Minggu, 12 September 2010

Rantai perdagangan ikan dan usaha pembuatan keropok (Sabtu, 14 Agustus 2010)

Kira-kira pukul 10 WIT pak kades mengantarkan kami ke desa Ujung Pandang yang letaknya berseberangan dengan desa Bunut, desa ini masih merupakan bagian kota Nanga Bunut yang terdiri dari 4 desa yaitu Bunut Hulu, Bunut Tengah, Bunut Hilir dan Unjung Pandang. Tampaknya beliau memang mengosongkan waktunya untuk perjalanan ke Ujung Pandang hari ini dan ini tidak seperti sekedar 'kegiatan menemani anak2 (kami bertiga)' saja tapi juga terlihat sekalian mengunjungi keluarga. Kami mengunjungi keluarga besar istri pak Wim yang tinggal di Unjung Pandang tepatnya di dusun Tanjung Kapuas, salah satu adik beliau punya usaha pembuatan keropok basah dan keropok kering.


Rumah bu Rusdiana (adiknya bu Kades) tepat berada di belakang masjid Ujung Pandang, hanya butuh beberapa menit menyeberang dari Buntu melintasi sungai Batang Bunut ke Ujung Pandang. Seperti sebagian besar orang-orang di Nanga Bunut satu keluarga besar tinggal berdekatan satu sama lain, pertama sampai di Ujung Pandang kami mengunjungi rumah yang kemungkinan besar milik orang tua bu Kades. Didepan rumah teronggok beberapa bubu dan pinyarak lali pak wim menjelaskan sepintas tentang cara kerja dan fungsi alat ini.


Proses pengadukan adonan dan pencetakan kropok dilakukan disatu ruangan, pengukusan dilakukan diruangan terpisah (bersebelahan dengan tempat pencetakan dan pengadukan adonan) sementara itu penggilingan ikan sudah dilakukan sebelumnya karena bu Rusdiana tidak memiliki mesin giling sendiri jadi dia harus mengupahkannya kepada orang lain. Mata saya perih karena asap tungku mengepul-ngepul memenuhi ruangan, ada kira-kira 5 sampai 7 karyawan wanita dari berbagai usia sepertinya ada yang sudah menikah dan ada juga yang masih gadis yang bertugas di bagian pengadukan adonan dan pencetakan, sementara itu yang bertugas mengukus adonan juga semuanya wanita ada 3 sampai 4 orang (usianya juga beragam). Mereka semua sangat bersemangat dengan kehadiran kami, ketika saya melontarkan satu pertanyaan kepada salah seorang diantara mereka yang lain ikutan berebut menjawab pertanyaan tersebut, ada juga yang menambahkan informasi ini dan itu tanpa saya minta. Saya mendapat kesan bahwa mereka sangat exited dengan keingintahuan saya tentang pekerjaan dan aktivitas sehari-hari mereka yang mereka anggap biasa saja. Ketika saya bertanya tentang seperti apa cetakan keropok anggur itu dengan semangat salah satu mereka menunjukkan kepada saya dan walaupun pada saat itu merekaa tidak sedang mencetak keropok anggur tapi mereka mau melakukan percobaan mencetak keropok anggur dihadapan saya. Saya tidak mengerti kenapa ada orang yang tahan bekerja pada kondisi seperti ini, ruangan yang penuh asap (terutama ditempat pengukusan keropok) memuat mata pedih dan berair. Para karyawan bu Rusdiana dalam kondisi kerja sekali ini pun sepertinya sangat menikmati pekerjaan mereka, ada yang bernyanyi-nyanyi mengikuti musik yang diputar oleh salah satu mereka dari HP.


Menjelang lebaran permintaan akan keropok kering meningkat karena kropok kering menjadi salah satu hidangan ketika Idul Fitri disetiap rumah di Nanga Bunut. Jenis keropok kering yang menjadi sajian lebaran adalah keropok anggur, keropok apel dan keropok cabe, sebenarnya ketiga jenis keropok ini adalah jenis kropok kering yang sama hanya saja dinamakan sesuai dengan bentuk cetakannya. Dinamakan keropok cabe karena di cetak seperti cabe atau demikian juga dengan keropok apel dan anggur karena memang bentuknya seperti buah-buahan tersebut. Ketiga jenis ini bentuknya menarik dan juga berwarna, agak tinggi tingkat kesulitan pembuatannya (terutama ketika mencetak) karena itu harganya agak mahal jika dibandingkan dengan keropok kering yang dicetak dalam bentuk bulat-bulat seperti biasa.


Bu Rusdiana hanya membuat keropok ketika ada pesanan, biasanya pada masa Ramadhan dan semakin dekat menjelang lebaran dia menjadi lebih banyak kebanjiran pesanan. Dengan karyawan sebanyak 10 orang yang bekerja dari jam 8 sampai 5 sore selama bu Rusdiana memproduksi keropok kering. Ikan yang menjadi bahan baku utama pembuatan keropok didapat dari membeli di danau Pontu.


Selanjutnya saya keruangan tengah, disitu sudah berkumpul sebagian besar anggota keluarga besar bu kades ada seorang bang Joe (adik laki-laki bu kades) dan sitrinya, lalu ada bapak , umak (ibu) bu kades dan beberapa orang anak kecil yang saya duga adalah para keponakan. Baru tau belakangan setelah dikenalkan oleh ibu kades bahwa seorang bapak yang saya salami ketika melihat bubu tadi adalah ayah beliau.


Bang Joe bekerja sebagai pengumpul kedua dalam rantai perdagangan ikan, dia membeli ikan dari pengumpul pertama di Siawan. Setelah para nelayan menangkap ikan di Siawan dengan menggunakan pukat atau jaring mereka kemudian menjualnya kepada pengumpul pertama di Siawan (kemungkinan disekitar danau ada semacam pasar dadakan untuk jual beli ikan sementara). Para pengumpul pertama didalam rantai perdagangan ikan ini mendapatkan persenan sebesar Rp.3000 perkilo dari bang Joe.


Selanjutnya ikan ini akan dijual ke daerah hulu, jadwal pembelian di Siawan juga tidak tentu kadang sekali seminggu atau sekali dalam dua minggu. Tergantung adanya telpon dari pengumpul di Siawan. Kadang ketika akan menjual ke hulu dalam perjalanan pulang Joe mendapat telpon dari Siawan bahwa ada pasokan ikan maka ia akan singgah terlebih dahulu di Siawan untuk menjemput. Ada tiga klasifikasi ikan meunurut beratnya yang pertama adalah BTK (saya lupa menanyakan kepanjangan dari singkatan ini) adalah ikan-ikan yang berbobot setengah kilo kebawah dibeli dari pengumpul pertama 12 ribu perkilo, yang kedua adalah BK (barang kasar) yaitu ikan yang berbobot setengah kilo keatas (16 ribu perkilo)dan yang terakhir adalah ikan kelas ekspor (diekspor ke Malaysia) yaitu ikan yang berbobot tiga kilo keatas (dibeli dari pengumpul pertama 42 ribu perkilo). Rantai perdagangan Ikan kelas ekspor ini menunu malaysia adalah dari pedagang sekelas bang Joe ikan lalu di beli oleh penampung di Jongkong disana ikan di kemas dan di bekukan, setelah itu melalui Lanjak, lalu lewat Badau ikan di bawa ke Lobok Antu, Malaysia. Biasanya bang Joe jarang membeli ikan kelas ekspor alasannya yang pertama adalah ikan berbobot sebesar ini memang tidak bisa didapatkan setiap waktu oleh para nelawan, yang kedua walaupun ikan sudah didapat biasanya masih harus diseleksi dulu karena para penampung di Malaysia tidak menerima ikan yang cacat.


"satu ja' lepas sisik ni sidak (mereka) nak mau tu"


Ada kemungkinan penampung ikan di Malaysia akan membeli ikan yang cacat tapi harganya akan sangat rendah, jadi biasanya karena alasan ini mereka tidak terlalu memprioritaskan untuk mendapatkan ikan kelas ekspor.

Sabtu, 11 September 2010

Heri dan pekerja pembuat keramba (Jumat, 13 Agustus 2010 part 2)

Hari ini jumat, saya memilih untuk shohat jumat di Masjid Besar Kemarin sore saya melihat ada beberapa hal menarik dari masjid yang ingin saya telusuri lebih lanjut. Didalam masjid sama sekali tidak terasa panas lembab seperti udara diluar, mungkin karena arsitektur masjid yang memungkinkan udara bisa masuk bebas, selain itu masyarakat Bunut percaya kayu belian yang digunakan di sebagian besar bangunan masjid ini bisa memberikan efek menyejukkan didalam ruangan masjid. Sedikit bersemangat karena saya megira akan mendengar khotbah dalam bahasa Hulu tapi ternyata khotbah dibacakan dalam bahasa Indonesia ada yang menarik dari pembacaan khotbah, sang khatib membacakan khotbah sambil memegang tongkat kayu. Ternyata memegang tongkat merupakan salah satu sunah dalam ritual sholat jumat, tapi sunah ini sepertinya tidak cukup populer ditempat asal saya. Baru pertama kali ini saya lihat, tradisi ini sudah dimulai sejak masjid pertama kali dibangun, tongkat yang ada sekarang inipun masih tongkat yang sama yang terbuat dari kayu belian untuk tiang masjid. Kabarnya tongkat ini pernah dicuri orang dan kemudian secara ajaib tongkat kembali ke masjid dengan sendirinya.


Rencana awal membangun rapport dengan para pengurus masjid harus saya tunda dulu karena seorang kenalan baru, Heri akan mengajak kami untuk ikut ke danau Tramabas siang ini selesai sholat Jumat. Eri kira-kira berusia 30-an akhir. Sudah berkeluarga dan punya seorang anak balita perempuan, dia tinggal di dusun Perdah desa Bunut Hulu dan masih ada hubungan saudara dengan pak Wim. Seperti hampir setiap orang di Bunut Eri pun mempunyai banyak profesi, Eri mempunyai kapal tambang yang biasa disewa oleh orang-orang Bunut untuk mengangkut barang selain itu yang saya dengar dia juga suka masuk hutan untuk menebang kayu. Saya belum berani menanyakan hal ini secara langsung kepada Eri, kayu menjadi topik yang sensitif apalagi untuk informan yang mungkin sangat berharga seperti dia.


Kebetulan hari ini dia akan mengantarkan 5 orang pekerja pembuat keramba ke danau tramabas. Kami berangkat dari dermaga kecil yang terletak di dusun Kuala Bunut arah ke timur rumah pak Wim. Sesampai kami di dermaga tampaknya para pekerja dan Eri sudah selesai memuat barang-barang kebutuhan pembuatan keramba kedalam kapal. Lima orang pekerja ini akan membuat keramba di danau Tramabas dan mereka akan tinggal disana selama 20 hari kedepan. Semua barang yang mereka butuhkan seperti drum-drum plastik, kayu, paku, alat-alat pertukangan dan kebutuhan makanan selama disana dimuat sekali angkut bersama kapal si Eri ini.


Eri ramah kepada kami, ia bahkan mengizinkan Kukuh untuk mencoba mengemudiakan kapalnya sebentar betika melewati sungai besar. Sepanjang jalan bercerita tanpa henti, saya menangkap beberapa info penting rantai penjualan burung dan konsepsi masyarakat terhadap danau. Sebagai awam saya melihat danau ini hanya sebagai danau, hamparan air luas yang tidak memiliki ruang, tapi ternyata ada pembatas-pembatas wilayah imajiner didalam kepala para nelayan. Danau ini dibagi-bagi kedalam bebrapa area yang diberi nama juga, batas-batasnya sangat abstrak yang hampir mustahil bias saya lihat. Batas-batas imajiner ini ditunjuk-tunjuk Eri kearah danau. Saya bertanya kenapa mesti danau dibagi-bagi? Dia tidak tau persis kenapa, katanya mungkin agar para nelayan lebih mudah saja menandakan bagian mana dari danau yang baik buat dipasang jermal, yang banyak ikan untuk dipukat dan sebagainya. Salah seorang dari pekerja masih yang paling muda saya ajak mengbrol tapi sepertinya pemalu dan tidak berani menatap wajah saya, umurnya tidak lebih dari 20 tahun dan ternyata juga masih keluarga pak Wim.


Para pekerja langsung menurunkan bahan-bahan pembuat keramba, saya ikut membantu menurunkan dan baru sadar bahwa mereka juga membawa sampan. Mungkin nantinya mereka akan perlu turun kedarat (kehutan). Sembari kami memindahkan barang-barang bawaan ke lanting Eri bericara dalam bahasa Hulu kepada seorang Ibu yang sedang mencemur ikan kering dilanting sebelah. Sepertinya istri dari ketua danau ini. Dikiri dan kanan lanting baru tempat keramba akan dibangun ini sudah ada lanting-lanting lain yang sepertinya lebih tua usianya. Lanting deretan sebelah kri bahkan terkesan sudah reot dan lapuk, lanting-lanting ini dihubungkan dengan kayu-kayu utuh yang diapungkan secara serampangan. Saya ingin ke lanting si Ibu lanting sebelah tapi sialnya untuk kayu yang menghubungkan lanting kami hanyut ke darat. Satu-satunya cara yang bisa saya gunakan untuk sampai kesana adalah dengan perahu kecil ramping yang sedang tertambat. Saya tidak yakin dengan hal ini, tidak mau ambil resiko dulu dengan berkayuh kelanting sebelah saya terpaksa melewati kesempatan untuk ngobrol dengan si Ibu. Dari jauh saya perhatikan di lanting ibu sebelah ada lebih banyak keramba, ada juga kandang ayam, beberapa ekor burung hijau yang dikurung didalam jaring.

Rabu, 08 September 2010

Pembuatan lanting dan keramba (13 Agustus 2010)

Hari ini jumat, saya memilih untuk shohat jumat di Masjid Besar Kemarin sore saya melihat ada beberapa hal menarik dari masjid yang ingin saya telusuri lebih lanjut. Didalam masjid sama sekali tidak terasa panas lembab seperti udara diluar, mungkin karena arsitektur masjid yang memungkinkan udara bisa masuk bebas, selain itu masyarakat Bunut percaya kayu belian yang digunakan di sebagian besar bangunan masjid ini bisa memberikan efek menyejukkan didalam ruangan masjid. Sedikit bersemangat karena saya megira akan mendengar khotbah dalam bahasa Hulu tapi ternyata khotbah dibacakan dalam bahasa Indonesia ada yang menarik dari pembacaan khotbah, sang khatib membacakan khotbah sambil memegang tongkat kayu. Ternyata memegang tongkat merupakan salah satu sunah dalam ritual sholat jumat, tapi sunah ini sepertinya tidak cukup populer ditempat asal saya. Baru pertama kali ini saya lihat, tradisi ini sudah dimulai sejak masjid pertama kali dibangun, tongkat yang ada sekarang inipun masih tongkat yang sama yang terbuat dari kayu belian untuk tiang masjid. Kabarnya tongkat ini pernah dicuri orang dan kemudian secara ajaib tongkat kembali ke masjid dengan sendirinya.


Rencana awal membangun rapport dengan para pengurus masjid harus saya tunda dulu karena seorang kenalan baru, Heri akan mengajak kami untuk ikut ke danau Tramabas siang ini selesai sholat Jumat. Eri kira-kira berusia 30-an akhir. Sudah berkeluarga dan punya seorang anak balita perempuan, dia tinggal di dusun Perdah desa Bunut Hulu dan masih ada hubungan saudara dengan pak Wim. Seperti hampir setiap orang di Bunut Eri pun mempunyai banyak profesi, Eri mempunyai kapal tambang yang biasa disewa oleh orang-orang Bunut untuk mengangkut barang selain itu yang saya dengar dia juga suka masuk hutan untuk menebang kayu. Saya belum berani menanyakan hal ini secara langsung kepada Eri, kayu menjadi topik yang sensitif apalagi untuk informan yang mungkin sangat berharga seperti dia.


Kebetulan hari ini dia akan mengantarkan 5 orang pekerja pembuat keramba ke danau tramabas. Kami berangkat dari dermaga kecil yang terletak di dusun Kuala Bunut arah ke timur rumah pak Wim. Sesampai kami di dermaga tampaknya para pekerja dan Eri sudah selesai memuat barang-barang kebutuhan pembuatan keramba kedalam kapal. Lima orang pekerja ini akan membuat keramba di danau Tramabas dan mereka akan tinggal disana selama 20 hari kedepan. Semua barang yang mereka butuhkan seperti drum-drum plastik, kayu, paku, alat-alat pertukangan dan kebutuhan makanan selama disana dimuat sekali angkut bersama kapal si Eri ini.


Eri ramah kepada kami, ia bahkan mengizinkan Kukuh untuk mencoba mengemudiakan kapalnya sebentar betika melewati sungai besar. Sepanjang jalan bercerita tanpa henti, saya menangkap beberapa info penting rantai penjualan burung dan konsepsi masyarakat terhadap danau. Sebagai awam saya melihat danau ini hanya sebagai danau, hamparan air luas yang tidak memiliki ruang, tapi ternyata ada pembatas-pembatas wilayah imajiner didalam kepala para nelayan. Danau ini dibagi-bagi kedalam bebrapa area yang diberi nama juga, batas-batasnya sangat abstrak yang hampir mustahil bias saya lihat. Batas-batas imajiner ini ditunjuk-tunjuk Eri kearah danau. Saya bertanya kenapa mesti danau dibagi-bagi? Dia tidak tau persis kenapa, katanya mungkin agar para nelayan lebih mudah saja menandakan bagian mana dari danau yang baik buat dipasang jermal, yang banyak ikan untuk dipukat dan sebagainya. Salah seorang dari pekerja masih yang paling muda saya ajak mengbrol tapi sepertinya pemalu dan tidak berani menatap wajah saya, umurnya tidak lebih dari 20 tahun dan ternyata juga masih keluarga pak Wim.


Para pekerja langsung menurunkan bahan-bahan pembuat keramba, saya ikut membantu menurunkan dan baru sadar bahwa mereka juga membawa sampan. Mungkin nantinya mereka akan perlu turun kedarat (kehutan). Sembari kami memindahkan barang-barang bawaan ke lanting Eri bericara dalam bahasa Hulu kepada seorang Ibu yang sedang mencemur ikan kering dilanting sebelah. Sepertinya istri dari ketua danau ini. Dikiri dan kanan lanting baru tempat keramba akan dibangun ini sudah ada lanting-lanting lain yang sepertinya lebih tua usianya. Lanting deretan sebelah kri bahkan terkesan sudah reot dan lapuk, lanting-lanting ini dihubungkan dengan kayu-kayu utuh yang diapungkan secara serampangan. Saya ingin ke lanting si Ibu lanting sebelah tapi sialnya untuk kayu yang menghubungkan lanting kami hanyut ke darat. Satu-satunya cara yang bisa saya gunakan untuk sampai kesana adalah dengan perahu kecil ramping yang sedang tertambat. Saya tidak yakin dengan hal ini, tidak mau ambil resiko dulu dengan berkayuh kelanting sebelah saya terpaksa melewati kesempatan untuk ngobrol dengan si Ibu. Dari jauh saya perhatikan di lanting ibu sebelah ada lebih banyak keramba, ada juga kandang ayam, beberapa ekor burung hijau yang dikurung didalam jaring.

Bertemu Kades desa Bunut Tengah (12 Agustus 2010)

Rencana untuk bersilaturahmi ke Kades Bunut Tegah kemarin tertunda karena baliau sedang tidak ada dirumah. Hari ini kami kembali kerumah pak Kades, pak Kusnadi (adik ipar pak kades) berjanji akan menyampaikan pesan kami kepada pak Kades.


Seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengan saya menyambut kami bertiga. Katanya, "bapak sedang dipantai" setetik kemudian seorang pria tua dijalan gertak depan melambai kepada kami. Pak Jafri kades Bunut Tengah lebih tua dari yang saya pikirkan, perawakannya agak pendek, badannya kurus tapi berjalan tapi perawakannya tegap untuk orang seusianya dengan jenggot putih di dagunya. Dua hari ini saya berkeliling kampung tapi belum pernah saya menemukan warga Bunut dengan berat badan berlebih, semua orang berbadan ideal bahkan atletis (berotot). Saya mengira ini dikarenakan seluruh Nanga Bunut dihubungkan dengan jalan gertak yang mengharuskan semua orang berjalan kaki kemanapun dan juga mungkin karena aktivitas bekayuh (mendayung sampan) dan berenang yang biasa mereka lakukan. Ternyata pak Jafri dari pantai untuk mengosongkan speed boatnya yang akan dijual, selang-selang dan beberapa elemen mesin yang ia bawa dari speed diletakkan di halaman. Setelah menyalami kami kami lalu buru-buru masuk kedalam rumah.


Sembari menunggu saya melihat-lihat foto-foto keluarga hitam putih yang tergantung di dinding ruang tamu pak Jafri, sebagian besar berisi foto orang-orang berpakaian khas timur tengah. Apa pak Jafri masih keturunan arab? Orang-orang yang dikatakan oleh pak Rustam sebagai pendakwah pada masa lalu. Pada awal abad ke-19 ada beberapa orang Arab yang datang dan menetap di Bunut untuk berdakwah dan mengajar agama pada masyarakat lokal, walaupun memang sejak mulanya bahkan semasa masih dalam kekuasaan kerajaan Bunut penduduk kampung Bunut sudah beragama Islam[1]. Orang-orang arab ini membaur dan menikah dengan wanita-wanita Bunut, keturunan mereka pun sampai sekarang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu. Pak Usman tidak dapat menjelaskan dengan detil mengenai waktu kedatangan mereka ke Bunut, tapi pada masa itu mereka cukup di hormati didalam masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh pengetahuan mereka yang lebih tentang agama, bukan karena perbedaan ras atau ciri-ciri fisik. Lalu pada zaman sekarang apakah keturunan mereka masih diperlakukan dengan hormat seperti generasi pertama yang datang dulu? Pak Rustam menjawab 'tidak' dia menekankan lagi bahwa masyarakat agak segan kepada orang-orang Arab ini karena pengetahuan mereka yang dalam tentang agama, mereka dianggap lebih ilmunya. Jadi kalau keturunan mereka sama saja lah dalam pergaulan sehari-hari, kalau mereka tabiatnya tidak baik tetap saja dicela masyarakat. Pak Rustam mencontohkan seseorang yang keturunan langsung orang Arab di Kampung Tengah yang suka mabuk. Biasanya orang-orang ini bisa dikenali dengan panggilan didalam keluarga contonhnya panggilan abah atau ami.


Kembali ke pak Jafri, beliau sekarang sudah berpakaian rapi lengap dengan kain sarung, pemuda yang menyambut kami pertama kali tadi juga sudah mengganti celana boxer nya dengan celana jeans panjang. Pak Jafri memperkenalkan pemuda itu sebagai anaknya, namanya Erwin. Sepertinya orangnya pemalu, kalau bicara dengan saya agak gagap dan tidak pernah menatap mata saya, selalu salah tingkah. Tidak seperti pak Jafri yang percaya diri dan tegas dalam berbicara. Kesan saya pada pak Jafri adalah dia sosok yang cerdas ini terlihat dari cara dia berbicara dan memilih kata-kata selama mengobrol dengan kami bertiga. Kata-katanya tertata dan teratur. Pada dasarnya beliau menyambut baik kedatangan kami di Kampung Bunut Tengah dan bilang walaupun masih tinggal bersama pak Wim main-main juga lah ke sini. Ketika kami sampaikan bahwa kami ada rencana untuk menginap dirumah disini dia juga tidak keberatan dan meminta kami memaklumi rumahnya yang sederhana ini.



[1] Hal ini dibuktikan dari naskah-naskah beraksara arab, peninggalan berupa al-quran dan masjdi besar Bunut.

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats