lokal mereka karena kata tua adalah bahasa Indonesia atau mungkinkah ada kata tua didalam bahasa ibu mereka? Dan kenapa dinamakan kampung tua belum tergali sewaktu pengumpulan data. Mereka menjadikan kampung yang sekarang (kampung tablanusu) sebagai ladang umbi-umbian dan juga pisang sewaktu mereka masih tinggal di kampung tua sementara kebutuhan lain mereka penuhi dengan melakukan barter dengan penduduk dari kampung lain. Proses pemenuhan ekonomi dengan sistem barter ini dipererat dengan menukar pengantin antar kampung (exchange) dan pola menetap sesudah menikah adalah uxiriolokal (istri tinggal ddirumah kerabat suami), dari sini didapat sedikit prediksi bahwa mereka menganut sistem kekerabatan patrilinial. Margapun diturunkan dari pihak laki-laki. Sepuluh marga orang Tablanusu adalah somilena, danya, suwae, apasray, seronto, wambena, somisu, jufuai, seli, dan yakurimilena.

Karena keterbatasan kominikasi dengan informan berusia lanjut aku tidak cukup banyak mendapatkan gambaran mengenai kehidupan berumah tangga orang Tablanusu. Sebagaimana telah diungkapkan diatas kalau wanita setelah menikah akan tinggal dirumah kerabat suami, hubungan antara istri dan suami adalah seperti hubungan yang kaku. Dari informan wanita aku mendapatkan kesan bahwa mereka sepenuhnya menerima sebagai koodrat kalau seorang istri memang berada dibawah kekuasaan suami. Dan informan ku yang kedua seorang laki2 paruh baya (anak dari informan pertama) juga memperjelas identitasnya sebagai suami dengan berbagai hak istimewa yang ia miliki dan tidak dimiliki oleh istrimya.

Sambil berkelakar merka berdua bercerita "disini kalau istri tidak turut suami, istri dirotan"

Tampaknya adat patriaki sangat kuat melekat di kebudayaan mereka, aku sedikit bercerita tentang hubungan keluarga luas (termasuk pola menetap, warisan dan relasi suami dan istri) yang sangat matriakat karena memang Minangkabau memiliki sistem matrilinial mereka terkejut dan heran kenapa ada budaya yang sangat jauh berbeda dari kebudayaan mereka.

Karena bertambahnya jumlah penduduk dan tidak cukupnya lahan yang tersedia akhirnya penduduk yang terdiri dari 10 marga ini pindah membuka perkampungan baru yang mereka namakan dengan Tablanusu yang artinya tempat matahari terbenam (sangat indah bukan?)

Hampir seluruh penduduk Tablanusu menganut Protestan yang taat, sebuah gereja berdesain sederhana yang terdapat di sebelah SD diberinama "gereja Kristen Injili di danah Papua" sebelum menganut protestan mereka memiliki kepercayaan tradisional berupa menyembah roh nenek moyang dan juga berbagai roh gaib. Religi yang mereka anut sekarang sangat-sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kepercayaan tradisional dulu. Sekali lagi mereka sekarang adalah penganut Protestan yang taat dan selama wawancara aku mendapat kesan bahwa pengalaman masa mereka yang menyembah roh nenek moyang (atau mungkin bisa dikategorikan sebagai Polytheism) adalah sebuah masa kelam yang memalukan. Mereka risih untuk menjawab tentang kepercawaan mereka sebelum Protestan, ada nada penyangkalan dari bahasa mereka (seperti susah untuk mengakui bahwa mereka dulunya penganut paham politeisme).

"Mama masih ada tidak orang yang menyembah nenek moyang?" aku bertanya pada informan

"Kalau ada orang yang masih begitu mereka akan cepat dipanggil"

Perlu waktu lama bagiku untuk memahami frase "cepat dipanggil" yang ternyata maknanya adalah mati

Ternyata penyembahan selain Tuhan adalah merupakan perbuatan yang sangat terkutuk bagi orang Tablanusu

"yang sepeti itu (politeisme) hanya ada pada saat kami belum terang dan belum mendapat firman Tuhan" tutur informan ku

Bahkan informan lain menambahkan dengan sedikit nada takut dan juga mantap akan kepercayaan baru mereka kutipan Alkitab yang melarang manusia menyembah selain Tuhan. Menarik.




Agama protestan dibawa oleh orang Ambon (yang dikristenkan sebelumya oleh orang Jerman)sewaktu mereka mendiami kampung Tua. Hari masuknya Injil ke kampung mereka peringati setiap tahunnya dengan berpawai keliling kampung dan mengakhirinya dengan misa sebagai syukuran digereja kecil mereka. Selain ibadah rutin yang dilaksanakan setiap hari minggu juga ada sekolah minggu bagi anak-anak dan juga kebaktian keluarga. Maksud hati ingin mendapatkan informasi yang lebih lengkap dari para pastor (ada lima orang) tetapi tidak ada satupun dari mereka yang dirumah. Padahal aku dan guide cilik-ku (anak2 SD) udah dateng kerumah. Agak aneh terdengan anak2 bilang kalau Ibu pendeta sedang tidak dirumah? Seorang Ibu bisa jadi pendeta? Aku baru ingat kalau protestan mengizinkan wanita untuk menjadi rohaniawan juga. Dan karena ketiadaan sang pendeta dirumah aku bertanya kepada guide ku, "ibu pendeta bekerja dimana?" dan ternyata setelah dikasih tau oleh Kores [UNCEN] bahwa pendeta tidak punya pekerjaan sampingan. Hanya bekerja sebagai pendeta saja.




Ada sebuah makan, cantik dihalaman depan sebelah kiri gereja. Kanapa aku menganggap makam ini makam yang cantik? Karena makam ini memang jauh dari kesan seram, ada banyak tanaman bunga disekelilingnya. Karena terlindung dan diberi atap makan aku dan anak2 SD sempat ngorol santai tentang siapa pemilik makam ini. Suwae,, nama belakangnya Suwae berarti dia adalah orang asli kampung ini karena Suwae adalah nama salah satu marga dikampung ini. Menurut informasi yang aku dapat dia adalah pendiri gereja ini, mungkin dalam hal finansial almarhum cukup banyak membantu sehingga untuk menghormatinya beliau dimakamkan tepat didepan gereja ini.



Dari segi kepemimpinan kampung ini secara adat dipimpin oleh seorang Ondoafi yang menggususi urusan adat. Tetapi sepertinya kepemimpinan sang ondoafi tidak benar2 seperti kepemimpinan tradisional karena ondoafi juga mempunyai berbagai divisi yang berada dibawah naungannya (ada bagian2 yang mengurusi ekonomi, hubungan masyarakat dan bahkan seorang ondoafi memiliki wakil yang secara resmi akan menggantikannya ketika dia berhalangan untuk datang), lalu secara formal kampung ini juga dipimpin oleh seorang kepala kampung yang sama statusnya sebagai kepala desa gitu.




Yaahh walaupun data tidak begitu terkumpul lengkap karena keterbatasan waktu paling tidak aku merasakan sedikit nuansa riset (walau Cuma ini riset kecil dan sekedar latihan) yang berbeda dari daerah asalku. Lebih berasa sebagai antropolognya kalau kita terjun dan meneliti kebudayaan yang sangat berbeda dari kebudayaan kita (maklumlah selama ini seringnya Cuma sekitar sumbar ajah) dan tidak terlalu sulit juga tuh untuk dapat data (cieee sombong banget gw hehe) Cuma bermodal pinang aja bisa dekat dengan informan. Orang Papua benar2 suka pinang, makna budaya dari pinang sungguh luar biasa. Aku benar2 diterima dan dianggap bagian dari mereka ketika kami bersama2 mengunyah pinang di kedai si informan, ada kedekatan ketika kami makan pinang bersama sehingga wawancara pun jadi lancar hehe...

Mmhhh kehidupan yang sempurna rasanya di Tablanusu ini, alam indah pantainya yang luar biasa bersih dan makanan enak. Rasanya kalau tinggal disini aku akan bermalas2an saja seharian ditepi pantai...

Upacara Pembukaan




Upacara Pembukaan

Ternyata menginisiasi empat orang inisian tidak membuat tenaga kami terkuras pda pada pagi harinya, padahal hari ini adalah hari penting karena hari ini adalah Upacara Pembukaan, tujuan perjalanan kami selama satu minggu dikapal dibuka hari ini,,, semua orang jadi bersemangat dengan Jas Alamamater masing2 (kecuali UNAIR yang memang tidak bawa almamater huhehehe)

Wahh pokoknya hati kita berbunga2 semua deh, gimana tidak dengan perjalanan yang mirip seperti perjalanan ke negri dongeng akhirnya Sarasehan Nasional Antroplogi ini di buka juga secara sermi dan kami resmi menjadi peserta. Acara dilakukan di halaman belakang rektorat UNCEN, pemandangan yang luar biasa kalau melihat kearah kanan. Danau Sentani indah buanget sehari (sebelumnya waktu gladiresik danau tidak begitu keliatan karena cuaca ga bagus, danaunya tertutup kabut),,, trus keajaiban lainnya jika kamu melihat sebelah kiri rektorat, ada teluk (ndak tau teluk apa) yang juga indah banget jadi kedua pemandangan indah ini dapat kita nikmati di satu tempat sekaligus. Setelah menyaksikan para panitia yang kasak-kusuk persiapan membereskan segala sesuatunnya (hihihi… mang enak kerja keras) akhirnya yang ditunggu2 dateng juga yaitu bapak Fredi Numbery (mentri perikanan dan kelautan) beserta Ibu (duh jeng tu bedak tebel banget siiiyy) yang akan membuka Sarasehan ini secara resmi. Seperti biasa sebagai penghargaan terhadap tamu orang papua selalu memberikan tarian selamat datang, lengkap dengan nyanyian dan musik hidup (tifa dan kawan-kawannya) sebagai pengiring tarian.

Pak mentri kasih materi tentang potensi sagu sebagai bahan makanan. Dari pemikiran2 beliau yang jelas sayah juga jadi punhya alasan seperti orang Papua lainnya untuk tidak mengesampingkan Sagu, menebang lahan2 sagu menjadi perluasan kota dan bahkan yang lebih ekstrim lagi memaksa prang Papua untuk makan nasi dan menanam beras. Pemikiran bodoh dar pemerintah untuk secara instant mengganti makanan pokok yang sudah dikonsumsi selama ratusan tahun ("sejak orang papua ada di bumi mereka sudah makan sagu" kata pak Fred). Akhirnya hasil seperti apakah yang didapatkan oleh pemerintah orde baru?lahan sagu dibabat habis tapi program sagu gagal dan uang ratusan milyarpun terbuang percuma. Sagu dalam ceramah pak fredy juga dibahas aspek kebudayaannya bagi orang Papua. Huhhh ternyata cukup berat juga materinya utnuk hari pertama, trus juga ada Ketua MRP (kajelis Rakyat Papua) secara Papua punya hak Otinomi Khusus jadi sistem pemerintahannya rada bikin bingun karena banyak beda dengan daerah2 lain (wewenang pemerintah daerah lebih banyak dari pada pemerintah pusat)

Pikiran gw labih terbuka dan melihat segala sesuau ide tentang keinginan memerdekakan diri yang muncul dari orang papua dari perpektif orang papua sendiri. Yaaaah terlepas dari berbagai masalah lain yang dihadapi bangsa ini, tapi pemerataan pembangunan dan mempertahankan agar tidak terjadi disintegrasi bukan tugas mudah.

Tentu saja yang paling seru dari acara pembukaan ini adalah sesi makan siang, panitia juga ndak tanggung2 kalau soal makan (kayanya orang Papua juga suka makan, perut kenyang adalh urusan yang utama) ada dua hidangan yang pertama nasi yang merupakan makanan yang paling familiar bagi kami. Dan ternyata setelah ngeliat Gina (uncen) lahap banget makan papeda, gw dan yang lainnya jadi pengen juga tapi sayang banget perut kita udah pada kenyang semua dijejali nasi.

Ini pinang toh, kasih kuat kitorang punya gigi…

Ini pinang toh, kasih kuat kitorang punya gigi…


Dua hari pertama kegiatan belom dimulai,,, hari pertama kami benar2 tidak melakukan apa2 selain hanya istirahat di mess (paling sorenya pergi belanja ke minimarket di depan) trus duduk2 dihalaman, ngobrol dan yang paling asik itu pengalaman baru adalah mengunyah pinang. Sebelumnya sih disorong gw sempat nyicip pinang trus ibu yang jualan bilang : "Ini pinang toh, kasih kuat kitorang punya gigi…"


Orang papua benar2 suka pinang, tua, muda, anak2 pun suka pinang tapi yang bikin jelek dari kebiasaan mereka makan pinang (lebih tepatnya "mengunyah" karena pinangnya ga ditelan) mereka meludahkan air pinag sembarangan sehingga jalanan dan dinding2 di papua penuh dengan lukisan2 abstrak dari air pinag yang diludahkan.

semua kena penyakit, ga tau deh penyebabnya apa. Mmmhhh ada beberapa kemungkinan: 1) stress paska perjalanan kapal 2)energi yang terkuras selama dikapal (mungkin juga karena kurang gizi selama dikapal) dan 3) apa karena perubahan zona waktu (yang juga berimbas pada pola makan dan pola tidur) dan juga perubahan cuaca atauuu gabungan dari semua penyebab2 diatas. Wah kalo masalah geja jangan ditanya, mulai dari kecapekan, mual, muntah, pusing (apa lagi yang ini, semua orang wajib kena huahaha), trus sakit tenggorokan dan demam. Sumpah deh yang paling preman sekalipun kena juga,, repot juga kalau berkunjung ke negri yang jauh, harus banyak persiapan bow…


Tapi untunglah masakan mama (istri pak dekan ini juag seorang antropolog lhoo) hampir dapat mengobati kita semua, asal perut kenyang semua aman dan penanyakit agak terasa lebih ringan. Btw soal penyakit2 lagi LO dan panitia lainnya bener2 care sama kita sumpah deh (bahkan Acil [USU] yang kena penyakit tidak panting sekalipun [keseleo larena main bola] diobatin sama panitia) pada malam kedua semakin banyaknya yang sakit membuat panitia mengundang tim medis profesional untuk langsung memberikan kita soal tips dan tricks menjaga kesehatan selama di Papua, lengkap dengan serentetan infosmasi panjang lebar mengenai penyakit2 yang menjadi penyakit endemik di Papua yaitu ISPA, TB, AIDS dan malaria (woooo serem2 bow) dokternya nyaranin kita untuk tes darah sebelum meninggalkan Papua. kita semua merasa puas, informasinya sangat berharga dan kita merasa sedikit terproteksi ("Hidup Antropologi kesehatan!!!" kata Jaya [UNHAS] dan yang bikin gw appreciate lagi sang dokter paham mengenai cabang antropologi ini, mang harus ngerti dong dokter2 di kota tetang pengaruh variabel budaya dalam pengobatan). Dan sehabis ngasih kuliah kesehatan 2 sks sang dokter langsung buka praktek di depan ruangan makan.

Selamat datang di tanah Papua

Selamat datang di tanah Papua

Pertama kali menginjakkan kaki di Jaya pura rasanya seperti mimpi saja, seperti cerita mitologi kuno (ga percuma sayiah belajar Folklor 3 sks) sekelompok pahlawan yang menempuah perjalanan berhari-hari mengarungi samudra menerjang bahaya untuk mencapai suatu misi. Huahahaha lebay banget tapi ya gitulah secara ini perjalanan paling jauh yang pernah gw lakuin hehe :)

Benar2 perjalanan yang membuat stess lahir dan batin dan juga fisik dan mental kita benar2 diuju selama satu minggu dikapal, padahal kita udah dapet kapal yang paling bagus dan lumayan baru karena baru satu bulan diresmikan oleh pak presiden. Waaah ga kebayang kalo pas pulang kita dapet kapal yang parah banget joroknya (untuk saya bersama kerabat2 antro yang OK2 BGT jadi kitas saling menghibur, tuh kan labay lagi hihi...).

Kapal akhirnya sandar di Jaya pura city pada hari senin tanggal 24 pada jam 5 subuh,, dengan total sebanyak 5 delegasi yang berhasil diangkut olek KM Gunung Dempo (UNIMAL, USU, UNAND, UNAIR, dan UNHAS) untungnya pada saat malam terakhir tidak ada semacam pesta perpisahan dengan sang kapal jadi semua orang bisa kumpul tenaga untuk bangun subuh-subuh. Pengeras suara mengumumka bahwa " agar seluruh delegasi mahasiwa antropologi se-Indonesia bersiap-siap karena telah ditunggu Universitas Cendrawasi" wah jadi metinding plus deg-degan dan benar saja waktu kami melongok keluar melalui jendela di dek 5 sudah ada empat orang yang berpakian adat sentani lengkap (ada juga yang bawa sanduk selamat datang). Masing masing utusan dengan jas almamaternya dikalungi bingan dan disambut dengan adat Papua (sentani), melepas alas kaki dan menginjak piring (sempat degdegan juga jangan2 piring keramatnya bisa pecah pas gw injak huhu) setelah mengijakkan kaki (dipiring yang yang katanya tidak akan pecah tsb) kami resmi menjadi tamu di tanah papua.

Kearasa banget suasana religius penduduk Jayapura ini disebuah bukit yang mengadap ke teluk dipalabuhan terdapat tulisan besar dari lampu neon “Jaya Pura City” dan terdapat salib yang gede benget disebelahnya. Dan waktu di Sorong disepanjang pantai di trotoar jalan ke pelabuhan terdapat salib2, duh kalau liat salib2 ini jadi teringat juga dengan papan2 AsmaulHusna yang menghiasi sepanjang jalan pantai Padang J kesan pertama yang gw tangkap dari orang papua adalah : ramah dan bersahabat dan ternyata memang begitu apa adanya, mereka memperlakukan tamu dengan sangat baik dan sopan. Sebelum perjalanan ke penginapan (sebuah mess yang dikelola oleh departemen pertanian)kami diberi ucapan selamat datang oleh pak Dekan dan dilanjutkan dengan doa bersama (dengan ritual dan doa kristen tentunnya). Wah kalau melihat kita Jayapura, jelas banget bukti ketidak merataan pembangunan di Indonesia. Jayapura yang ibu kota propinsi rasanya tidak lebih dari seperti kota pariaman dan lubuk alung di Sumatra barat, trus kalo ibu kota propinsinya aja begini bagaimana desanya (wah ga kebayang deh). Secata umum jayapura terletak di dataran yang berbukit-bukit yang jalanannya naik dan turun (padahal dipusat kota kok gw serasa dalam perjalanan ke Bukittinggi yah). Ga heran kalau orang Papua menuntut untuk merdeka :( , satu peristiwa yang agak ngeri terjadi ketika kami sampai di pelabuhan (sebelum naik bus) seorang bapak berpakaian dinas perhubungan berkata "mana Aceh, mana Aceh. Mana orang aceh??"

"saya dari Aceh pak." (Donna)

"beginilah keadaaan Papua, lihatlah…"

"kalau aceh ingin merdeka, Papua juga" (si bapak yang berpakaian dinas perhubungan dengan nada berapi-api)

Wah baru sadar beginilah keadaan yang sebenarnya terjadi di Papua, keinginan mereka untuk merdeka (karena alasan ketidak adilan) sebegitu kuat sehingga mereka dengan bersemangat untuk menjadi teman seperjuangan dari Aceh.

Selama hidup didaerah yang penduduknya hetergen seperti kota padang agak aneh juga rasanya melihat betapa banyannya gereja bertebaran disepanjang jalan yang kami lalui (ada berbagai aliran dan bentuknya beraneka ragam) ada juga yang bersebelahan dengan masjid (tidak pernah terjadi di kota Padang). Penaymbutan di mess punsangat hangat panitia, Kajur (Dra. Ivone Poli M.si) dan juga PD III (antropolog juga) dan juga Ibu dekan (istrinya pak dekan) yang akan memastikan perut kami selalu kenyang selama acara ini (sekesi konsumsi) juga seorang antropolog. Wah makanannya enak banget, soup ayam dan telor rebur dengan saos manis, pokoknya benar2 perbaikan gizi deh bagi kita yang selama ini tersiksa memakan makanan kapal yang sangat membosankan. Pokoknya kesan yang pertama kali kami dapatkan kami benar-benar diterima sebagai bagian dari mereka, dan yang bikin salut sama Antro UNCEN seakan tidak ada sekat lagi antara mahasiswa dan dosen (dalam hal kepanitiaan) seakan dosen2 mereka juga merupakan panitia (maksudnya benar2 mengurus hal2 yang sifatnya teknikal) selama ini kalau dalam kepanitiaan ada kecenderungan dosen sebagai pengamat saja dan memberi saran ini dan itu. Di kepanitiaan inisiasi ini semua orang repot semua orang sibuk dan bahu membahu, kajur tidak lagi seperti kajur yang sangat menjaga wibawa didepan mahasiswa2nya tetapi sudah melebur aja gt lho…

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats