Selasa, 28 April 2009

strategi menantang diri sendiri, Optimis MODE: ON

strategi menantang diri sendiri, Optimis MODE: ON



5:12 pm


Sabtu ini gw memutuskan untuk tidak kemana2 pertama karena suasana hati alias mood gw sedang ga karuan setelah kemaren waktu bimbingan proposal gw di corat-coret banyak perbaikan2 yang sebenarnya ga gw ngerti, “kerangka pemikiran ga jelas”, landasan teori kurang tepat dan segala macemnya. Layaknya kembang desa yang masih seger dan kenceng habis diperkosa tu proposal, saking semangatnya pembimbing gw tercinta Prof. Nursyirwan sampe bikit halaman depan sobek, ga ngerti deh kenapa gt... tapi ga papa deh namanya juga belajas khannn?? Lagian masa orang cerdas seperti gw ini kaga bisa nyelesain yang kaya beginian *strategi menantang diri sendiri, Optimis MODE: ON*


Buset tu dosen sibuk banget dan sussye banget ditemui, baru keluar kelas kalo ga keuber yah ga tau lagi deh kapan lagi mau ketemu *Huuuf jauh lebih mudah berburu brondong dari pada berburu dosen yang satu ini*. Waktu bimbingan kemaren (jumat) kaya pasien yang ngantri ada dua mahasiswa antro lain yang mau bimbingan bareng gw (kebetulan seangkatan sama gw) *nama mereka eri dan ine, nama yang norak dan aneh bukan??*. Sesuatu yang tambah gw panas adalah mereka ga mau nunggu diluar kelas, setiap kali proposal gw dicoret2 dan dikasi komentar mereka berdua perpandangan dan cekikikan seakan menikmat penderitaan gw. Lain kali kalo ada lagi dua ekor binatang serupa yang mengganggu diskusi gw dengan pembimbing bakalan gw hajar mereka *memakai baju berbahan-kulit-yang-super-ketat-ala-cat-women dan melecutkan cemeti yang mengasilkan suara lecutan mengerikan*

Lahasil hari ini semangat gw buat belajar dan baca buku meluap2 *tapi ga juga seh, tadi kebanyakan nonto TV juga*. Tergoda juga untuk melangkahkan kaki ke Warner untuk menyewa beberapa film, untung aja siang tadi panas buanget *gile aje gw berjemur di atas motor* jadi ada alasan untuk menolak gairah menonton gw yang meluap2.



Another story...


Rasanya gw mau langsung pulang dan tidur sampe sore karena suasana hati yang kacau, trus dditambah lagi ujian SEI yang kacau banget. Diluar perkiraan gw banget susahnya tu soal *yaiya lah bencong!! Lw kan kaga belajar!*. Tapi tanggung aja, mau kesekre AIESEC di PKM gw males, mau pulang nanggung, jadi gw putuskan untuk ke warnet yang di jl. Damar aja (Boogong Net) sembari menunggu kelas gw jam 7 ntar (sementara hari baru menunjukkan pukul 4 sore). Rencananya mau berburu makanan di sekitar pecinaan tapi ngapain sendirian makan ga asik banget, jadi yah dari pada gw ngabisin bensin di tangki motor gw mendinglah ngenet aja.


Oh ya gw lupa bilangin... Ceritanya gw dan pembantu gw si Hayu yang sekarang mau mengimbangi kepinteran majikannya ini sedang mengikuti sebuah kursus yang sangat penting. Skill yang dibutuhkah untuk para wanita seperti kami, kursus menjahit... Huaaalah becanda!! Ga kok kita kursus persiapan TOEFL. Gpp lah, awalnya sih gw sekedar terbujuk rayuan si Hayu aja yang butuh temen dikelas, ditambah iming2 kalo kita kursusnya dapet diskon 50% karena kita member AIESEC *secara ini bagian dari kerjasama AIESEC dengan ITI (nama lembaga kursusnya nya)* tapi sampe pertemuan ketiga ini gw sangat-sangat menikmati kelas, berasa banget manfaatnya. Ternyata banyak banget pelajaran yang selama ini gw sepelekan dalam mengahadapi TOEFL, yah disamping guru2nya yang mmmhh enak dipandang (cakep semua, kayanya persyaratan buat kerja disana harus seksi, cantik, modis dan pinter deh).


Jam 5.30 sore gw udahan ngenetnya dan janjian sama si adit di sari anggrek, banci sialan ini seperti biasa selalu telat. Alhasil gw ngungguin dia dibawah aja, melihat pengemis2 yang selalu mangkal di depan toko buku ini. Rasanya kalo udah yang ngeliat yang beginian perasaan gw jadi ga enak dan eneh gt, rasanya ga bener aja... tapi hidup memang tidak terlalu bersahabat bagi orang2 seperti mereka. Ada juga pemain musik tradisional (Minang) yang ngamen di depan sana, rabab dan rabana. Rabab ini semacem alat musin gesek yang cara mainnya di taruh di lantai, ga kaya biola yang di pegang gt, trus kalo rabana adalah alat musik pendamping rabab ini (kaya gendang gitu, bahasa indonesianya rebana). Suara yang dihasilkan dari gesekan rabab itu terdengar mistis dan seakan memberi efek relaxasi bagi gw, sedih banget seniman yang menghasilkan musik seindah itu adalah dua orang bapak yang kurus dan dekil. Kalo ada tempat yang agak nyaman dikit aja di deket2 sana buat gw duduk mau deh berlama2 menikmat alunan musik ini.


Karena kelas gw udah mepet banget waktunya gw ga sempat lagi nemenin si adit cari DVD bajakan, jadinya kita cuma makan malem di kedai si koko di jalan permindo (gw Puyunghai si adit kuei tiaw)



Jumat, 10 April 2009

Beberapa artikel buat bahan mata kuliah Antropologi Linguistik untuk amy

Beberapa artikel buat bahan mata kuliah Antropologi Linguistik untuk amy:

Beda Bahasa dan Budaya, Sakitnya...

SIAPA bilang orang Gayo Kabupaten Aceh Tengah bukan orang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)? Kalau bahasa dan budayanya beda dari Aceh lainnya, memang benar. Akan tetapi, Tanah Gayo Aceh Tengah sejak zaman kerajaan Aceh hingga penjajahan Belanda dikenal sebagai Kabupaten Aceh Tengah. Zeingraf, tentara dan wartawan Belanda menulis dalam bukunya Acheh menyebutkan, Gayo Central Distric of Acheh.

Selain itu, ulama besar Gayo, Tengku Ilyas Leubee, adalah sahabat karib ulama karismatik Aceh, Tengku Mohd Daud Beureueh. Beberapa lelaki Gayo pemberani berjuang bersama ulama di Aceh melawan penjajahan Belanda. Dan, Rimba Raya Kecamatan Timang Gajah adalah tempat paling berjasa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Karena dari sinilah berita-berita Indonesia telah merdeka dan kaburnya Belanda dari berbagai daerah disiarkan oleh Radio Rimba Raya. Pemancar radio Tentara Rakyat Indonesia Divisi X Gajah di Aceh Tengah berhasil diselamatkan dari pengejaran tentara Belanda.

Untuk mengingat peristiwa penting itu, Pemerintah RI membangun sebuah monumen besar Radio Rimba Raya dengan tugu yang dipuncaknya ada antena radio. Dan, Radio Rimba Raya diakui pemerintah sebagai Radio Republik Indonesia (RRI). Sebab tahun 1948, ketika itu seluruh stasiun RRI di Pulau Jawa, terutama di Jakarta, Yogya, dan Surabaya telah dihancurkan Belanda. "Untung ada Radio Rimba Raya itu," kata pakar budaya Gayo Aceh Tengah Fikar Weda menceritakan sedikit sejarah Aceh Tengah sebagai bagian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

***

CERITA di atas hanyalah ilustrasi untuk menggambarkan betapa kuatnya ikatan persaudaraan dan kedaerahan antara Tanah Gayo yang unik karena bahasa dan budayanya yang khas dan beda dengan daerah lainnya di Provinsi NAD. Perbedaan itu dikobarkan oleh sejumlah tokoh masyarakat Aceh Tengah sebagai perbedaan dengan membesar-besarkan soal kurangnya perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) NAD terhadap pembangunan Tanah Gayo. Hingga muncul rencana membentuk provinsi baru, Leuser Antara, yang sempat diseminarkan di Medan awal tahun 2002. Tapi akhirnya rencana itu buyar dengan sendirinya karena tidak mendapat dukungan penuh dari rakyat di ketiga kabupaten tersebut.

Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, bisa ditempuh melalui jalur darat Bireun-Takengon yang jaraknya 110 Km. Perjalanan ke Takengon lewat Bireun memakan waktu tiga jam karena jalannya yang berkelok-kelok dan penuh tanjakan serta penurunan tajam. Jalan yang sempit membuat kendaraan harus hati-hati benar melewatinya. Pada musim hujan, jalan ini sering ditimpa bencana longsor yang mengakibatkan hubungan terputus berhari-hari lamanya.

Penduduk Kabupaten Aceh Tengah berjumlah 252.738 jiwa, tersebar di 11 kecamatan dan 197 desa serta dua kelurahan. Mata pencaharian penduduk adalah bertani, terutama kopi arabica, sayur-mayur, buah-buahan seperti jeruk keprok, alpokat, dan markisa, serta lainnya. Luas lahan perkebunan kopi daerah pegunungan yang berhawa sejuk ini 74.500 ha, sehingga Aceh Tengah terkenal sebagai produsen "Gayo Mountain Coffee", yakni kopi arabica yang diolah oleh pabrik modern di Takengon untuk diekspor ke Amerika dan Eropa.

Luas tanaman hortikultura 31.000 ha. Aceh Tengah adalah lahan hutan pinus-yang menjadi bahan baku Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA)-terbesar di Indonesia. Luas hutan pinusnya lebih dari 52.000 hektar.

Meski lebih dari 70 persen penduduknya hidup bergantung pada perkebunan kopi arabica dan hortikultura, namun rakyat Aceh Tengah tidak tergolong petani kaya. Bahkan, jika harga kopi merosot, mereka segera jatuh miskin atau kesulitan uang untuk belanja rumah tangga. Pusat perdagangan Aceh Tengah di Takengon 80 persen dikuasai pendatang, terutama masyarakat Padang, Cina, dan "Cina Hitam" dari Kabupaten Pidie. Karena itu, sebagian besar hasil perdagangan kopi jatuh ke tangan pedagang pendatang ini. Sementara rakyat Gayo sudah puas menguasai areal perkebunan kopi saja.

***

SETELAH berstatus sebagai daerah otonomi berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat-Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Dae-rah (APBD) Kabupaten Aceh Tengah meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya yang paling tinggi Rp 250 juta menjadi Rp 232.140.372.462,06 pada tahun 2001, didukung oleh pendapatan asli daerah (PAD) 2001 sebesar Rp 4.201.413.469.

APBD Tahun 2002 ini turun menjadi Rp 217.229.510.710, terdiri dari anggaran rutin Rp 124.510.494.970 dan anggaran pembangunan Rp 92.719.015.740. Sementara PAD Tahun 2002 direncanakan Rp 5.063.894.970. Menurut Bupati Aceh Tengah Mustafa M Tamy, sasaran utama APBD adalah membenahi prasarana perhubungan dan membangun berbagai fasilitas umum.

Bahasa sehari-hari penduduk Aceh Tengah adalah bahasa Gayo Aceh Tengah. Hanya di Takengon bisa didengar warga berbicara dalam bahasa Indonesia, sedangkan orang Gayo yang bisa berbahasa Aceh bisa dihitung dengan jari. (BASRI DAHAM)

Kompas.com

Transformasi Budaya dalam Bahasa

Posted Nopember 15, 2007

Oleh Najmudin Ansorullah*

Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan, karena bahasa merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Hal ini berarti, apakah bahasa dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya?, sehingga bahasa dapat menentukan kemajuan dan “mematikan” budaya bangsa.
Kepunahan bahasa?
Banyaknya variasi penuturan bahasa daerah tertentu disebabkan terjadinya perbedaan budaya yang cukup kuat. Namun, menurut Prof. Dr. Arief Rahman dalam penelitiannya, di Kalimantan, misalnya, satu dari 50 bahasa tak lagi digunakan. Di Sumatera, dari 13 bahasa dua di antaranya kritis dan satu punah. Di Sulawesi, satu dari 110 bahasa telah lenyap, dan 36 dalam kondisi terancam. Di Tomor, Flores Bima dan Sumba, tercatat 50 bahasa masih bertahan, tapi delapan di antaranya terancam. Di Papua dan Halmahera, dari 271 bahasa daerah, 56 di antaranya hampir punah. Sementara itu, di Jawa tidak mengalami kepunahan (berbagai sumber).
Sungguh ironis, ketika daerah-daerah yang masih terpelihara dan sangat potensial dalam perkembangan kebudayaannya justru bahasa daerahnya terancam, bahkan sebagiannya punah. Mengapa menurut Prof Dr. Arif Rahman (Kompas, 22/5) di Jawa tidak? Bukankah institusi-nstitusi pendidikan, khususnya sekolah sebagai lembaga formal yang berwenang melaksanakan proses transformasi pengetahuan dan teknologi atau arus globalisasi dituduh sebagai tempat dimulainya pengikisan budaya daerah secara sistematis? Sementara itu, hampir semuanya tersedia di Jawa.
Penelitian yang dilakukan salah satu dosen STISI Bandung (maaf lupa namanya) dengan mengacu pada bahasa dalam Pantun Bogor, bahwa di Bogor Jawa Barat sekira tahun 1990-an bahasa asli daerah hampir sudah tidak bisa ditemukan. Secara geografis, Jawa Barat memiliki kedekatan dengan Jakarta yang nota bene bergaya hidup modern, karena itu “berseliweran” bahasa dan budaya antara kota dan desa.
Wajar saja, apabila laporan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa volume migrasi ke Jawa Barat mengalami peningkatan. Tahun 1980 jumlah migrasi seumur hidup di Jawa Barat sebanyak 963.372 orang. Tahun 1990-an mengalami peningkatan mencapai 2.408.626 orang. Kemudian, tahun 2000 meningkat sebanyak 3.271.882 orang (PR, 29/08/2006).
Selain itu, jika dihubungkan dengan penelitian Imelda (Inovasi, Vol. 8/XVIII, 2006) bahwa di wilayah Indonesia, hilangnya bahasa secara tiba-tiba mungkin saja terjadi karena wilayah Indonesia rawan bencana alam (tempat pertemuan tiga lempengan dunia: Eurasia, Indo-Australia, dan lempeng Pasifik). Sepanjang tahun 2000-2006, Indonesia setidaknya mengalami tujuh kali gempa bumi dahsyat (lebih dari 6,2 pada skala Richter) dan dua kali tsunami. Salah satunya termasuk dalam kategori gempa terdahsyat di dunia. Gempa dan tsunami di Aceh berkekuatan 9,3 skala Richter yang memicu tsunami dengan ketinggian 10 meter, dalam catatan Owen (National Geographic, 2005) telah memakan korban meninggal dunia mencapai jumlah 240.000 orang di Aceh dan Nias. Bencana lain ialah gempa di Yogyakarta dan gempa tsunami di Selatan Jawa. Dua bencana yang terakhir ini juga menewaskan ribuan orang.
Dari jumlah korban tersebut muncul sebuah prediksi mengenai hilangnya suatu desa dan penduduknya, terutama pada desa yang berada di sepanjang pantai yang tersapu tsunami saat gempa dan tsunami Aceh. Menurut laporan Cahanar (2005: 215) bahwa 70% penduduk kota Calang tewas dalam bencana tersebut, yang menurut data statistik Pemerintah Daerah NAD dari 86.000 jumlah penduduk yang tersisa hanya 25.800 orang di Kota Calang.
Kejadian ini juga secara otomatis “dapat” berarti hilangnya keanekaragaman bahasa di Indonesia. Hilangnya bahasa berarti hilangnya budaya bangsa yang merupakan kerugian tak terhitung nilainya.
Meski data-data di atas memiliki perbedaan pernyataan dalam melihat kondisi bahasa di Jawa, tapi hal itu dapat menunjukan sebaliknya bahwa problem bahasa di Jawa sangat kompleks dan seharusnya mudah terancam. Kiranya, pernyataan Prof. Arief Rahman (Kompas, 22/05), bahwa di Jawa tidak terjadi kepunahan atau penelitian Imelda (2006), yang menyatakan bahwa jumlah penutur bahasa-bahasa nusantara semakin ke Timur semakin sediki perlu ditinjau ulang.
Meski data-data yang disajikan kedua pakar tersebut cukup argumentatif, tapi bukan berarti data-data itu sudah dianggap final. Kemungkinan kepunahan bahasa bisa saja terjadi karena masyarakat sudah sekian lama melunturkan budayanya. Dengan melihat salah satu sisi dalam pemakaian “nama” dan gelar kepemimpinan saja dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya.
Misalkan, bahasa Sunda yang memiliki berbagai dialek dan susunan kata bahasa kerap kali dikaburkan penuturnya dengan objek atau subjek yang berbeda. Istilah “abah” sering ditujukan pada kakek. Padahal, kata “abah” adalah kata serapan dari bahasa Arab yang ditujukan untuk orang tua (bapak), yaitu “aba” atau “abun”, “ya’ba”, “abah”.
Di Tasikmalaya, misalnya, istilah “abah” ditemukan “abah sepuh” (bapak tua) dan “abah anom” (bapak muda). Sementara itu, di Banten lebih menggunakan “bapak kolot” (kakek). Kiranya, penuturan kata seperti itu dalam masyarakat jawa bukan dilihat hanya faktor usia, tapi dinisbatkan kepada orang-orang yang memang “dituakan” masyarakat, misalnya karena menjadi panutan.
Berbeda dengan kata “abu” (bukan nama seseorang) yang bersinonim dengan kata “embah”. Di Bogor, kata “abu” ditujukan untuk perempuan yang sudah tua (nenek). Penuturan seperti itu mungkin sudah menyalahi aturan bahasa, tapi itulah kenyataannya. Seperti halnya dalam panggeugeut (bhs Sunda), nama “Muhammad” menjadi “Mamat” (kadangkala Memet) yang dilihat dari maknanya akan terlihat jauh. “Muhammad” artinya “terpuji” berarti pula diambil dari nama nabi, sedangkan “Mamat” artinya “mati”. Dilihat dari akar bahasanya (bahasa Arab), sebenarnya kata “umi” dan “mamah” memiliki persamaan yang berarti “ibu”. Kata “ibu” bisa juga penyimpangan dari kata “abu”, begitu seterusnya.
Itulah fakta kerancuan bahasa yang terjadi di sekitar kita pada umumnya. Dan apabila dikatakan telah terjadi kepunahan, sesungguhnya telah lama terjadi. Pergaulan masyarakat Indonesia dengan suku-suku bangsa dan agama di dunia masa lalu telah mengakibatkan masyarakat banyak menyerap bahasa Asing ke dalam bahasa sehari-hari, termasuk untuk identitas diri. Misal, karena masuknya (para pedagang Arab) Islam abad ke-9 H/14 M, masyarakat banyak mengubah nama ke-Arab-arab-an.
Oleh karena itu, mengapa harus phobia dengan kehadiran bahasa-bahasa asing kalau memang budaya masih tetap dipertahankan? Atau apakah ada ketidakberesan dalam budaya kita?
Meski masyarakat masih banyak menggunakan bahasa daerah dalam penggunaan nama, tapi banyak yang mengkombinasikan bahasa daerah dengan bahasa asing, karena pengaruh asimilasi dan akulturasi budaya masyarakat dengan bahasa daerah lain atau bangsa asing. Penyerapan bahasa seperti itu berlanjut sampai sekarang, sehingga secara anekdot mungkin terjadi peranakan suku Sunda dan Rusia melahirkan nama Cecep Gorbachev, karena sampai kini banyak orang menyerap bahasa asing ke dalam bahasa daerah atau bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain, seperti penggunaan nama Andi dari bahasa Sulawesi diserap ke dalam bahasa Jawa.
Memang tidak ada hukum yang melarangnya, tapi persoalannya apabila bahasa yang kita pergunakan sudah tidak sesuai dengan (makna) budaya kita, sehingga akan berpengaruh dalam pensistematikaan bahasa ke dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini akan semakin parah apabila penggunaan bahasa asing itu sudah dianggap gengsi (vrivillege), modern dan sebagainya dan menganggap kuno bahasa dan budaya lokal. Hal ini, tentu memperkeruh budaya bangsa dalam berbahasa atau “budaya bahasa”. Di satu sisi, bahasa asing dianggap penting dalam pergulatan internasional (baca: arus globalisasi). Di sisi lain, penyerapan bahasa asing malah dianggap memperkeruh budaya bangsa.
Apa yang dimaksudkan di atas adalah agar penutur bahasa mampu membawa citra budaya bangsa yang baik. Lebih jauh, karakter budaya lokal harus mampu menghadirkan sosok Indonesia yang lebih bermartabat di mata internasional. “Biarkan lauk-pauknya dari luar (negeri), tapi nasinya tetap citra khas daerah (Indonesia)”. Artinya, bahasa asing boleh dipelajari di berbagai lembaga, instansi dan sebagainya dalam menjawab perubahan zaman, tapi bahasa dan budaya daerah tetap menjadi pokok yang dianut bangsa kita”.
Dengan demikian, tidak akan ada phobia tentang kepunahan bahasa daerah yang berarti pula punahnya budaya dan pada akhirnya kepunahan bangsa. Pandangan kehawatiran kepunahan bahasa kiranya masih abstrak –hanya dari beberapa sudut.
Tatkala bahasa yang indah tidak digunakan dengan baik, seperti “nama” indah dipergunakan penuturnya dengan banyak melakukan kejahatan, mungkin lebih baik nama (maaf) Bagong Suyatno yang prikemanusiaan dari pada Arif bin Bijak, tapi “kepribinatangan”.
Masalah ini sebenarnya merupakan masalah yang harus dilihat secara terintegrasi (seperti integrasi budaya-bahasa) dan menyeluruh, karena bahasa merupakan hasil proses yang amat panjang dari masyarakat.
Bahasa dan kemajuan budaya
Seandainya benar bangsa Eropa pada masa pencerahan (aufklaerung) telah melakukan “penterjemahan” besar-besaran atas karya agung orang-orang Islam di dunia Timur, Jepang mungkin negara pertama di dunia yang mampu menterjemahkan kembali bahasa Barat tanpa meninggalkan budaya dan bahasanya, sehingga dapat sejajar dengan negara-negara Barat.
Indonesia? Dari satu sudut memang mengalami mental atas penjajahan orang-orang Barat, sehingga bahasa Inggris dianggap bahasa kafir oleh kalangan pesantren. Tapi kemudian, banyak disadari justru kekuatan lokal akan mampu membawa kemajuan dan merupakan kekuatan bangsa, termasuk budaya dan bahasa masyarkat.
Konon menurut Cak Nur dalam Teologi Industri angka nol sebenarnya berasal dari Indonesia yang pada masa kerajaan Sriwijaya dibawa pelajar India, kemudian dipatenkan oleh orang-orang Arab.
Dibandingkan Jepang, Indonesia lebih banyak budaya dan bahasanya, tapi pelestarian budaya tidak serta merta dikembangkan melalui kesadaran masyarakat dalam berbahasa. Padahal, bahasa adalah cermin budaya masyarakat. Maka, wajar ketika bahasa daerah kurang dipergunakan diperkotaan atau dalam lingkup nasional, karena masyakarat seakan tidak diberi “ruang” untuk “percaya diri” dalam menuturkannya. Selama ini, penuturan bahasa masih dilatarbelakangi “primordialisme” semata dan belum disertai “ruang” untuk menuturkan bahasa dengan bebas.
“Sensor” atas pemberitaan di berbagai media juga merupakan cermin dari pengekangan akan berbahasa. Bahkan, di berbagai media masa terlihat bahasa mengikuti trend pasar. Trend itu, terlihat juga di Indonesia ketika bahasa Jepang sudah menjadi pilihan paforit para pelajar yang kursus bahasa-bahasa Asing, karena tawaran bursa kerja yang menggiurkan. Maka, tidak heran jika lembaga-lembaga kursus memberikan tarif berbeda dalam penawaran program bahasa.
Pengekangan bahasa
Secara tidak disadari pengekangan bahasa sudah semakin kuat, termasuk bias agama. Pemakaian kata “puasa” dianggap masalah, karena itu dipakai kata “shaum rhamadan” dan membenci pemakaian kata “puasa”, “anda” dengan “antum”, “saya” dengan “ana”, “saudara-saudari” dengan “ikhwan-akhwat”, “siswa” dengan “murid” dan lain-lain.
Di negara-negara Barat (baca: Amerika dan Eropa) pengekangan terhadap bahasa malah dicampuri ideologi dan agama. Nama-nama orang Muslim banyak dicurigai memiliki keterkaitan dengan klaim teroris, sehingga terjadi tindakan sweeping dan diskriminasi terhadap pendatang Muslim. Bahkan, di negara mayoritas Muslim sekalipun isu ideologi dan agama sering dikaitkan dengan bahasa. Di negara Turki, kata-kata “bernuansa” Islam seperti “khilafah” atau bahasa-bahasa agama yang dijadikan simbol seperti pelarangan memakai jilbab di parlemen dilarang keras oleh negara.
Demikian di Indonesia, pengekangan bahasa atas nama agama sering terjadi seperti karena isu sekulerisme tanpa terlebih dahulu mengerti bahasa yang sedang dipergunakan. Dengan melihat pengalaman Jepang, apakah tindakan itu dapat menghambat kemajuan?
Seiring perkembangan zaman dan otonomi daerah (Otda), bahasa nasional dan bahasa daerah akan menghadapi berbagai perubahan. Demikian itu, seluruh element masyarakat termasuk pemerintahan dituntut mampu mengembangkan budaya dan melestarikan bahasa dan budayanya itu dalam menyeimbangkan arus perubahan [] Wallahu A’lam
* Pemerhati budaya dan bahasa tinggal di Bogor

http://jurnalnajmu.wordpress.com/2007/11/15/24/

Bahasa Menunjukkan Budaya

Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya menganggap bahwa sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Contohnya saja, orang Eskimo yang memiliki berbagai istilah untuk menamai berbagai bentuk salju, atau orang Arab yang mempunyai puluhan nama untuk buah kurma mulai dari yang masih di pohon, yang baru dipetik, sampai yang telah kering.

Whorf, pencetus dari Linguistic Relativity Hypothesis

Setelah saya membaca tulisan barusan di sebuah buku karangan K.H. Shiddiq Aminullah, Drs., MBA, saya seolah tersadar. Oh, pantes, pikir saya. Pantes aja dalam bahasa Inggris kerap ditemukan teks yang menunjukkan kalau seorang anak dapat memanggil nama kecil dari kakak atau orangtuanya, seolah-olah mereka itu teman saja, bukan orangtua dan anak. Tak hanya di teks, di film-film mereka juga kerap ditemui.

Jadi begini. Sudah lama saya mengamati kalau di dalam bahasa Inggris tidak ada istilah khusus yang mengacu pada ‘kakak’ dan ‘adik’. Yang ada hanyalah istilah sibling, sister, dan brother bagi saudara kandung, kakak maupun adik, yang notabene menyatakan kesetaraan tanpa memandang usia. Untuk membuat fokus pembicaraan menjadi lebih spesifik, kadang ditambahkan kata little di depan kata brother atau sister untuk menunjukkan ‘adik bungsu’ ataupun saudara yang lebih muda. Dan sebaliknya, untuk menunjukkan ‘kakak tertua’, ditambahkan kata eldest sebagai keterangan di depan kata sister atau brother.

Mari kita bandingkan dengan bahasa Indonesia. Dalam bahasa ini, sebutan untuk saudara kandung (ataupun orang yang bukan saudara kandung tapi kita hormati) yang lebih tua mempunyai istilah khusus yaitu ‘kakak’. Untuk saudara kandung yang lebih muda ada istilah ‘adik’. Bahkan anak tertua mempunyai istilah khusus yaitu ‘sulung’. Demikian pula anak paling kecil dalam keluarga yang biasa disebut ‘bungsu’. Namun untuk anak kedua, tengah, kakak dari bungsu, tidak ada istilah khusus. Hanya ada sebutan ‘anak ke-sekian‘ (bahasa Indonesia tidak berbeda dengan bahasa Inggris dalam hal ini). Dalam bahasa Indonesia, usia serta urutan kelahiran itu penting dan tercermin dari istilah yang ada.

Bandingkan kembali dengan istilah dalam bahasa Inggris sister-brother yang hanya mengacu pada gender dari saudara kandung, tidak pada usia. Kita mengetahui bahwa orang barat sebagai ‘pemilik’ bahasa Inggris memiliki budaya yang mengutamakan kesetaraan dari setiap individu dan isu gender merupakan isu yang mendapat perhatian lebih. Bukan berarti masalah usia saudara atau orang lain tidak diperhatikan. Yang lebih ditekankan bukanlah usia, melainkan gender dan individu itu sendiri. Sedangkan di Indonesia, hormat pada yang lebih tua atau lebih tinggi posisinya merupakan isu utama dalam budaya masyarakatnya, terlepas dari apapun bentuk penerapannya di masing-masing daerah. Bukannya gender laki-laki dan perempuan tidak mendapat perhatian, hanya saja ‘posisi’ dalam struktur masyarakat atau keluarga menjadi fokus utamanya. Contoh yang paling jelas adalah cerita dari seorang teman saya. Dia orang Batak. Katanya, meskipun seseorang itu sudah menjadi jenderal bintang lima, tapi kalau dalam keluarganya dia ada di posisi sebagai keponakan, misalnya, maka dia yang mencuci piring di dapur. Begitulah di Indonesia, posisi dalam struktur hirearkis lebih penting.

Contoh dari perbandingan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah contoh yang memadai. Dengan melihat istilah yang dipakai dalam suatu bahasa kemudian kita melihat budaya penutur bahasa tersebut, ternyata kita bisa melakukan sebuah analisis budaya dari suatu penutur bahasa. Kita pun bisa mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, kepribadiannya, bahkan mungkin kesuksesan dari masyarakat tersebut di masa yang akan datang (untuk melakukan hal yang terakhir ini tentu dibutuhkan tambahan analisis psikologi). Hanya dengan melihat istilah-istilah tertentu yang digunakannya. Ini sungguh sebuah pemikiran yang menarik.

Tapi ini bukanlah hal yang baru dalam linguistik. Chomsky sudah melakukan analisis budaya berdasarkan bahasa yang digunakan suatu masyarakat. Whorf juga sudah. Dan hipotesis dari Whorf membuka lebar mata saya terhadap keadaan itu.

Kembali ke bahasa Inggris. Saya tidak tahu apakah: 1) penggunaan istilah sister-brother itu muncul duluan baru mempengaruhi cara pandang penutur bahasa Inggris atau sebaliknya, 2) cara pandang berbasis genderlah yang mempengaruhi munculnya istilah sister-brother. Hal ini sungguh menarik untuk ditelaah lebih jauh, apalagi bagi yang memang berminat pada linguistik (seperti saya, misalnya). Mungkin ketika saya mencari yang mana yang benar antara 1) dan 2), saya akan menemukannya dalam sejarah panjang dari kebudayaan penutur bahasa Inggris. Mulai dari masa ketika daratan Eropa masih didominasi oleh bahasa Latin, lalu masa penggunaan bahasa Inggris kuno di sekitar abad 15-16 masehi, hingga penyerapan banyak istilah dari bahasa asing seperti slalom, mathematics, levitate, oleh bahasa Inggris modern, yang membuatnya menjadi bahasa gado-gado. Tapi tidak apa, saya memang senang dengan sejarah, terutama yang berkaitan dengan isu budaya serta bahasanya.

BTW, ngulik-ngulik bahasa dan kaitannya dengan budaya memang mengasyikan ya? Terbersit dalam pikiran saya untuk mengambil S2 di bidang linguistik-budaya. Tapi di mana ya? Kalo ada yang punya info, kasih tau ya….

Tambahan dari Ernest Renan, penulis buku Sejarah Umum Bahasa-bahasa Semit:

Di antara yang mengherankan, bahasa Arab itu tumbuh dengan kuatnya dan sampai pada tingkatan yang sangat sempurna. Di tengah-tengah padang pasir dan bangsa yang gemar berkelana, bahasa tersebut mengungguli bahasa serumpun lainnya dalam kekayaan kosa kata, ketajaman arti, dan keindahan susunan bentuknya. Sebelumnya, bahasa ini tidak dikenal orang… [Dr. Malik Badri, Tafakur, 1996]

China Akan Dirikan Pusat Budaya Dan Bahasa Di Indonesia

Beijing ( Berita ) : Pemerintah China dalam waktu dekat akan mendirikan Pusat Budaya dan Bahasa Tiongkok di Indonesia dalam upaya lebih meningkatkan hubungan sosial dan budaya antara kedua negara.

“China sudah berkeinginan akan membangun Pusat Budaya dan Bahasa Tiongkok di Indonesia, khususnya di Jakarta,” kata Wakil Kepala Perwakilan RI di Beijing Mohamad Oemar, di Beijing, Senin [27/08].

Pemerintah Indonesia sendiri, katanya, juga akan membuka lembaga budaya dan bahasa serupa di China sehingga ada timbal balik dalam melakukan pertukaran bidang sosial dan budaya antara kedua negara.

Di sejumlah universitas di China, katanya, sebetulnya sudah ada beberapa yang memperkenalkan atau mengajarkan budaya dan Bahasa Indonesia kepada mahasiswanya, sehingga Indonesia sebetulnya sudah tidak terlalu asing di mata warga China.

Meskipun demikian, katanya, Pemerintah Indonesia juga berkeinginan mendirikan Pusat Budaya dan Bahasa Indonesia di China, sebagai langkah bentuk timbal balik keinginan Pemerintah China mendirikan pusat pendidikan serupa di Indonesia.

“Hubungan sosial dan budaya antara kedua negara memang sedang gencar-gencarnya ditingkatkan disamping hubungan ekonomi,” kata Oemar.

Salah satu bidang lain yang juga ingin ditingkatkan adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan untuk saling mengunjungi masing-masing negara, mengingat sampai saat ini masih terdapat ketidakseimbangan.

Saat ini dalam kunjungan wisatawan kedua negara, wisatawan Indonesia lebih banyak yang datang mengunjungi China ketimbang wisatawan China yang mengunjungi Indonesia.

“Oleh sebab itu masih perlu promosi lebih gencar oleh pihak terkait pariwisata di Indonesia disamping meningkatkan infrastruktur, seperti dengan frekuensi penerbangan kedua negara,” katanya. ( ant )

http://beritasore.com/2007/08/27/china-akan-dirikan-pusat-budaya-dan-bahasa-di-indonesia/


Selasa, 07 April 2009

Baralek

Hari minggu kemaren gw menghadiri kondangan alias baraleknya (bahasa Minang lhooo) temen SMA gw. Namanya Nike, panjangannya Nike sari ningsih *kalo kaga salah hihi…* huaahh rasanya acara ini menjadi mesin waktu bagi gw, seketika gw melompat ke masa2 sma yang kelabu sewaktu gw masih belom terkenal, belom jadi artis dan masih miskin melarat *emangnya lw sekarang udah terkenal, jadi artis papan atas dan kaya raya bencong??!*


Seminggu sebelumnya temen gw si Iyus menelpon dan pake acara sandiwara murahan segala,, huuuuh ga mempan mah kalo yang begituan sama gw, alhasil si Iyus yang jadi korban sandiwara murahannya sendiri huhihiihi.. *mang enak* jadi berita gembira dari si Iyus adalah Nike bakalan nikah minggu depan. Buset,, merasa teringgung luar biasa gw, kenapa bukan dia langsung yang telpon?? Kenapa pake suruh si Iyus nelpon segala? Tapi ya udahlah karena emang gw udah luar biasa kuangeeen banget sama mereka berdua. Jadi ceritanya Nike dan gw satu smp dan sma lalu kami sama2 latihan PRAMUKA di SAKA Bhayangkara nah disanalah gw bertemu si Iyus yang anaknya tomboy banget (Nike juga agak tomboy sih, lebih tepatnya jorok, slengekan dan ga suka dandan juga bikin cowok pada ilfeel kalo deket2 dia *tapi gw kaga, karena gw bukan cowo huahahaha… becanda woooii becanda!!!*)


Jaaah masa kalo camping gitu peralatan tempur (baca peralatan dandan alias P2K *pertolongan pertama pada kegantengan*) gw lebih lengkap daripada mereka berdua hihi…


Paling tidak nike sudah membuktikan kalau dirinya buka seorang Lesbian huahaha… becanda ke (lagian kalopun lesbi gw masi sayang sama kalian kok heheh…)



Karena si pelacur yang satu lagi ga bisa dateng (si Adit maksudnya) karena disuruh ngelatih anak2 buat acara perpisahan sekolah, alhasil gw celingak-celinguk disimpang rumahnya Nike nunggu jemputan dari Iyus yang belom dateng juga *untuk kaga digodain abang2 tukang ojeg yang ada disono* secara terakhir kali gw kesini sekitar 5 tahun yang lalu waktu melayat papanya Nike. Dari kejauhan tampak lah sesosok ibu2 dalam balutan kebaya yang sangat norak berjalan terseok2 dengan sepatu hak tinggi yang sangat tidak proporsional keliatannya dengan cara dia berjalan,,, gw perhatiin eehh si Ibu malah balik melototin gw huaaaaahh!! Apa kurang ajar banget tu si ibu!!! Gw murka, apakah bibir merah merona gw nan sexy ini yang bikin dia sirik terus balas



melototin gw??? Bisa jadi,,,

beberapa detik berselang…

BUSYeett si Iyuss….

Ampun dah,, ya ollo tolong…

Jadi ternyata engkaukah itu sahabat ku???



Huahaha…. Gw ngakak ngeliatin dia dengan segala kebaya dan sepatu hak tinggi hahaha… terikssa banget keliatannya. Jah dianya ternyata juga pangling ngeliat gw yang jadi lebih langsing, tapi sisa2 kejayaan masa lalu gw masih terlihat di bagian dada gw yang bidang *eeh salah gw ralat,, pantat gw yang bidang hihi…* sampe di depan pesta dan ngisi buku tamu,, si Iyus neriakin gw "wooi kotak amplopnya diisi dong!!"

Anjrit sialan neh anak, sumpe bikin malu aja, mana tau gw pestanya bakalan segini gede. Gw kaga prepare uang!!!


Dua cewek yang jadi pager ayu *sepertinya sepupunya Nike* ngikik ngeliat gw waktu ngejambakin ramput si Iyus yang sekarang udah panjang… (dulunya pendek abeess). Abis itu salaman sama Nike dan suaminya si Arif, dan wooow nike yang dulu cuek sekarang cakep banget dengan kostum penganten Minang. Hhoho… ulat buruk rupa ini ternyata sudah menjelma menjadi kupu2 yang catik jelita:) habis makan gw dan Iyus masuk lagi ke ruangan tengah tempat pengantennya sepasang makhluk yang berbahagia.


Ehhh kita malah ngerumpiin kenangan2 masa sma bareng si Nike, duh ni anak walo udah jadi bini orang masih aja mulut setajam silet. Bak dayang2 kami berdua (gw dan Iyus) bersimpuh di kakinya Nike *yaiyalah emangnya gw harus duduk dimana lagi? ga mungkin di sebelah lakinya khannn??* sambil teteup bergunjing tentang masa lalu kami yang bahagia di sma. Secara sejak tamat ga pernah lagi ketemu sama dia, Cuma sms dan telponan aja. Eeh si Nike malah keenakan dan nyuruh kita mijitin kaki dia yang pegel,,, enaak aja lw, siapa suruh jadi penganten, ya jelaslah capek di sepanjang pesta. Lagia kalo kita mijitin kaki si nike, kita musti cuci tangan pake tanah dan berwudhu setelahnya hihi….



Trus juga ketemu sama eko, tinto, angga, dini (murai) dan ria hoho… lengkap sudah…



-----> eeeh sial, bodoh bener gw sampe lupa ngerecokin mereka dengan pertenyaan tentang malam pertama huahahaahaha…!!!

Minggu, 05 April 2009

Film untuk minggu ini

Akhir pekan yang membosankan mestinya tidak terlalu membosankan kalau gw punya cukum pulsa di Wimode buat OL seharian, tapi gapapa bentar lagi rencananya gw adit mau jalan keluar ketemu sama anak DNA. Tapi ga expect tinggi juga seh bakal ketumu mereka semua secara kumplit, secara tadi gw sms Medya dia lagi pulkam dan yang lainnya ga tau deh soalnya ini juga bukan jadwal ngumpul kita juga seh. Tapi bingung banget, mati gaya secara udah mau branak gw rasanya saking boringnya dari hari kamis ga kemana-mana… tapi enaknya kuah gw yang hanya 6 sks ini bisa juga akhirnya dipadatkan jadi tiga hari sajo susudara huehehe… enak banget banyak libur dan juga gw bisa lebih konsentrasi ngerjain proposal (duuuh kayanya di akhir pekan bukan nonton film yang jadi selingan bikin proposal tapi bikin proposalnya yang jadi selingan aktivitas nonton film gw yang gila2an)



Dan tebak siapa yang smsin gw barusan?? Olin sodara2 iya benar cewek kecil berbadan seperti goblin ini sms gw. Nayanin gw lagi dimana dan ngajakin pergi main huehehe…. Perasaan dua hari yang lalu dia murka dan marah2 sama gw di sms Cuma gara2 hal yang ga penting. Dasar cewek aneh, tapi ya sutra lah.


Bikin mie instant ah…

7:49 PM



Buset untung gw ga teralu ngarepin si Adit dateng soalnya dia ternyata disuruh ngelatih anak2 nari buat acara perpisaha sekolahan. Tapi yang ga suka dari dia setelah sekian lama membina rumah tangga *Cuuuihh Huueek kok jadi tiba2 mual gw mikirin ini* adalah sikapnya yang ga pernah merasa bersalah setiap kali dia bikin salah, seingat gw kejadian yang langka banget denger si Adin say Sorry. Paling lebaran.


Jadi Eel, Ami, Sonya dan Iwan hanya kami berlima. Udah sejak dua minggu belakangan si Iwan makin BT aja bawaannya kalo deket2 Zone,, eeh gw ralat lebih tepatnya kalo deket si BB *hehe pake inisial sagala euyy* yaiyalah bencong * kan memang begitu kode etik dunia pergunjingan. Jadi habis makan di Hau's Tea dia buru2 ngacir ke radio. Gw bisa rasain emang ngejengkein banget tuh kelakuannya si BB gw juga jadi ikut2an sebel dan parahnya gw yang udah berkomitmen ga bakalan ngomong sama dia dan kroni2nya *terkecuali si mugle pujaan gw itu* tadi keceplosan negor dia pas mau pulang tadi.


Trus ke Warner minjem The family stone, Sicko, House of bunny, dan Mellisa P… yah ga perlu kaget lw2 semua melihat pilihan gw. Selera gw dalam film emang tinggi yadi jangan tersinggung kalo nanti ada yang nawarin film sampaf trus gw maki-maki dengan mululut berbisa gw yang setajam silet *mata melotot dan bibir ditipiskan ala Fenny Rose*. Kan gw orangnya ga tahan gt kalo ga mencaci maki orang berselera rendah, pernah di Ultra ada seoranng gadis kampung yang bergaya kampungan *maksudnya kampungan gt,,, udah ah ribet* berlari2 kecil dengan centilnya disepanjang lorong rak film2 dan berteriak "ya ollo,, bagus banget pilem nya" sambil mencomot kotak film indonesia yang berjudul anda puas saya loyo, hantu jeruk purut, pulau hantu dan satu film hantu2an ga jelas lainnya. Duh pengen rasanya gw tampar mulut tu cewek huahaha… *mata melotot sambil seringai jahat dan petir menyambar2*



MMhh mulai nonton yang mana dulu yah?? Yang paling binal aja kali yee……

---->jangan lupa besok Pergi kondangan (baralek) nya Nike!!

Kamis, 02 April 2009

Jeung Food

Eh kemaren gw nemuin tempat makan bakso yang paling enak sekota padang, di daerah tarandam tepatnya di depan minimarket Singgalang. Mustinya tu warung sekarang jadi bertambah lagi pengungjungnya setelah dinobatkan sebagai warung bakso terenak di kota Padang oleh seorang selebritis papan atas seperti gw *seorang aktris-bokep-yang-film2-bokepnya-selalu-laris-dipasaran-tapi-masih-sering-melacur-dijalanan huehehee * pengen aja deh tu abang bakso gw kasi sertifikat berbingkai emas kita foto bareng deh sambil senyum lima jari… *menunjukkan gigi putih bersinar… ting!* ---> lebay MODE: ON


Sydah cukup sudah obrolan ga jelas mengenai makan, lagian gw nafsu makan dan menjadi tinggi seperti nafsu gw diranjang karena udah stress duluan nungguin Hayu dan Pii sambil celingak celinguk ditrotoar depan warung bakso, tapi karena pesona gw yang terlalu kuat dan memang gw ini orangnya selalu bersinar bak bak berlian yang tertimbun di lumpur gw waktu nungguin si Hayu sempat di godain oleh para jejaka berandal yang sering mangkal disitu *ga ding,,, gw boong hihi…* dan tadinya waktu dikampus gw juga bawaanya udah BT juga karena kemaren gw kuliah cuma satu matakuliah aja yaitu Antropologi Ekologi (mana ini gw ngambil yang kedua kalinya setelah yang pertama dikasi D) dan dosen laknat itu ga dateng *gw jadi mikir2 melacur dimana dia semalem sampe kagak dateng kekelas besoknya??*trus ke Ezzy nemenin Pii nyewa film duh untung aja ni anak seleranya ga kampungan seperti kebanyakan temen2 gw yang lain dalam hal film walaupun pii masih suka minta saran gw tentang film apa yang mau di rental *kamu ga salah orang Pii kalau bertanya film dengan orang seperti aku hehe…* trus habis itu ke TIKI nemenin Hayu yang mau ngirimin pacarnya yang jauh dimata sebuah kado tanda cinta *oooohh… so shit..*


Seperti biasanya temen2 gw adalah orang2 yang bernafsu makan tiga kali lipat dari pada nafsu makan manusia normal maka kamipun mencari tampat makan selanjurnya, setelah puter2 ga jelas disekitar kawasan China Town kita kaga nemu si koko yang biasa jualan Es Limun tempat kita biasanya mangkal menikmati sore di China Town, duh padahal enak banget tuh seger dan tempatnya pw banget bisa juga sambil cuci mata ngeliatin Cina2 lucu hihi… ga ketemu Es Limun kita hanya bisa berpuas diri dengan makanan2 sampah alias Jeung Food (Leechy Float dan Chicken Fillet di KFC) eeh salah, ada tambahan tadi kita sembat bungkusin pisang goreng yang di jalan Tjokro buat dimakan di KFC hihi...



---->Setelah dipikir2 judul diatas kaga ada pas2nya sama content postingan ini yah?? aahh sudahlah yang penting hasrat untuk bercuap2 gw sudah terpuaskan (mas Bejo kamu memang hebat, saya puas mas *memilin2 bulu dada mas Bedjo*)....

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats