Minggu, 31 Mei 2009

jejalan2

Jumat, 29 May 2009


Aha … setengah merasa bersalah karena gw tidak lagi secara teratur menggauli blog gw yang cantik nan rupawan ini *haruskah gw memberinya sebuah nama??* dan juga dikarenakan membanjirnya sms dan email para fans di inbox gw yang mengelu-elukan kembalinya kehadiran gw di kancah dunia maya. Apa gw punya fans??, gw seorang selebiriti? *mengipas-ngipaskan tangan berjari lentik dengan sepuluh kuku bersepuh kuteks pink didepan wajah*


*plak! Menampar muka sendiri*. Stop… jangan lebay deh *bergaya seperti T2 “please deh jangan lebay”*. Miss lebay seperti gw memang selalu berlebihan yah? Misalnya kalo gw bilang ada banyak teman yang mengagumi ketampanan gw. Kata banyak disini sama konteksnya dengan kata banyak pada kalimat seperti ini nih:


“duh banyak banget bisul di pantat lw…”

Padahal cuma ada dua biji bisul disana.


Tuh kan sekali ngetik jadi ga terkontrol kemana2 omongan gw.

Mmmhhmm… ada baiknya gw flash back dulu ke dua hari yang lalu.


Rabu, 27 May 2009

Adalah hari dimana kami mengekspresikan kebinalan kami semua,,, duh ga ada tandingannya deh kak ria si ratu binal, indah si gadis binal, simon si banci binal dan gw sendiri adalah seorang gadis baek2 *plak! Berani2nya mengikrarkan diri sebagai orang baek lw ya!!!*


Niatnya sih hanya mau mengcopy beberapa film ke FD dari warnet si Iin, tapi bertemu simon dan kak ria. Ide gila tercetus begitu saja untuk menghabiskan sisa sore dengan penuh kegilaan (les TOEFL jadi lupa sama sekali).


Petualangan dimulai dari KFC ambacang. Gw sama iin agak telat karena kita muter2 dulu keliling China Town buat nikmatin suasana sore trus pake liwat dekat sungai segala padahal jauh lebih cepat kalo liwat jalan biasa. Alhasil kita telat nyampe KFC, doooh aktivitas makan jeungFOOD yang hanya akan merusak kecantikan alami kulit kami semua. Tapi gapapa kalo bareng teman2 seperti ini jadi lupa diri, happy aja ketawa aja bawaannya.


Trus nemenin si mon(a) nemuin pembimbingnya ke kantor Walikota padang kota tercinta yang bangunannya cuantik banget,, saking cantiknya gw jadi ga bisa bedain yang mana gedung kantor walikota dan yang mana pasar ikan (wich is suppose to located behind the office). And simon(a) have a sad story abaout that bitch (maksudnya pembimbing proposal dia), dooh pake belagu segala neh dosen. Padahal udah ditelponin dan bikin janji lhoo. Bikin BT setengah mampus ga seh?? Kalo gw udah gw jambakin rambut tu pere. Untung aja ga ada makhluk2 semacam ini di jurusan gw. Pembimbing gw aja yang udah profesor dan ilmu udah setinggi langit itu rendah hati, baik hati, penyayang dan tidak sombong orangnya.


Untuk menghibur simon(a) yang bersedih hadi dan bermuram durja kami pergi melanjutkan perjalanan ke Jembatan Siti Nurbaya. Sebuah jembatan eksotik nan cantik namun kecantikannya ternodai oleh pasangan2 norak yang berasyik mashyuk berpacaran di sekitar jembatan ini. Huahaha... senang banget pemandangannya cantik dan bisa duduk sambil makan jagung disini (makananya lumayan murah cuma seharga sekali ngangkang aja) dan tentu saja foto2 (we taking a picture like a maniac LOL ...!!) Jadi inget beberapa tahun lalu kami hiking ke pantai Malinkundang lewat jalur bukit dekat jembatan ini. MMmhh kayanya kita musti hiking lagi...


Nganterin iin pulang sambil mindahin foto2 binal kita di warnetnya iin, petualangan berakhir setelah nganterin kak ria ke rumahnya.


Kamis, 28 May 2009

Nothing special, hari ini ga ada jadwal kuliah (gw Cuma ngambil 15 sks semester ini, dan itupun mata kuliah yang diulang semua karena kemalasan gw di tahun pertama). Jadinya kerjaan gw cuma tidur2an aja seharian di kamar.


Dan hari ini adalah final test les TOEFL gw, jadi inget kan juga harus ngebalikin FDnya si Hayu. Hohoho.. gw mw ngasi si Hayu sesuatu di FDnya tadinya sih waktu gw tawarkan untuk ngasih foto syuuur sebagai bonus dia sok2 menolak gitu *huahaha... panter aja dia menolak yang gw tawarin adalah foto gw soanya hihi...*. Anyway gadis desa ini perlu didik lagi kalau mau jadi seorang Geisha provesional seperti gw LOL, jadi gw copy-in lah kamasutra ke FDnya hahahaha.....


Kamasutranya gw dapetin dari kak ria,, hoho... dari mana lagi gw dapetin barang2 laknat seperti bokep dan sex toys yang terkutuk ini kalo tidak dari kak ria... dan Simon(a) tentu saja.


Final test nya biasa2 aja walaupun agak terganggu dengan perut gw yang keroncongan selama test.


Balik dari tempat les, masi ada waktu dikit buat baca2 buku.


Jumat, 29 May 2009

Hhhuaaahhh... jumat malam disinilah gw sekarang, baru reda dari serangan migrain yang teratur mengunjungi setiap bulanan, mirip sama tamu bulanan aja deh.


Habis mandi tiba2 kak ria sms gw dan nanyain kabar... gw jawab kal gw lagi sakit kepala eeh malah disuruh nulis blog sama si jalang yang satu itu, bukannya ngasih kata2 yang menghibur supaya kepala gw ga mumet lagi...


Tapigapapa jadinya dapet inspirasi buat nulis, mumpung lagi mood bagus buat nulis ntar habis ini juga mau nyelesein catatan lapangan ah...




Sabtu, 30 Mei 2009

Asal Usul Nama Indonesia

Ehhh tau ga barusan gw dapet sebuah artikel dari milis yang gw ikutin *secara gw selalu ikutan milis2 cerdas yang nambah pengetahuan*. Anyway artikel ini tentang asal usul sebuah kata yang sangat tidak asing buat kita : INDONESIA. Iya itu nama negara kita terccinta.

Guys baca deh artikel ini, dijamin kamu bakalan cinta mampus dan tergila2 sama Indonesia.


Asal Usul Nama Indonesia

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai “Nan-hai” (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini “Dwipantara” (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta “dwipa” (pulau) dan “antara” (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke “Suwarnadwipa” (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita “Jaza'ir al-Jawi” (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah “benzoe”, berasal dari bahasa Arab “luban jawi”(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon “Styrax sumatrana” yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (“Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien”) atau "Hindia Timur" “(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales)”. Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (“Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais”).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah “Nederlandsch- Indie” (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah “To-Indo” (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu “Insulinde”, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin “insula” berarti pulau). Tetapi rupanya nama “Insulinde” ini kurang populer.

Bagi orang Bandung, “Insulinde” mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista. Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), mempopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.

Dr. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari “Jawadwipa” ( Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “"Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" “(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (“a distinctive name”), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: “Indunesia” atau “Malayunesia” (“nesos” dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: “... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. ”

Earl sendiri menyatakan memilih nama “Malayunesia” (Kepulauan Melayu) daripada “Indunesia” (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia” sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan “Indunesia” bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah “Malayunesia” dan tidak memakai istilah “Indunesia”.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel “The Ethnology of the Indian Archipelago. ” Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama “Indunesia” yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. ” Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku “Indonesien oder die Inseln des Malayischen
Archipel” sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketikamengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam “Encyclopedie van Nederlandsch- Indie”tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama “Indonesische Pers-bureau. ”

Makna politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa “Handels Hoogeschool” (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengannama “Indische Vereeniging”) berubah nama menjadi “Indonesische Vereeniging” atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (“de toekomstige vrije Indonesische staat”) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (“een politiek doel”), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (“Indonesier”) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. "

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan “Indonesische Studie Club”pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 “Jong Islamieten Bond” membentuk kepanduan “Nationaal Indonesische Padvinderij”( Natipij) . Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota “Volksraad” (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch- Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

"Dirgahayu Indonesiaku!”

Maen ke Vihara Part II

Minggu 24 Mei 2009

Terkejut saat memasuki pelataran parkir vihara, penuh sesak dengan mobil dan motor umat yang sedang beribadah. Ditambah sempit lagi dengan pertamhanya fungsi pelataran perkir vihara ini sebagai tempat berdagang dadakan yang menjajakan makanan (nasi lengkap dengan lauk pauk) dan juga sate. Agaknya dagangan ini hanya digelar setiap minggu diwaktu vihara penuh sesak dengan umat yang beribadah dan anak TK dan SD yang sedang bersekolah minggu.

Lengkap dengan bangku2 dan meja2 bundar, banyak keluarga yang menikmati sarapan mereka setelah beribadah di warung makan dadakan ini. Aku bertanya kepada beberapa orang yang sedang duduk diruangan lantai satu tentang Romo. Ternyata ada diatas diruangannya, tapi ga punya banyak waktu karena ada rapat jam 11. Jadinya aku hanya punya waktu kira2 setengah jam saja dengan romo. Vihara ini benar2 menjadi pusat kegiatan umat dihari minggu karena tidak hanya ibadah yang dilakukan, setiap umat bisa saling berbicara satu sama lain. Satu leluarga dan tetangga bisa lebih dekat karena mereka dapat duduk satu meja ketika sarapan di warung depan vihara. Lalu anak2 tk maupun sd dapat bermain halaman vihara yang sempit (walaupun begitu tetap ditumpukka dua buah ayunan yang tidak pernah kosong diduduki oleh anak2) dipenuhi anak2 yang berlarian kessana kemari, karena space yang tidak begitu cukup untuk bermain mereka kadang menjengkelkan para orang tua karena berlarian di sepanjang koridor, tangga, dan bahkan ruangan doa.

Ternyata vihara ini lebih besar dari pada yang aku duga, yakin bakalan nyasar ke ruangan romo kalo tidak diantar. Pertama masuk ruangan ini aku disambut dengan semerbak aroma hio, tapi aromanya lembut tak begitu menyengat seperti diklenteng diruangan sembahyang lain mungkin karena ruangan ini berAC. Kesan pertama yang aku tangkap dari Romo adalah orangnya bijaksana dan ramah ternyata memang begitu (setelah ngobrol). Berbaju kemeja, celana berbahan seperti celana kantoran, trus rambut licin (mungkin karena kebanyakan dikasi minyak rambut) disisir rata sekali (lurus benget, jadi curiga jangan2 romo pake penggaris buat menata rambut).

Keluar dari ruangan romo aku liat semuah altar yang berisi foto Ganesha dengan perbagai versi. Berbagai foto dalam ukuran kecil itu dibingkai diletakkan diatas altar yang diapit oleh patung yang tidak mirip dengan patung2 singa seperti yang banyak aku jumpai di gedung2 suci di china town ini (tidak mirip dengan gaya patung2 singa yang kental dengan nuansa keBudhaan Cina). Aneh banget padahal Ganesha adalah dewa Hindu (bukan Budha!!), tapi kelihatannya altar Gansha ini sudah lama tidak di sembahyangi. Terletak diantara tumpukan2 barang, sudah agak berdebu dan tidak ada sisa2 perlengkapan sembahyang seperti sesajian yang terdapat diatas latar ini [cari tau soal altar ini]. Dua kelas, sebenarnya tidak bisa disebut sebagai kelas sih karena kelas ini adalah ruangan lepas yang dibagi dua dengan pembatas triplek yang ketika aku memasuki ruangan romo sedang digunakan untuk belajar agama dan sekarang sudah kosong. Tiga orang cewek yang kira2 seumuran aku, mereka memakai baju seragam berwarna kuning, sedang berbenah merapikan ruangan aku tanyai soal jadwal sekolah minggu anak2 dan agak ragu2 mereka menjawabnya. Dan belakangan aku tau ternyata mereka adalah pengajar untuk anak2 tingkat TK dan Play group (pantersan aja mereka ga ngerti). Sepertinya mereka bukanlah seorang guru agama profesional tapi semacam sukarelawan yang diperbantukan untuk mengajar dan membimbing anak2 kecil untuk belajar agama Budha.

Aha… jadwal lengkap belajar agama untuk anak dari tingkat play group sampai SMA ternyata sudah ada tertempel rapi di dinding, baguslah aku tidak usah bertanya2 lagi. Lalu diruangan lain [cari tau nama setiap ruangan ibadah di vihara ini] sedang berlangsung semacam ujian menghafal doa. Beruntung sekali waktu aku mengunjungi rumah abu ketika itu sedang dipersiapkan upacara peringantan satu tahun kematian seseorang yang abunya dititipkan dirumah itu. Ketika memasuki ruangan itu tampak dua orang wanita yang bersembahyang untuk kerabat mereka yang dititipkan disana, mereka wanita muda yang cukup modis dengan pakaian berupa kaos ketat dan celana jeans yang juga super ketat. Mendapat kesan kalau orang muda berdoa mereka terkesan tidak niat dan hanya sekedar melakukan kewajiban saja. Didalam ruangan terdapat dua buah altar, satu yang yang tertinggi yang menyatu dengan dinding mempunyai atap dan bernentuk seperti miniatur rumah terdapat arca Budha dan beberapa dewa. Dibawahnya terdapat altar yang lebih rendah yaitu altar tempat hio lo dan juga ada satu arca dewa diatasnya.

Dan kemungkinan karena hari ini akan dilaksanakan upacara doa untuk memperingati satu tahun wafat orang yang diperabukan disini maka ruangan abu leluhur ini ditambah satu altar lagi yaitu altar untk meletakkan sesajian bagi siarwah berupa berbagai makanan vegetarian (ciak cay), bunga dan segala macamnya. Tampaknya ada seorang petugas khusus yang disiapkan oleh vihara untuk melayani umat yang akan berziarah atau berdoa untuk kerabat mereka diruangan ini. Hari ini seorang ibu membantu menyusun posisi makanan diatas altar persembahan, membantu menata potret almarumah yang akan didoakan, menyusun alas duduk bagi orang yang akan berdoa dan segala macamnya. Anak laki-laki tertua dari almarhumah menurunkan potret untuk diletakkan diatas altar sesajian, seperti biasanya setiap menyentuh benda2 yang dianggap suci seseorang memberikan hormat dahulu sebelum menyentuh benda itu (dalam hal ini peotret si almarhumah).

Sepertinya masih ada satu sarat sesajian buat upacara lagi yang kurang lengkap makanya beberapa orang keluarga tampak sedikit panik. Tak mau menunda2 akhirnya aku memutuskan untuk minta izin kesalah satu kerabat untuk diperbolehkan mengikuti upacara ini. Jawaban yang aku terima dalam nada datar dan agak terkejut seperti berfikir dalam hati: apaan sih ini, orang lagi sibuk ngurus ini itu ni anak malah pengen ikutan lagi. Dasar ga jelas, dan kayanya si ibu yang aku mintain izin setengah ga percaya didalam hati berkata: masa sih ni anak mau ikutan upacara juga?? Tapi toh aku ikut juga kegiatan mereka. terdengar percakaapan tentang aturan main penyusunan sajian dan tentang makanan seperti apa yang akan dijadikan sesajian. Ibu petugas ruangan abu leluhur ini memberi penjelasan kepada salah seorang keluarga bahwa memang yang menjadi sesajian haruslah makanan ciak cay alias makanan vegetarian. Seorang wanita tua, oma2 gitu masuk ke ruangan dengan tertatih-tatih. Duh kaki ni oma udah susah banget jalan, kayanya karena rematik, mungkin karena bakti ke orang tua makanya dipaksain juga buat dateng ke Vihara.

Upacara molor sampai setengah jam karena menunggu pemimpin upacara yang sedang mengadakan kebaktian diruangan atas, jadi aku menyempatkan ngobrol dengan seorang oma kerabat almarhum yang ternyata adalah anak perempuan dari si almarhumah. Wah ternyata memang kebanyakan orang Tonghoa selalu mengecoh aku dari wajah mereka, rasanya tadi si oma kok terkesan jutek dan sangat tidak bersahabat ternyata ramah dan enak banget diajak ngobrol. Pada dasarnya cara pemakaman diserahkan pada kesepakatan keluarga dan juga keinginan si orang mati, akan diapakankan jenazah mereka. Jadi orang Tonghoa pada masa sekarang ini lebih banyak memilih metode kremasi sebagai perlakuan pada zenazah, penguburan menjadi tidak begitu popler karena alasan ekonomi dan kepraktisan. Sehabis dikremasipun abu boleh di tabur di lautan atau di simpan disumah atau dirumah abu. Nah oma ini lebih memilih abunya ditaburkan di laut kalau dia meninggal nanti katanya, katanya supaya lebih merasa bebas dialam sana.

Lagi asik2 ngobrol tiba diba masuk tiga orang ibu pandita berjubah kuning cerah menyenandungkan kata2 “namo ami to fo” berulangkali sambil mengetuk2 lonceng. Semua orang berdiri, ibu petugas yang tadi kerjaanya menata meja sesajian kemudian membagi2 kan buku Budha sutra, buku doa2 untuk arwah dan keluarga yang ditinggalkan dan mengeluarkan sebuah alat musik pukul yang terbuat dari kayu (ketuknya bunder gitu, tapi ada rongga di bagian dalam nya jadi bunyinya kira2 seperti bunyi orang jualan pangsit gitu). Jadi ternyata tiga tas olah raga bersar yang biasa dipake orang buat olah raga itu berisi perlengkapan doa seperti berbagai alat musik, buku-buku doa dan sebagainya. Jadi kalau ada panggilan untuk memimpin doa disuatu tempat sang Pandita tinggal bawa tas yang udah lengkap isinya.

Sebenarnya ada empat orang yang rohaniawan yang mendapingi upacara ini dan keempatnya adalah wanita, tapi ada salah seorang diantara mereka yang tidak mengenakan jubah kuning tapi ikutan memegang alat musik pengiring doa jadi aku tidak begitu tahu apakah beliau juga bertugas dalam mendamping umat dalam upacara ini. Jadi keempat orang ini (termasuk yang tidak megenakan jubah) meimpin doa dalam bahasa Tiongkok dan kelimanya berdoa sambil memegang alat musik. Si oma yang baik hati tadi memastikan aku medapat satu buku Budha Sutra ketika buku itu dibagi2kan kepada keluarga atau umat yang hadir. Sementara itu tiga diantara anggota keluarga berdiri didepan altar sesajian sambil memegang hio dan buku Budha sutra. Disela2 membaca doa adakalanya ketiga anggota keluarga ini membungkin didepan altar. Tapi sepertinya mereka bertiga tidak begitu mengerti kapan waktunya meerka membungkuk memberkan penghormatan, karena ibu petugas ruangan memberikan instruksi mereka untuk membungkuk ketika tiba waktunya mereka untuk membungkuk.

Sebelum dimulai upacara tadi aku dapat kenalan seorang ibu lainnya yang juga kut dalam upacara peringatan satu tahun kematian ini, dia tanya aku apakah aku anggota keluarga atau tidak. Mungkin aneh bagi dia karena aku ga ada tampang Tonghoa tetapi ikut mendoakan. Aku sih jujur aja bilang kalo aku mahasiswa yang sedang mngerjakan tugas, karena kayanya strategi ini yang paling efekif. Benar saja si ibu jadi seakan punya kewajiban untuk memberikan bimbingan pada aku selama doa ini, selalu memastikan bahwa aku tidak keketinggalan mengikuti setiap kata yang dibaca di buku Budha sutra, setiap kali aku celingak celinguk liat kesebelah karena ketinggalan bacaan si ibu dengan bersemangat memberi petunjuk bacaan yang benar. Padahal kan aku ga benar2 membaca doa itu. Namanya juga observasi jadi ya… melihat bagaimana wajah dan emosi orang2 yang membaca doa dari raut wajah mereka juga penting (karena termasik dalam variabel data yang akan dikumpulkan hehe…). Ada yang khusuk sekali ada juga yang membaca dengan tidak begitu serius. Ada yang sudah hafal diluar kepala tapi lebih banyak yang membaca contekan di buku Budha sutra mereka masing2.

Bacaan ini ditutup dengan bersujud tiga kali ke Budha, lalu berlanjut ke meditasi yang diiringi oleh semacam renungan hakikat tubuh manusia tentang rapuhnya tubuh manusia ini, tentang bagaimana tubuh ini begitu kotor dan tidak ada apa2nya. Karena tubuh ini hanya akan menjadi bangkai yang menjadi santapan hewan ketika mati nantinya. Pokoknya kata-katanya bikin kita instrospeksi deh kalau kita manusia hanyalah seonggok daging dan tulang, makhluk yang lemah. Ditengah-tengah meditas ini ada umat yang memutuskan tidak lemanjutkan maka diapun memberikan sujud dan penghormatan kearah Budha lalu keluar ruangan (jadi ternyata bagian ini tidak terlalu mengikat umat untuk ikut). Lalu ada doa dalam bahasa Indonesia agar arwah selamat dan diterima disisi Tuhan.

Upacara selesai dan aku segera cegat ibu2 pandita, sebelum mereka keburu kabur ketempat lain. Ngobrol sedikit (percakapan persahabatan kalo menurut Spradley) tapi sedikit memasukkan unsur pertanyaan etnografis didalamnya. Jadi upacara ini pada dasarnya tujuannya adalah untuk mendoakan arwah agar tenang di alamnya dan agar keluarga diberi ketenangan dan kesabaran. Makanan yang jadi sesajian dan persembahan dalam upacara ini adalah makanan vegetarian yang tidak mengandung daging, keluarga yang membawa dari rumah atau boleh kalau keluarga tidak sempat atau tidak mau repot juga bisa minta tolong pada vihara untuk memasakkan makanan karena sepertinya vihara punya layanan khusus dalam membantu umat untuk urusan ini.

Lantas makanan ini setelah upacara akan diapakan?? Aku tidak mendapat jawaban yang begitu jelas untuk pertannyaan ini. Karena makanan ini sepertinya dimasak dengan kaidah memasak yang benar, maksudnya benar-benar dimasak seperi memasak makanan untuk dimakan sehari-hari. Lagian mereka terlihat begitu menggoda dan wangi (Mmhhm they looks yummy). Jadi seharusnya makanan yang menjadi persembahan bagi arwah tetap dimasak dan diberi perlakuan seperti makanan manusia. Jadinya seperti kata ibu pandita makanan ini nantinya akan dimakan lagi oleh siapa yang mau (khususnya bagi keluarga yang kaya makanan tidak akan dibawa ulang lagi). Nah masalahnya siapa yang akan memakan makanan-makannan ini, siapa yang mau memakan?? Apakah umat yang kebetulan hadir di vihara ataukah para rohaniawan yang ada divihara? Apakah makanan akan diberikan kepada pengurus viahara sebagai bentuk derma oleh keluarga yang punya hajatan? Seperti apa persepsi orang-orang terhadap makanan-makanan ini apakah ada perasaan malu atau tidak enak diantara orang Tionghoa kalau mereka memakan makanan sisa sesajian sembahyang (walaupun makanan ini sebenarnya bukan makanan yang benar-benar sisa karena sama sekali tidak disentuhkan karena hanya ditaruh diatas altar saja selama sembahyang). [nanti telusuri lebih dalam lagi soal makanan persembahan dalam sembahyang ini]

Ada sebuah kertas kuning bertuliskan aksara Cina yang dibakar di hio lo yang terletak di altar luar ruangan abu leluhur ternyata adalah nama dari si almarhumah yang didoakan. Kelihatan ibu Pandita agak menekankan kalau ini bukannya percaya tahayul tapi dilakukan agar kita tidak lupa akan si almarhum dikemudian hari. Kenapa begitu khawatir kalau yang dilakukan ini bukanlah sebuah tahayul?? Mungkin karena bagian ritual yang ini tidak merupakan bagian dari ajaran Budha yang yang sebenarnya (bercampur dengan tradisi Tionghoa) [baru pendapat pribadi sih, jadi perlu ditelusuri lebih dalam]. Lalu juga ada kim cua (kertas mas) dan kertas perak yang telah dilipat yang ditaruh didalam bungkusan kantong plastik. Setelah konfirm ke pandita menurut beliau bagian ritual yang memberkati kim cua dan membakarnya adalah lebih kepada tradisi orang Tionghoa karena dalam ajaran agama Budha tidak ada yang seperti itu. Pantas tidak ditemukan tempat pembakaran kim cua dihalaman vihara seperti yang ada di halaman klenteng.

Lalu setelah ngobrol bareng bu Pandita aku dikasi bakpau dan air mineral sama si ibu yang agak jutek tadi (ga jelas juga apa bakpaunya adalah bakpau yang diatas altar atau sisa bakpau yang berlebih yang tidak jadi ditaruh diatas altar). Duh baik juga ternyata si ibu, dan agak ragu-ragu memberi tau aku kalau bakpaunya ga pake bak (babi) kok. *dalam hati: duh buk saya omnivora kok jadi jangan khawatir saya bisa makan apa aja*. Dan ternyata bakpaunya ueenak banget, rotinya lembut dan isiannya sayur-sayuran yang gurih dan agak manis…mmhhmm Yummy..


---à besok kalo ke vihara lagi minggu besok ada upacara seperti ini lagi ga ya??biar kebagian bakpau lagi maksudnya huehehe…

Rabu, 20 Mei 2009

Tugas Kuliah SSBI

Tugas Kuliah SSBI


MENJADI TIONGHOA SEKALIGUS MENJADI INDONESIA

“Perjalanan panjang usaha integrasi etnis Tionghoa untuk menjadi seorang Indonesia”


Kita semua sedang dalam proses perubahan, bersentuhan dengan kebudayaan dan kebiasaan yang berlainan dengan kebudayaan dan kebiasaan yang kita punya. Hampir tidak ada kebudayaan yang tidak tersentuh atau dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sama benarnya jika kita mengatakan bahwa hampir tidak ada masyarakat yang hidup dalam keadaan terisolasi. Semua kebudayaan pada tingkat peradaban apapun sedang dalam pergerakan.


Bumi nusantara ini sudah sejak lama menjadi seperti magnet bagi “bangsa-bangsa asing”, letak geografis yang strategis dan kekayaan alam yang melimpah manjadi salah satu alasan bagi mereka si pemilik kebudayaan asing untuk datang ke nusantara. Mereka datang untuk sekedar berkunjung, berdagang, menjalin diplomasi ada yang tinggal untuk waktu sementara namun ada juga yang menetap dan kawin mawin dengan orang lokal.


Persentuhan bangsa Tionghoa atau orang Cina yang berasal dari negeri Tiongkok terjadi sudah semenjak lama. Sumber tertulis pertama yang menyatakan persentuhan atau interaksi orang cina dengan penduduk nusantara adalah catatan cina tentang terdamparnya seorang pendeta Budha bernama Fa Hsien (Fa Hian atau Fa Xian) disebuah pulau yang bernama Ya Wa Di, nama ini diperkirakan adalah dari bunyi bagaimana orang Cina mengucapkan Jawadwipa (bahasa Sangsekerta) untuk menyebut Jaya (Margianto 2008). Namun peninggalan-peninggalan zaman prasejarah seperti tembikar dan berbagai macam senjata yang memiliki kesamaan dengan tembikar dan senjata dengan Cina membuktikan bahwa interaksi itu sudah terjadi jauh sebelumnya.


Pemukiman orang Tionghoa baru muncul setelah terjadi pemantapan hubungan dagang antara saudagar Tionghoa dengan eksportir hasil buminusantara. Karena pada masa itu sistem pelayaran masih bergantung pada arah dan kekuatan angin, maka sembari menunggu waktu yang tepat untuk berlayar kembali kenegri mereka orang-orang Tionghoa membuat pemukiman sementara didaerah-daerah pesisir nusantara. Mungkin dikarenakan hubungan dagang yang semakin intens antara orang-orang Tionghoa dengan suku-suku nusantara pemukiman yang tadinya bersifat sementara menjadi semakin kuat kedudukannya. Pemukiman ini kemudian dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana pendukung kehidupan sosial masyarakat Tionghoa (seperti klenteng dan rumah-rumah perkumpulan marga atau she).


Peraturan kerajaan Tiongkok menyatakan bahwa kaum perempuan tidak diizinkan keluar negri maka kaum laki-laki menjadikan para wanita pribumi sebagai pasangan mereka[1]. Dari perkawinan ini lahirlah generasi-generasi campuran yang kemudian disebut dengan berbagai sebutan yang berbeda diseluruh Indonesia. Babah, nyonya, cina peranakan, orang peranakan dan semacamnya merupakan konsep-konsep yang mengacu pada orang-orang berdarah campuran Tionghoa Indonesia. Kaum peranakan ini kawin dengan sesama mereka, dengan Tionghoa-tionghoa baru yang datang belakangan dari Cina atau dengan penduduk pribumi. Asimilasi yang terjadi begitu halus dan wajar, benturan-benturan budaya dialami oleh Tionghoa dan pribumi tapi bukanlah sebagai sesuatu yang menghambat integrasi orang tionghoa sebagai usaha untuk menjadi bagian dari penduduk nusantara.


Kaum peranakan menciptakan sebuah corak budaya baru yang unik yang berbeda tapi memiliki masing-masing sedikit dari karakter dari budaya Tiongkok dan nusantara. Budaya hibrida memperkaya corak budaya bangsa ini bahkan tidak bisa dikatakan sekedar memperkaya corak budaya bangsa saja. Tapi berbagai kontribusi disumbangkan oleh kaum peranakan, dalam hal pakaian orang madura telah mengadopsi syle pakaian mereka dari baju ala Tionghoa (baju khas kanton). Pengetahuan menjahit tidak dimiliki oleh penduduk nusantara sampai pada abad ke-15 dan 16, bangsa orang Tionghoa memperkenalkan jarum dan benang kepada mereka. Penduduk nusantara juga belajar cara mengolah lahan pertanian dari orang Tionghoa, sehingga hasil yang mereka dapatkan berlipat ganda. Dalam hal makanan banyak bahan makanan yang sebelumnya tidak dikenal dinusantara yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa seperti kacang hijau dan tauge, tahu, taoci, mie. Belum lagi dalam hal kesenian, arsitektur dan sebagainya (Margianto, 2008).


Prinsip adu domba sudah mulai diterapkan oleh Belanda tanpa disadari oleh penduduk Indonesia prakemerdekaan, orang Tonghoa hanya dibolehkan bermukim didaerah-daerah yang sudah ditentukan inilah yang menjadi cikal bakal berbagai kampung cina yang tersebar diseluruh Indonesia (Danandjaja, 2007), bahkan untuk mempermudah koordinasi demi kepentingan pemerintah kolonial dipilihlah beberapa orang sebagai kapitein cina yang bertugas sebagai pemimpin sebuah komunitas Tionghoa dikota-kota besar. Belanda mengklasifikasi strukstur masyarakat Indonesia dalam bentuk golongan-golongan yang terstratifikasi. Walaupun secara dalam stratifikasi yang dibuat oleh Belanda kedudukan masyarakat Tionghoa berada setingkat diatas pribumu tapi hidup mereka sama menderitanya dengan pribumi karena berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kolonial sangat memberratkan, termasuk dalam penjualan hasil bumi mereka. belanda sengaja menciptakan iklim bermasyarakat yang timpang guna memecahbelah persatuan dan mencegah timbulnya kesadaran perstuan penduduk Indonesia (baik Tionghoa maupun pribumi).


Pada masa pergerakan kemerdekaan tidak sedikit sumbangsih yang diberikan masyarakat Tionghoa demi terwujudnya kemerdekaan, tiga orang anggota BPUPKI merupakan orang Tionghoa. salah seorang diantara mereka sangat disayangkan meninggal di pertiwi Indonesia dalam keadaan stateless (tidak memiliki kewaganegaraan). Pada awal kemerdekaan beberapa posisi parlemen dan mentri dikabinet orla diduduki oleh orang Tionghoa. Permasalahan baru muncul ketika perdana mentri RRC pada masa itu mengklaim semjua orang keturunan Cina atau yang berdarah Cina yang berada diluar negri merupakan warga negara RRC karena mereka menganut azas ius sanguinis. Permasaahan ini diselesaikan pemerintah RI dengan membuat perjanjian bilateral dengan RRC yang berisi tentang status dwikewarganegaraan bagi WNI keturunan Cina (orang-orang Tionghoa) sampai batas tertentu dan setelah itu mereka diberikan kesempatan untuk memilih kewarganegaraan mereka. Hal ini membuat orang-orang mempertanyakan loyalitas mereka kepada negara Indonesia.


Konflik dengan PKI yang terjadi di Indonesia merembet kepada sentimen anti Cina atau Tionghoa, mereka menjadi amuk kekesalan masa yang karena orang-orang Tionghoa dianggap dekat dengan PKI atau terlibat dengan PKI. Semenjak itu orang Tionghoa tidak diperkenankan bekerja dipemerintahan, satu-satunya akses mereka dalam mencari makan adalah dibidang perdagangan. Berdagang, membuka toko merupakan profesi utama orang Tionghoa. Ironisnya masyarakat Indonesia mencap mereka sebagai golongan yang tamak, opurtunis, binatang ekonomi, eksklusif dan segalamacam. Padahal ini dikarenakan pemerintah ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya tidak memberi kesempatan kepada mereka, orang-orang sudah teracuni oleh pemikira-pemikiran dan stereotip negatif tentang mereka.


Kesalahan besar yang dibuat oleh pemerintah orba megenai asimilasi, suatu usaha pembauran orang Tionghoa secara budaya agar mereka dapat dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia (walaupun secara hukum mereka adalah WNI). Karena konsep Indonesia berarti pribumi sedangkan pribumi diartikan sebagai sukubangsa asli yang mendiami tanah ini. Jadi pada waktu itu etnis Tionghoa tidak dianggap sebagai Indoenesia atau belum cukup Indonesia. Pembauran yang dipaksakan dan tidak semestinya ini sangat merusak struktur masyarakat dan eksistensi kebudayaan Tionghoa, semua bentuk kebudayaan Tionghoa tidak boleh ditampilkan, mereka dilarang merayakan hari-hari besar, dilarang menggunakan aksara mandarin, diarang bercakap-cakap dengan bahasa Tionghoa, dilarang beragama Konghuchu atau Tao (kedua agama ini hanya diakui sebagai aliran kepercayaan) akibatnya beramai-ramai mereka bertukar keyakinan tanpa sepenuh hati mengimani keyakinan baru mereka, dan yang paling tidak masuk akal adalah peraturan ganti nama. Hal ini sangat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat Tionongoa. Coba saja banyangkan bagaimana jadinya kalau anda adalah seorang Batak dan tianggap keBatakan anda itu dianggap penghalang untuk menjadi seorang Indonesia kemudia nama batak anda Hotman Siahaan (misalnya) dipaksa diubah menjadi nama Jawa karena budaya Jawa atau segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa dianggap merepresentasikan budaya nasional Indonesia.


Ini bisa dikatakan suatu usaha pelenyapan sebuah kebudayaan, padahal kebudayaan Tionghoa sejatinya merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Pemerintah seharusnya tidak perlu meragukan loyalitas kebangsaan orang-orang Tionghoa kepada Indonesia ketakutan yang tidak beralasan. Bagi kebanyakan orang Tionghoa tanah air adalah tetap Indonesia sedangkan Tiongkok hanyalah tanah lelulur agaknya sama seperti orang Jawa yang sekarang menjadi warga di negara Suriname.


Dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah Indonesia sebelum masuknya bangsa Eropa tidak pernah ditemukan kasus konflik antara Tionghoa dan pribumi. Sentimen anti Tionghoa dan Tionghoa dengan berbagai stereotip negatif justru timbul setelah era kolonialisasi oleh Belanda. Masalah Tionghoa berlanjut dan seakan tidak pernah redup dari panggung sejarah bangsa Indonesia pada masa pendudukan (baik Belanda maupun Jepang). setelah Indonesia merdeka Indonesia sebagai negara baru mulai menata segala sesuatu namun tetap memiliki beberapa hal yang dibenahi mengenai ketionghoaan ini. Orde baru baru pemerintah melakukan kebijakan yang bisa dikatakan sebagai usaha pemusnahan sukubangsa atau apa yang mereka sebut dengan konsep asimilasi total. Reformasi membawa angin segar bagi kehidupan orang Tionghoa di negri ini, mereka mulai diberi kesempatan untuk menjadi bagian seutuhnya dari bangsa ini, namun tidak sedikit harga yang dibayar oleh orang Tionghoa untuk mendapatkan kebebasan paskareformasi. Kerusuhan Mei ’98 benar-benar pukulan bagi mereka, amuk masa tidak dapat dibendung, toko-toko dan rumah mereka dibakar istri dan anak-anak perempuan mereka diperkosa beramai-ramai.


Berangkat dari beragam dan begitu kompleksnya malasalah etnis Tionghoa penulis penulis berpendapat bahwa hal ini seharusnya menjadi concern bagi pemerintah agar lebih bijak dalam menangani masalah ini. Apa yang telah dibangun oleh pemerintahan paska referormasi hendaknya terus dilanjutkan, penghapusan istilah pribumi dan nonpribumi dalam UU kependudukan dan UU Sistem Administrasi Kependudukan (hanya ada istilah WNI dan WNA) adalah penting adalah pentik karena ini merupakan sebuah usaha pengakuan dari pemerintah maupun segenap elemen bangsa bahwa kita semua sama. Semua suku dari NAD sampai Papua adalah Indonesia. Sedangkan orang Tionghoa sendiri dituntut untuk belajar kembali ketertinggalan mereka dalam budaya mereka sendiri karena bisa dikatakan satu generasi telah dicuri dan buta dengan kebudayaan Tionghoa. pantas jika James Danandjaja menyebutkan proses belajar kebudayaan kembali ini merupakan terapi penyembuhan amnesia yang selama ini diderita oleh orang-orang Tionghoa.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. Folklor Tionghoa. Jakarta. Grafiti. 2007

Erniwati. Asap hio di Ranah Minang: komunitas Tionghoa di Sumatra barat. Yogyakarta. Penerbit ombak. 2007

Sumber Internet

Leo Suryadinata. Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan antar Etnis. Dalam: http://joomla.budayationghoa.org/index.php?option=com_content&task=view&id=47&Itemid=30

HM. Amien. Imlek Momentum Tingkatkan Kesetiakawanan Sosial

Heru Margianto. Cerita tentang Bangsa Perantau : Asimilasi, Pencinaan Kembali, dan Pengakuan Dalam:Iccsg.wordpress.com



Senin, 11 Mei 2009

Liburan Waisak,,,?? maen2 ke vihara yuuuk...

Hari ini bertepatan dengan waisak, ternyata perayaan atau semacam upacara telah diadakan pada pagi harinya. Memasuki vihara ini (ruangan utama), seorang ibu sedang menguras air bekas mandi rupang atau patung Budha masa kecil dengan air bunga. Air ini kemudian ditampung didalam sebuah ember dan di bungkus dengan plastik seukuran plastik pembungkus es batu, untuk kemudian boleh diambil oleh umat. Air ini dianggap suci bagi umat yang mempercainya. Posisi Budha kecil yang berdiri hanya dibalut oleh selembar kain di bagian alat vital-Nya adalah posisi ketika Dia dilahirkan, langsung bisa berdiri dan disetiap tanah yang dipijaknya tumbuh bungan teratai (lotus).


Sementara itu si Ibu yang gw tanya tentang informan yang tepat mengoper gw ke seseorang yang sepertinya adalah juga petugas atau pengurus vihara. Diki, sedang menuangkan minyak kedalam pelita-pelita. Dari logat sepertinya dia dari Jawa, katanya Romo sedang off *ajaib,, gw kira istilah of cuma dipakai oleh orang yang kerja kantoran aja* . Baru saja pulang, tadinya sih memang ada ibadah. Ternyata seorang rohaniawan Budha di vihara ini tidak digaji sehingga mereka memiliki “pekerjaan lain” yang menghasilkan gaji disamping berbhakti terhadap umat di vihara ini. Si diki ini pastilah semacam petugas juga di vihara ini yang bekerja secara voluntere.


Pelita-pelita yang di apungkan diatas cairan minyak dan air ini digantungkan di dua buah wadah berbentuk kubah yang terbuat dari logam berwarna keemasan. Kedua wadah logam tempat menggantungkan pelita-pelita ini berada di kiri dan kanan altar dewa-dewa sementara itu di dinding dekat pelita itu ditempel karton bertuliskan nama-nama umat penyumbang pelita, keempat sisi karton ini bertuliskan aksara cina, semua nama penyumbang pelita bernama cina bahkan beberapa nama ditulis dengan aksara cina juga. Karena generasi muda Tionghoa kota pada sekarang ini tidak lagi diberi nama tionghoa oleh orang tua mereka jadi gw berasumsi bahwa pastilah orang-orang didalam daftar ini adalah orang-orang tua.


Trus waktu gw lagi baca-baca brosur dan buku-buku dideket tangga beberapa orang bertampang India masuk dua orang cowok dan beberapa orang cewek. Awalnya sih ge kira mereka turis atau semacamnya tapi kemudian gw liat mereka ikutan mandiin Budha (denga hio) dan sembahyang didepa altar dewa-dewi. Cara mereka sembahyang berbeda2 ada yang duduk bersimpuh ada yang berdiri, ada yang mengatupkan kedua telapak tangan seperti orang kristen ada juga cara berdoa yang belon pernah gw liat sebelumnya (menyambungkan kedua telapak tangan dengan mempertautkan jari2, jadi telapak tangan mengarah ke dada sedangkan kedua jempol menghadap ke atas) belum pernah melihat yang seperti ini sebemumnya. MMhhhmm mungkin tradisi Hindu atau semacamnya dari India. Dan ga salah liat lagi gw cowok-yang-berdoa-dengan-cara-yang-belom-pernah-gw liat-sebelumnya membuat tanda salib didadanya setelah berdoa didepan altar (agak aneh ya...)


Gw nyari2 kesempatan buat ngobrol bareng mereka, tapi ga lucu kan kalo mereka lagi ibadah gw recoki dengan pertanyaan2 yang bernada sok akrab. Satu yang sama dengan kebiasaan orang tionghoa berdoa, mereka juga menggunakan dupa atau hio. Tapi tetep aja dupa2 itu keliatan janggal ditangan mereka, tidak seperti gerakan orang tionghoa yang memegang hio mereka ketika sembahyang diklenteng. Akhirnya setelag mereka menancapkan hio di hio lo yang terletak di pelataran vihara (berasumsi pada tahap ini mustinya ibadah telah selesai dilakukan).


Gw nyapa cowo-yang-berdoa-dengan-cara-yang-belom-pernah-gw-liat-tadi dengan bahasa Inggris. Namanya Najraf (kalo kaga salah, secara gw selalu ga pernah pay attention waktu kenalan sama orang. Kenalan, trus dua detik kemudian gw lupa nama makhluk yang barusan kenalan sama gw *biasanya gitu*) sopan, sangat sopan bahkan kalo menurut gw. Mungkin karena tersugesti dengan beberapa orang Inda lain yang pernah gw kenal. panjang lebar ngobrol kalo gw lagi bikin skripsi, kuliah di antro, tertarik dengan kebudayaan tionghoa dst... *mendominasi pembicaraan, ngobrol terus menyerocos masih dengan bahasa Inggris*.

dan...

“excuse me are u an exchange student from medical faculty?“

“yep.”

“are u Malaysian?”

“yes...”

Hahayy ngapain capek ngomong Ingris kalo kami sama2 bisa bahasa Melayu atau Indonesia. Akhirnya obrolan dilanjutkan denga bahasa Indonesia saja. Jadi gw dan teman2 baru dari Malaysia ini beranjak ke ruang berdoa selanjutnya di lantai dua, trus ngikutin ibadah mereka sampai ke ruangan lantai tiga juga. Sebenarnya mereka adalah Hindu tapi karena menurut mereka Hindu dan Budha punya banyak kesamaan makanya mereka juga berdoa di Vihara. Ketika pulang si Najraf membawa beberapa kantong plastik air mandi Budha juga.


Senin, 04 Mei 2009

Untuk kesekian kalinya otak gw yang supercerdas yang kecerdasannya beberapa point lebih tinggi dari skor kecerdasan otak simpanse ini melupakan hal2 kecil yang penting banget. Hari jumat kemaren setelah berpuas diri dapat menyelesaikan semua soal UTS mata kuliah SPI, berkat bantuan catatan kuliah gw yang paling setia dan yang paling gw sayang si Romlah.


Malang nian nasib si Romlah, setelah selese ujian dia gw biarkan tergeletak lesu di kelas dan gw nyelonong keluar, anjriiit. Padahal banyak catatan kuliah penting disana!!! Kenapa gw ga bisa ga bisa sedikit aja berkonsentrasi dan tidak lagi melupakan hal2 seperti ini, ga lagi ngilangin kinci, buku, deodorant, HP, kacamata deelel. Sebell tidak hanya karena telah kehilangan catatan AKA Romlah, tapi sebel karena gw udah ceroboh.


Pagi ini lengkap sudah kekesalan gw, pagi2 jam 10 sebelum menunaikan tugas gw sebagai staff laboratorium Antropologi di jurusan, gw berlari2 centil di sepanjang koridor gedung E *berharap Romlah masi bisa diselamatkan* dan tebak apa yang gw temukan. Helai demi helai halaman Romlah yang berisi catatan kuliah gw di gulung jadi satu. Najiiiiisss, ANJING KURAAAAAAAAAPPPPPPP!!!!!!!!


Dengan sehelai kertas yang ada pesannya, bunyinya gini :

Maaf ya Prabu buku lo gw ambil habis gw naksir ma buku lo....?

Makasih banyak ya ya...

Trus di halaman depan ada lagi tulisan yang kaya gini:

Kalo lo mau beli lagi ya...


Anjing kurap,, gw sumpahin ... dari tulisannya sih jelas banget tu tulisan cewek, danditambah lagi ada kata2 curhatan dan gambar2 ga jelas yang cewek banget...

Busuk banget ga sih kelakuan ni anak? Sebusuk dan seanyir bau vagina si cewek brengsek ini. Bakalan gw silet wajahnya dengan pisau cukur bekas pencukur bulu pubis penderita HIV/AIDS *biar ketularan HIV tuh sekalian wanita jalang ini*


Ketahuan banget rendah harga diri manusia hina yang paling hina dari pada gelandangan yang paling hina sedunia hina di planet terhina!!! Buku udah bulukan dan ga berbentuk masi aja diambil, bela2in pake disobek segala. Gw lebih rela buku gw ini di lempar ketong sampah dari pada dibalikkan dalam bentuk lembaran2 plus pesan2 yang menjijikkan! .


Huh...huh...huhhhh

*tersengal2, dada naik turun*

Biarin biar orang pikir gw sinting karena maki2 ga jelas di blog ini...!!

Yang penting hasrat gw untuk mnegutuk dan memaki2 sudah terpenuhi!!!

Jumat, 01 Mei 2009

INDONESIA bukan negara Islam!!!

Dua hari yang lalu gw memendapatkan email diatas lengkap beserta foto2 aksi penolakan dari organisasi yang ga jelas bernama FORKABI itu *tapi entah kenapa fotonya kaga muncul* tapi ga pentinglah, cuma gambar poster bernada penghakiman dan penolakan dari segerobolan orang2 bodoh yang membawa2 dana agama (islam). Jelas banget tidak “berbudaya” *hidup budaya!!*:

Perhatikan beberapa foto yang dijepret oleh seorang sahabat saya di Jakarta. Benar, persis, gerombolan spesies dari jaman batu berulah lagi!

Nah, bagaimana menurut anda? Bagi saya sih ada 1 indikasi absolut nan sederhana: sebagian besar anggota dari perkumpulan para pengangguran itu belum pernah ke Kuta. Belum pernah menikmati riuh kosmopolitan namun damainya Kuta. Bali yang penuh senyum, aman, dan tanpa golok juga kelewang. Sedangkan sebagian kecil petinggi organisasinya yang pernah ke salah satu destinasi pariwisata terbaik di dunia itu merasa risi melihat menjamurnya perempuan berbikini dan bebasnya penjualan minuman beralkohol. Spontan saja vonis, "Maksiat!", menyembur dari mulutnya yang bau pesing (akibat melulu ngibulin 3 istri pertamanya biar bisa kawin lagi dengan bakul jamu muda nan segar tetangga sebelah, hiks). Padahal duh-gusti fakta tajam lagi sengit berbicara: di Bali, di pulau berpantai indah dan nyiur sepoi melambai, tingkat pemerkosaan serta derajat kriminalitas- --pula kecenderungan korupsi, jika mau membawa topiknya lebih melebar---jauh lebih rendah (jika sebagian dari anggota Forkabi masih buta huruf, mari saya eja: JA-UH LE-BIH REN-DAH) dibanding di Jakarta maupun daerah-daerah lain di Indonesia yang mengaku, ahem, religius. Silakan deh dicek ke insititusi terkait.
Lagipula, Forkabi mungkin lupa, jika dinamika turisme Jakarta terlalu dikekang, para wisatawan Arab Saudi (negara sumber inspirasi mereka) yang banyak berkeliaran di sekitar Menteng---dan sebagian sudah mulai merambah Kemang---niscaya bakal ogah lagi datang ke Jakarta. Lha, iya toh, wong sama aja doktrinal/konservatif/kolot/ literal/ortodoks nya kayak Riyadh, ngapain juga berpelesir ke Jakarta?

Dan menanggapi spanduk di atas kayaknya normal aja kita bikin propaganda kontra:
KAMI MENERIMA INDONESIA MENJADI NEGARA RELIGIUS.
TAPI KAMI MENOLAK INDONESIA MENJADI NEGARA PERSEMAKMURAN WAHABI DAN/ATAU TALIBAN,
MENAMPIK NUSANTARA MENJADI PUSAT PENGGEMBALAAN ONTA & LADANG KURMA,
SERTA TEGAS MENENTANG MERUYAKNYA IRAMA PADANG PASIR
(Wih, agak kepanjangan ya? Maaf, emosi soalnya, he he…)

Muslim moderat, Hindu liberal, Nasrani merdeka, Buddha rasional, Konghucu toleran, sejawat se-Nusantara pengibar Bhinneka Tunggal Ika, sudah saatnya anda melakukan sesuatu. Jangan terus diam saja. Tubuhkembang fundamentalisme secara sistematis sudah makin dalam masuk ke pori-pori negeri multi suku ini. Jelas, manuver tersebut keji mengkhianati, melukai, mengencingi, prinsip "Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Juga". Pelan tapi pasti ranah privasi anda, kemerdekaan anda, hak asasi anda, akan tergerus makin menyempit, terus mengecil, hingga akhirnya sirna. Nihil. Nol besar.
Partai Keadilan Sejahtera telah sukses mendorong lahirnya Undang Undang Pornografi, sebuah produk hukum yang jika jeli dicermati penuh bermuatan fundamentalisme (kami, Komponen Rakyat Bali, menyusul rekan-rekan lain yang telah maju duluan, dalam waktu dekat akan berangkat ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan uji materi). Buka mata anda lebar-lebar, sadari sejak sekarang, bahwa sebentar lagi paguyuban saudagar kambing ini akan mengetok pintu rumah anda, meminta anda memindahkan kanal televisi---dari MTV ke sinetron bertema religi, mematikan DVD berorientasi gay, "Milk", ke film dokumenter "Sejarah Kerajaan Saudi Arabia"; mengecilkan volume stereo system di ruang tamu dus ofensif disarankan mengganti album dari sosok aseksual, Morrissey, dengan Irama Padang Pasir; menyudahi bacaan berbau "Barat" dan menggantinya dengan buku-buku agama, menghardik saudara perempuan anda yang memakai atasan yang agak memperlihatkan belahan dadanya, dan bukan tidak mungkin Ayah anda yang lulusan Ludwig Maximilian University of Munich disarankan mengganti BMW tua kesayangannya dengan, well, onta…

Mau digituin? Emoh? No way? Maka itu: LAWAN!

Merdeka Menjadi Bianglala,
RUDOLF DETHU
Komponen Rakyat Bali


Lega rasanya ada juga orang cerdas yang seide dengan saya :)

Emang susah kalo mencari jati diri budaya indonesia, tapi yang jelas budaya indonesia sendiri BUKAN berasal dari Arab, Saudi Arabia sana atau negara2 arab lainnya. Kita cuma belajar agama (islam) dari mereka!! setelah itu bagaimana kita mengapresiasi keislaman itu, menjalakan keislaman yah urusan kita dong,, lhaa itu kan disesuaikan dengan Local Geniusnya kita orang indonesia.

Islam di Jawa atau Sumatra yah beda lah dengan islam yang ada di Maroko atau Arab, ga bisa disamain! Banyak orang megadopsi budaya2 Arab dengan alasan agama *bodoh banget,, cuuuih* walaupun saya Muslim juga. Tapi saya pantang banget menghakimi orang, mari mengapresiasi budaya Indonesia yang indah ini. Tanpa menghakimi orang2 dan mencap mereka kebarat2an dalam berpakaian dan juga gaya hidup,,, kalau boleh saya tanya jilbab (yang lebih parah lagi ditambah dengan cadar) itu budaya mana sih??bukannya budaya arab sono? pake jubah plus sorban juga bukan budayanya orang Indonesia kan???

Satu masalah lagi mereka memakai terminologi “maksiat”, apasih maksiat itu? Ga bisa dong kita menyamaratakan semua ini sebagai perbuatan maksiat karena Indonesia adalah negara plural *bukan sekedar negara yang heterogen saja!*. jadi kalau teteup bersikukuh menggunakan model analisa maksiat ala “forum” ga jelas ini marilah kita melihat kata maksiat dari sudut pandang antropolgisnya bukan TEOLOGIS (karena biasanya kata maksiat sering digunakan oleh salah satu agama) !

jadi kalo "mereka" berteriak2 kita berbuat dosa dan kafir karena make jeans, tanktop dan produk2 budaya barat suruh aja mereka buka jilbab, cadar, sorban, jubah dll suruh ganti dengan blangkon, kopiah, baju kurung, baju bodo, koteka, noken, ulos dan sebagainya karena itu adalah produk budaya indonesia kan?????

Buat semua orang Indonesia, buka mata lebar2. Jangan sampai negara ini perlahan2 menjadi negara agama. NKRI harus dipertahankan!

Maaf kalo ada yang tersinggung...

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats