Rabu, 15 Desember 2010

Senin, 13 Desember 2010

Berkeramat

Pagi cerah, kelewat cerah setelah angin ribut semalam. Tidak ada tanda-tanda tadi malam desa Pala Pintas diserang angin ribut dan hujan lebat.

Empat hari yang lalu desa dua malam berturut-turut diterpa cuaca buruk, dusun hulu berinisiatif untuk membuat ritual yang dinamakan berkeramat. Tujuan ritual ini adalah agar cuaca buruk berhenti (badai) dan hujan berhenti. Rumah tidah kena banjir, kabun karet bisa ditoreh, padi di ladang juga selamat dari ancaman gagal panen.

Upacara ini boleh menggunakan bantuan manang (dukun) boleh juga tidak memakai dukun, kebetulan berkeramat kali ini tidak pakai manang. Kayu mabang berdiameter 15 cm di pahat membentuk wajah manusia, kemudia ditancapkan di tepi sungai. Di patung kayu sederhana ini di ikatkan kain merah, posisi ikatan kain dipatung akan menentukan ketinggian air sungai yang di kehendaki penduduk desa.

Lalu penduduk bersama-sama meletakkan sesajian, nasi ruas (lemang), menancapkan pinang di sekitar patung. Sesajian ini untuk memberi makan hantu yang diundang untuk mendiami patung. Tiga hari berturut-turut setelah upacara diadakan cuaca cerah, dan tadi malam kembali badai. Menurut mereka upacara cukup berhasil karena walaupun tadi malam hujan lebat tapi ketinggian air sungai malah turun.

----Email Diteruskan----
Dari: kerabat_ciwa@yahoo.co.id
Kepada: nusantara.praboe.hogwart@bloger.com
Email Keluar: Sel, 14 Des 2010 07:25 ICT
Judul: Berkeramat

Pagi cerah, kelewat cerah setelah angin ribut semalam. Tidak ada tanda-tanda tadi malam desa Pala Pintas diserang angin ribut dan hujan lebat.

Empat hari yang lalu desa dua malam berturut-turut diterpa cuaca buruk, dusun hulu berinisiatif untuk membuat ritual yang dinamakan berkeramat. Tujuan ritual ini adalah agar cuaca buruk berhenti (badai) dan hujan berhenti. Rumah tidah kena banjir, kabun karet bisa ditoreh, padi di ladang juga selamat dari ancaman gagal panen.

Upacara ini boleh menggunakan bantuan manang (dukun) boleh juga tidak memakai dukun, kebetulan berkeramat kali ini tidak pakai manang. Kayu mabang berdiameter 15 cm di pahat membentuk wajah manusia, kemudia ditancapkan di tepi sungai. Di patung kayu sederhana ini di ikatkan kain merah, posisi ikatan kain dipatung akan menentukan ketinggian air sungai yang di kehendaki penduduk desa.

Lalu penduduk bersama-sama meletakkan sesajian, nasi ruas (lemang), menancapkan pinang di sekitar patung. Sesajian ini untuk memberi makan hantu yang diundang untuk mendiami patung. Tiga hari berturut-turut setelah upacara diadakan cuaca cerah, dan tadi malam kembali badai. Menurut mereka upacara cukup berhasil karena walaupun tadi malam hujan lebat tapi ketinggian air sungai malah turun.

Pengalaman belajar berhahasa dengan bahasa-bahasa daerah Kapuas Hulu

Nah bribet banget tuh bahasa yang saya jadikan buat judul tulisan ini.

Bahasa yang dipakai di kampung Melayu Bunut dan sekitarnya termasuk salah satu dialek bahas Melayu, di Kapuas Hulu sendiri ada sekitar tujuh dialek bahasa Melayu. Dan dialek yang biasa digunakan oleh orang Bunut kebetulan adalah lingua franca atau bahasa pergaulan yang dipakai di Kab Kapuas hulu.

Begitu juga dengan desa-desa pedalaman di kecamatan Embaloh hilir dan Bunut Hilir, di dua kecamatan ini ada beberapa suku asli. Dayak Kantu', Melayu, Tionghoa dan sedikit Dayak iban. Keempat suku ini dalam pergaulan an antar suku menggunakan bahasa Malayu Hulu (sering disingkat jadi bahasa Hulu aja).

Saya pikir akan lebih mudah masuk ke komunitas mereka dengan berbahasa Indonesia dengan asumsi, berbahasa Indinesia berarti saya akan dianggap orang Jakarta yang haus pengetahuan untuk belajar bahasa mereka. Tapi lama di kampung Melayu Bunut membuat saya terbawa-bawa bahasa Hulu dengan orang Kantu. Keceplosan beberapa kali berbahasa Hulu membuat saya jadi bulan-bulanan, ditertawai menurut mereka ternyata saya juga 'sidak melayu' atau orang Melayu kapuas yang pura-pura jadi orang Jakarta.

Tapi dari situ saya belajar berbahasa Kantu' dengan cara membanding-bandingkan kosakata bahasa Hulu dengan Kantu' dan well cara belajar bahasa seperti ini lumayan efektif :)
walaupun sesekali keceplosan terbolak balik misalnya ketika bilang 'nanak' bahasa Melayu dengan kata 'ilak' bahasa Kantu' untuk nanti. Lalu sering tertukar antara 'ngimai' dengan 'tamai' (ikut) trus juga 'nuan' dengan 'kulak' (kamu/anda)

Pengalaman belajar bahasa yang menyenangkan, apalagi dengan bocah-bocah kalau ada kata yang tidak jelas mereka akan dengan semangat mengejanya (sekali ini saya suka anak kecil, saat seperti ini mereka sangat bermanfaat).

Sabtu, 11 Desember 2010

Desa Pala pintas

Agak aneh rasanya berangkat ke lapangan kali ini, kali terakhir mengujungi desa *agak sedih hoho*. Sialnya lagi gw ga bisa langsung ke Bunut tapi harus nolongin Yudhi buat cross check beberapa data temuannya lagi plus masih ada kekurangan beberapa data. Otak dari kemaren udah putar2 biar bisa ngakalin buat bisa langsung ke desa Bunut, kangen dengan orang2 didesa... tapi mau gimana melengkapi data di desa Pala pintas jadi prioritas utama dulu.

Rencananya kebut nyari data di Pala pintas dua hari habis itu langsung cabut ke Bunut yaaY!!

Perjalanan ke Pala pintas di speed boat diterpa perubahan cuaca yang ekstrim, beranglat jam 1 siang cuaca panas membakar ubun-ubun eh ditengah perjalanan tiba-tiba hujan. Lalu nyampe di Pintas mendung berangin kencang gitu...

Makan siang menjelang malam di rumah tetangganya pak kades, secara si pak kades lagi ke Embaloh (ibu kota kecamatan) buat belanja.

Okay mari bekerja dan memotret dan mengingat sebanyak mungkin pengalaman di hari2 terakhir ini :)
Waah sudah empat bulan di Bumi uncak kapuas tidak terasa saja.

Jumat, 10 Desember 2010

apa yah...

tessssss.........
ini percobaan fitur, posting blog via e mail.
nah kita liat gimana hasilnya yah :)

Persepsi tentang banjir, pendidikan di kampung dan sejarah masjid (Rabu, 25 Agustus 2010)


masjid Baiturrahman

Dua hari terakhir mendung, pagi ini juga tidak ada matahari kalau seperti ciaca langit pagi ini bang Syamsul (tetangga pak Wim) meramalkan akan terjadi hujan lebat lagi disore atau siang hari. Ketinggian hari dari empat hari terakhir semakin naik, kami berpatokan kepada salah satu tiang gertak yang ada di halaman depan rumah pak Wim dan lantai halaman belakang (dekat dapur). Kemaren sore permukaan air kira-kira satu jengkal dari lantai halaman belakang. Pagi ini permukaan air sudah menyentuh lantai, sebagian lantai yang terbuat dari papan kayu kawi tersebut sudah acap (bahasa hulu untuk banjir).

Saya memutuskan untuk melihat-lihat keadaan fenomena banjir ini disekitar kampung Hulu, mengambil jalan pintas yang menghubungkan dusun Kuala Bunut dan perdah agar bisa mengamati dalam sekali jalan dibanding dengan mengambil jalan yang biasa (jalan kampung sebelah Barat) dengan melalui jalan pintas ini akan lebih banyak wilayah yang teramati. Jalan pintas ini berada disebelah kanan kantor desa apabila kita menyusuri jalan ini maka akan tembus tepat di depan masjid kampung Hulu. Ketika ketika akan masuk ke jalan tersebut saya bertemu dengan pak Irzal (salah seorang staff desa Bunut Hulu), beliau menyapa saya dan sambil lalu bilang "jalan sebelah ilir ja' sana' dah acap", "iya pak ndak apa-apa saya mau liat seberapa acapnya jalan"

Ini pertama kalinya saya melalui jalan ini, letaknya cukup terpencil disepanjang jalan ini tidak ada rumah penduduk hanya hutan, kuburan kampung, sebuah kandang ayam dan beberapa kolam ikan toman.tapi cukup strategis karena menghubungkan dua dusun yang ada di desa Bunut Hulu yaitu dusun Kuala Bunut (disebelah selatan) dan dusun Perdah (disebelah utara).

Sebagian hampir semua rumah penduduk yang berdekatan dengan pantai terutma yang berhadapan langsung dengan pantai sudah terendam uleh banjir hingga sedala mata kaki orang dewasa. Kalaupun tidak terendam hingga sedalam itu sebagian besar papan teras depan rumah sudah becek oleh air sungai yang meluap. Saya menyapa seorang bapak yang sedang membuat 'panggung tambahan' didalam rumah, menurut keterangan si bapak sudah hampir empat hari rumah mereka terendam oleh air sungai kapuas yang meluap. Karena diperkirakan permukaan air akan terus meninggi maka dia membuat panggung tambahan didalam rumah dengan menyusun papan yang disangga oleh drum atau tiang-tiang penyangga. Kebanyakan rumah di Nanga Bunut terutama yang berjarak sangat dekat dengan pantai sudah menyiapkan papan-papan ekstra dan tiang-tiang kayu penyangga untuk membuat panggung tambahan di dalam rumah dikala banjir seperti ini.

Sebagian besar ativitas penduduk tepi pantai yang terkena dampak banjir paling parah pagi itu adalah kegiatan bersih-bersih, menata ulang perabotan dan menyingkirkan sampah-sapah kayu yang terbawa oleh banjir. Sepulang dari berkeliling kampung Hulu saya bergabung dengan bang Suha yang rumahnya berseberangan dengan rumah pak Wim. Menurut menurut cerita Suha banjur yang cukup besar terjadi pada tahun 1996 waktu itu air naik sampai setinggi 15 sentimeter dari lantai. Kebanyakan rumah sudah menyiapkan papan-papan dan drum dikolong rumah guna membuat panggung atau lantai tambahan apabila air sudah masuk kedalam rumah. Ketika banjir mata pencarian yang paling terkena dampak adalah para pemilik kebun karet. Menurut beberapa bapak yang kebetulan sedang berkumpul didepan rumah bang Suha, tidak pernah terjadi musim pasang selama ini. Rata-rata durasi pasang hanya 2-3 bulan saja, itupun tidak pernah setinggi ini, salah seorang bapak didalam grup pagi itu menghitung pasang kali ini sudah 8 bulan 22 hari (Beliau berpatokan pada dimulainya pengerjaan proyek jalan lintas di selatan kampung).

Pada saat banjir mereka tidak dapat menoreh getah, karena bangian pohon tempat dibuatnya toreha sudah digenangi air. Sedangkan apabila mereka memaksakan menoreh bagian atas pohon hal ini akan menyebabkan kerusakan bahkan kematian pada pohon. Sedangkan pengaruh yang cukup terasa bagi aktivitas penangkapan ikan yang dirasakan oleh nelayan adalah, menurunnya hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena ikan-ikan memencar sampai kedaratan karena daratan yang semestinya kering sekarang digenangi oleh luapan air sungai. Kondisi menguntungkan sebaliknya akan dirasakan oleh nelayan pada musim kemarau, air sungai menyusut sehingga ikan-ikan terkumpul pada ceruk-ceruk danau dan anak-anak sungai. Aktivitas yang sangat diuntungkan dengan adanya bajir dan meluapnya sungai adalah aktivitas para pekerja kayu. Menurut Sahul dahulu pada masa loging para pekerja kayu ilegal yang mencari kayu sampau jauh kedarat (jauh dari tepi sungai, masuk kedalam hutan). Akan lebih mudah bagi mereka untuk mengangkut kayu tersebut dengan meluapnya sungai, dari dalam hutan kayu tinggal dihanyutkan saja melalui anak-anak sungai kemudian ketika di sungai besar kayu-kayu tersebut akan dipindahkan ke rakit khusus pengangkut kayu yang sebelumnya telah parkir. Walaupun begitu pada masa loging pencari kayu yang menebang hutan secara aktif lebih dilakukan orang-orang diluar Kapuas Hulu, bahkan buruh-buruh persusahaan ini sebagian besar adalah orang-orang dari Sambas. Biasanya mereka (pekerja kayu dari Sambas) lebih produktif dan menghasilkan kayu lebih banyak dibandingkan dengan orang Kapuas Hulu atau Bunut sendiri.

20.00

Mahyudin sepertinya sudah resmi menjadi local guide kami yang paling setia, tadi malam ketika kami bertiga makan mie rebus di warung dekat pasar si ibu pemilik warung dengan santai bertanya "lhoo mahyudinnya mana?" lalu ketika dalam perjalanan ke rumah mahyudin di Kampung Hulu segerombolan bapak yang sedang mengobrol di simpang menyapa kami dengan kalimat "mau kerumah Mahyudin yah? Dia kayanya di rumah mertuanya tuh" dan kami bertiga cuma bisa cengengesan ketika terdengar salah satu bapak bilang dengan nada guyon kepada temannya "mereka pasukannya Mahyudin tuh".

Si Mahyudin, orang satu ini memang jadi penghubung yang sangat bermanfaat. Dia punya link atau kelanan dari berbagai kalangan mulai dari birokrat kampung, pejabat kecamatan, pengurus dewan adat, pedagang kayu, nelayan dan lain sebagainya. Saya mendapat kesan bahwa dia mendapatkan semacam 'kesenangan aneh' dari kegiatan penelitian kami ini. Dia adalah tipe orang yang dengan sangat mudah mengoceh tentang berbagai informasi yang kadang memang kami butuhkan.

Malam ini maksud kami menemui Mahyudin adalah untuk membicarakan masalah angkutan yang akan kami tumpangi untuk ke Putusibau. Dia sedang berada di masjid besar, sedang memperbaiki lampu masjid. Di masjid sedang ada pengajian rutin Ramadhan,menemui fenomena yang sama seperti masjid-masjid lainnya di Nanga Bunut yaitu tidak ditemukan remaja laki-laki didalam pengajian atau kegiatan tadarusan. Tadarus sedang berlangsung, sebagian besar peserta tadarus adalah remaja usia SMP dan hanya dua orang yang usia SMA. Terlihat didalam kelompok pengajian istri si Mahyudin, sepertinya bertugas sebagai guru mengaji malam ini. Beberapa remaja putri yang sedang tidak mendapat giliran membaca qoran bergerombol di sekitar kue-kue kecil dan minuman yang sepertinya sisa pertemua masjid segera menyingkir dan bersikap kikuk (salah tingkah) ketika kami bertiga memasuki ruangan masjid. Dua diantara bereka kedapatan oleh saya sedang berbisik-bising sambil melirik-lirik kearah kami berdua. Masjid ini sangat dibangga-banggakan oleh masyarakat Nanga Bunut, terutama orang desa Bunut Tengah teringat pada suatu jumat sehabis sholat ada seorang bapak yang bilang "yah ini lah Bunut Tengah, derahnya kecil dan tidak ada apa-apanya. Cuma masjid ini yang kami banggakan". Begitu juga dengan seorang pak haji (saya lupa namanya) yang sedang tidur-tidur ayam kemudian bangun ketika melihat kami datang. Tanpa diminta beliau langsung memberikan tur singkat yang berisi fakta-fakta unik tentang masjid:

Hampir semua bagian asli masjid terbuat dari kayu belian

Bahan-bahan pembuat masjid terutama kayu adalah satu paket dengan bahan bangunan yang digunakan untuk membuat keraton melayu Pontianak. Sisa kayu untuk membuat masjid besar dibawa ke Pontianak dengan cara dihanyutkan di sungai untuk membangun keraton tersebut.

Setiap tonggak penyangga masjid melambangkan satu orang sahabat Nabi.

Tonggak masjid dari fondasi sampai kepada atap merupakan satu kesatuan kayu yang sama, tidak terputus.

Panjang bagian kayu yang di tanam didalam tanah adalah sepanjang +/- 2 meter dengan bagian bawahnya yang tidak diruncingkan (datar), fakta ini terungkap ketika melakukan renovasi, memperluas ruangan mimbar empat tiang Barat di geser kerah luar.

Pada awalnya bagian depan masjid menghadap ke arah barat, tapi ketika terjadi renovasi besar-besaran arah depan masjid dirubah kearah utara yaitu kearah laut. Bagian utara yang dulunya di pagar kemudian dibuat lapangan yang cukup besar sehingga bisa dimanfaatkan untuk melaksanakan sholat Ied.

Pak Haji dan bapak penjaga masjid sangat percaya dengan kisah-kisah hantu yang bergentayangan di sekitar masjid, dulu pada masa loging sering terjadi kecelakaan kerja yang yang berujung pada kematian para pekerja kayu (kebanyakan berasal dari Sambas) dari PT. Bumi Raya. Angka kecelakaan begitu tinggi, dalam satu bulan bisa terjadi sampai dua kematian, mayat-mayat ini dimandikan dan disholatkan di masjid besar.

Setelah dari masjid kami melanjutkan perjalanan kerumah Gebang, seorang staff kantor desa urusan pemerintahan yang juga pernah mengajar pada Madrasah Aliah Nanga Bunut. Tampaknya rumah gebang menjadi tempat berkumpul bagi para intelektual muda desa. Dirumah Gebang sudah hadir Iwan yang bekerja di PNPM konsultan ahli bidang pemberdayaan masyarakat, dia seorang sarjana teknik informatika tamatan UGM, lalu ada Untung seorang guru ekonomi Madrasah Aliah yang pernah kuliah di UNTAN dan ada Gebang sendiri yang menamatkan kuliahnya di STKIP jurusan pendidikan kewarganegaraan.

Pembicaraan bersama kami bersama para intelektual kampung ini berkisar seputar perjuangan mereka selepas kuliah bekerja dengan kondisi yang seba terbatas di Nanga Bunut. Gebang dan Untung adalah guru-guru perintis di Aliah, mereka menceritakan betapa kerasnya perjuangan untuk tetap mempertahankan Aliah. Pada masa itu hanya ada 4 orang guru yang mengajar semua mata pelajaran, satu kelas yang isinya terdiri dari 20 orang murid, keterbatasan sarana belajar seperti bangku, buku-buku pelajaran. Jika mereka berempat tidak bisa memenuhi sejumlah persyaratan dari DEPAG maka dengan sangat terpaksa Aliah akan di tutup. Salah satu syarat yang paling berat yaitu adalah memenuhi jumlah tenaga pengajar, hal ini diakali dengan mendatangkan para pengajar honorer dari desa-desa tetangga dan bahkan mereka juga mengizinkan beberapa tamatan SMA untuk mengajar.

Pengolahan kayu (Sabtu, 21 Agustus 2010)




Pagi hujan rintik sedikit pukul 8 pagi saya berencana melakukan observasi sawmill atau tempat penggesekkan kayu. Ketika penduduk lokal menyebut kata sawmill ini mengacu kepada tempat dimana kayu-kayu dari hutan dipotong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki oleh pemesan. Di tempat sawmill ini juaga kayu dihaluskan dari serat-serat sehingga akan dipergunakan sebagai bahan bangunan secara fisik kayu menjadi lebih menarik. Dan jika saya menanyakan kepada penduduk lokal aktivitas apa saja yang dilakukan ditempat ini, mereka menyebut dengan "menggesek kayu" tapi juga dilihat lagi aktivitas sawmill mencakup memotong-motong kayu sesuai dengan keperluan dan pesanan pemesan. Potongan ini dapat berupa papan dengan berbagai ukuran, berbentuk balo-balok dengan berbagai ukuran dan walaupun belum melihat sendiri ada warga yang mengatakan bisa juga dalam bentuk seperti tripleks (timberwoods). Menurut informasi dari bang Sahul (tetangga pak Wim) di Nanga Bunut ada dua sawmill, satu di Bunut Hilir dan satu lagi di Bunut Hulu tempat yang akan saya kunjungi sekarang.

Sawmill terletak di pinggir sungai Bunut. Jika dari rumah pak Wim berjalan kearah kiri kearah dermaga, tempat peggesekan kayu ini berada dipinggir sungai Bunut dan tidak jauh dari dermaga kecil yang dibuat dari bantuan program PNPM. Tapi sebelum sampai di sana ketika melewati rumah pak Daud saya melihat sedang ada aktifitas bertukangan dirumah itu. seorang tukang sedang menggergaji kayu untuk membuat gertak dan beberapa bagian lain dari rumah pak daud juga sedang dibongkar. Saya lalu mengurungkan niat untuk mengunjungi sawmill karena mungkin saya mencari tau dulu informasi tentang pemakaian kayu dari orang yang sedang membangun rumah.

Dihalaman rumah ada pak Daud dan seorang laki-laki lain yang kira-kira berusia akhir 30 tahun, belakangan saya baru tau kalau bapak ini adalah saudara dari pak daud. Pak Daud adalah seorang guru SD yang bertugas di desa Nanga Tuan, istrinya juga seorang guru SD (mengajar di dusun Perdah desa Bunut Hulu) pak Daud dan istrinya adalah asli orang Bunut Hulu. Karena kegiatan belajar mengajar di sekolah baru akan di mulai tanggal 14 September pak Dapat pulang ke Bunut untuk berkumpul bersama keluarga. Selama mengajar beliau tinnggal di Nanga Tuan dan hanya ke Bunut beberapa kali sebulan. Orangnya ramah bahkan setelah mengetahui saya juga berencana untuk tinggal di Nanga Tuan dia menawarkan saya untuk tinggal dirumahnya.

Dari pak Daud saya mendapatkan informasi bahwa jika ingin memesan kayu dalam jumlah kecil, untuk keperluan membangun rumah penduduk Bunut bisa memesan kayu dari para penggesek kayu ini. cukup beritahu mereka kayu jenis apa, ukuran berapa, dalam bentuk apa (balok, papan, sirap dan sebagainya) dan berapa jumlah masing-masing kayu maka mereka akan mencarikan di hutan. Atau apabila para penggesek ini mempunyai stok kayu yang diminta maka tidak akan perlu dicari lagi kehutan. Tapi biasanya karena para penggesek menebang kayu dalam jumlah yang sedikit mereka akan ke hutan dan mencari kayu seejumlah yang dipesan oleh klien mereka.

Dengan sengaja menunjukkan sedikit nada khawatir dalam suara saya ketika bertanya 'tentang banyak nya kayu yang mereka tebang dari hutan' mungkin pak Daud mengaitkan kekhawatiran saya dengan isu kerusakan hutan [OC], pak Daud buru-buru memberi tambahan informasi bahwa para penggesek hanya melayani permintaan skala kecil dari penduduk desa yang akan membuat rumah atau lanting saja. Tidak dalam partai besar.

Saudara pak Daud juga menambahkan.

"mereka ngambe' kayu dari hutan-hutan yang dibolehkan sama ketua danau"

"kalaupun mereka mengambil di luar itu mereka akan tebang hutan sekitar kampung, hanya dalam skala kecil ja'"

Para penebang kayu akan bekerja didalam hutan selama beberapa hari, tergantung pada banyaknya pesanan atau langka atau tidaknya jenis kayu yang dicari. Apabila mereka akan menebang kayu di hutan sekitar danau maka sebelum masuk hutan mereka akan menemui ketua danau dan melaporkan berapa banyaknya kayu yang akan mereka tebang. Dan ketua danaupun akan menerangkan wilayah mana yang boleh ditebang dan wilayah mana yang tidak boleh ditebang oleh mereka.

Setelah keluar hutan pun para penebang akan kembali melapor kepada ketua danau. Ketua danau akan mengecek kayu-kayu tersebut dan kemudia menentukan jumlah pungutan yang akan dibebankan kepada para penggesek perkeping kayu. Uang hasil pungutan ini akan dipergunakan untuk membeli makanan dan minuman ketika melakukan gotong royong membersihkan sungai dimusim kemarau. Pada musim kemarau anak-anak sungai yang menjadi jalan pintas untuk menghbungkan sungai-sungai besar akan kering sehingga akan ditumbuhi pohon-pohon baru, agar pohon-pohon ini tidak terus tumbuh sehingga singai kecil tersebut didak bisa dilalui sampan lagi ketika pasang maka dilakukanlah pembersihan.

Kayu-kayu yang dipakai oleh pak Daud untuk membangun jalan gertak dan halaman rumahnya belum merupakan hasil final atau bukan merupakan kayu siap pakai, permukaan kayu-kayu ini masih kasar. Sehingga menurut pak Daud harga kayu ini sedikit lebih murah tapi hal ini juga berarti dia harus mengalokasikan waktu kerja tambahan tukang bangunan untuk menyerut kayu agar permukaannya lebih halus. Hanya ada satu tukang bangunan yang bekerja, tidak ada asisten tukang atau semacamnya. Mungkin karena pekerjaan ini tidak terlalu rumit makanya hanya memerlukan satu tenaga saja [OC].

Saya tidak dapat kesempatan mengobrol lebih dalam dengan tukang bangunan. Suara kami segera dikalahkan oleh bunyi generator yang digunakan untuk mengoperasikan mesin penyerut kayu. Pak Daud dan saudaranya mengajak kami pindah ketempat yang agak tenang dari suara generator. Menurut pak Daud, sekarang kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan sudah meningkat, masyarakat sudah sedikit lebih aware terhadap isu-isu lingkungan. Mereka sadar musim yang tidak menentu, pasang lebih lama, suhu udara lebih panas adalah akibat dari kerusakan hutan. Dan juga ada fenomena gelombang besar yang terjadi di danau yang mereka percayai sebagai akibat sebakin berkurangnya jumlah pohon di hutan, menurut masyarakat gelombang besar yang dapat menghempaskan perahu di danau terjadi karena pohon yang menjadi penghalang angin sudah berkurang. Untuk fenomena alam gelombang ini saya sedikit susah mempercayainya, bagaimana sebuah gelombang air dapat terjadi di danau dan kalaupun gelombang semacam itu dapat terjadi saya tidak yakin kekuatan angin yang menyebabkannya [OC].

Dahulu hampir semua kayu yang digunakan untuk membangun rumah menggunakan kayu belian tapi sekarang belian hanya digunakan untuk bagian-bagian rumah yang penting saja seperti tang. Selebihnya kayu yang digunakan adalah kayu kelas dua yaitu kayu kawi. Pak Daud mencontohkan gertak yang di bangun oleh PNPM sekarang ini, hanya tiangnya dan kep nya saja yang dari belian sedangkan palang dan papanya dari kayu kawi. Jadi jika papan dan palang dari kayu kawi maka akan diperlukan penggantian setidaknya 7 sammpai 8 tahun sekali. Sedangkan kalau menggunakan belian akan tahan sampai lebih dari seratus tahun.


14 Agustus 2010

Sehabis sholat tarawih kami bertemu dengan Mahyudin secara tidak disengaja, ketika dalam perjalanan pulang tiba-tiba 'mencegat' kami dan memaksa kami untuk makan kropok dirumahnya. Rumah keluarga Mahyudi adalah tipikal rumah tradisional rsitektur Melayu Bunut.

Memakai kayu belian sebagai bahan membangun rumah sepertinya merupakan sebuah kebanggaan bagi orang Bunut. Mahyudi tanpa dimintapun memberikan kami bertika tur keiling rumah tuanya yang hampir semua bagian dari rumah itu terbuat dari Belian. Sampai atap Rumah Mahyudin adalah salah satu dari beberapa rumah tua berasitektur tradisional Melayu Bunut yang masih tersisa di Nanga Bunut. Ada juga carita mistis tentang tiang-tiang rumah tua yang terbiat dari kayu belian, biasanya tiang-tiang ini ada penghuninya. Setiap ada keluarga yang akan meninggal sekalu terdengar suara dari tiang, bunyi kayu diketuk-ketuk atau suara tangisa. Dipercaya kayu kayu belian matang bisa hidup sampai ratusan tahun di hutan, roh-roh yang menjadi penguni tersebut ikut terbawa ketika kayu tersebut dijadikan tiang rumah.

Lantas saya bertanya jika kayu ini semakin langka dan semakin mahal harganya kenapa tidak dibudidayakan saja? dia menjawab bahwa sampai sekarang dia belum pernah mendengar ada orang yang mencoba membudidayakan belian seperti halnya kayu jati. Tapi dia pernah punya pengalaman melihat biji pohon belian, menurut Mahyudin biji pohon ini berbentuk seperti buah korma. Menurut Pertumbumbuhan pohon ini sangat lama, untuk menjadi kecambah saja diperlukan waktu satu tahun, informasi ini masih harus ditelusuri lebih lanjut [OC].

Ketemu anjing kecil (Senin, 6 Desember 2010)

sudah bebas dari belenggu tali pasltik horraaay!!
lucu banget kan :)
awalnya takut eeh lama2 dekat2 gw

lari2 waktu dipegang awalnya


Beberapa hari lalu gw lari sore keliling kota Putusibau eh ketemu makhluk cantik ini dijalanan. Engga cantik2 amat sih, tapi liat anjing ini bayi masih lucu2 nya.. tapi anjing dimana2 juga lucu dan menggemaskan bagi gw deh.

Ok deh, long story short, Jadi anjing kecil yang imut dan menggemaskan *bagi gw* ini terkaing-kain di gang husada apa gang apa yah namanya gw juga lupa, soalnya setiap kali lari sore gw selalu ngambil rute yang berbeda biar bisa sebanyak mungkin menjelajahi kota yang segede upil ini. Di lehernya diikat tali plastik yang ketat banget, walaupun menggigil dan takut si anjing kecil mau gw pengang.

Bunut lima menit yang penuh perjuangan untuk melepaskan tali plastik yang mengikat lehernya, bulu leher rontok, kulit sekitar leher luka sepertinya tali ini sudah beberapa minggu di lehernya.

Setidaknya saya melakukan sesuatu yang baik untuk anjing yang tidak beruntung ini hahay... *tiba2 bersayap dan ada cahaya lingkaran di kepala gw* teringat kucing gw dirumah :(( gimana kabarnya??


Adat dan lembaga adat (Kamis, 19 agustus 2010)

rumah pak Rustam



Pak Rustam seperti biasa setiap sore bercelana pedek dan beraju kaos putih berbeda ketika ditemiu di kantor dia besikap agak seperti birokrat yang sedikit menyebalkan, katika dirumah obrolan denga dia cair sekali. Hari ini ketika dia sedang memberi makan ikan di kolam saya ikut memberi makan ikan bersama pak Rustam

Beberpapa hal yang informasi mengenai Adat melayu yang dipakai di Bunut:

Majelis Budaya adat Melayu adalah lembaga adat yang sudah ada dada tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten sedangkan pada tingkat kecamatan di Bunut Hilir didirikan pada tahun 2002 dengan pak Rustam sebagai ketuanya yang pertama. Tugas mereka adalah merumuskan kembali adat melayu yang sudah dipakai sebelumnya dalam bentuk buku, pertanyaan saya yang masih belum terjawab sampai sekarang adalah jika MABM tingkat kecamatan baru didirikan tahun 2002 lantas siapa atau lembaga apa yang menyusun kitab undang-undang adat melayu sebelumnya? Pak Rustam mengatakan bahwa kitab adat yang sekarang adalah hasil amandemen kitab adat lama yang dicetak tahun 1970an kitab ini masih berbahasa Indonesia dengan ejaan lama.

Dugaan (yang tentunya harus digali lebih dalamm) yang muncul di benak saya mengenai untuk menjawab pertanyaan ini adalah: ada kemungkinan pekerjaan merumuskan adat dan peraturan dilakukan oleh penggawa[OC]karena ketika itu peran tokoh penggawa masih besar[OC], dimana pada masa itu seperti kata pak Rustam ada satu penggawa disetiap kecamatan. Tidak seperti sekarang masyarakat tetap menginginkan keberadaan penggawa sebagai tokoh adat, tapi hanya lebih menjadi seperti sekedar simbol saja.

Di tingkat provinsi pemprov mempunyai dana yang dipergunakan untuk membina adat dan kebudayaan suku-suku di Kalimantan Barat pernah menurut pak Rustam di kalangn orang Melayu timbul suatu kecemburuan karena suku dayak mendapat mendapat dana yang cukup besar untuk mengelola lembaga adat mereka. walaupun begitu pak Rustam memang mengakui mereka mempunyai adat yang kuat struktur lembaga adat merekapun kuat. Karena perasaan cemburu itu maka orang melayu terpacu untuk lebih meningkatkan kualiastas lembaga adat mereka.

Ditingkat desa pemerintah memberikan sejumlah uang untuk menjalankan aktivitas adat dan budaya melalui Lembaga Adat Desa, Lembaga Adat Desa ini mempunyai struktur sendiri, punya ketua sekretaris dan juga dua orang anggota tapi lembaga ini tetap berada dibawah struktur desa. Ketua lembaga adat mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Tapi disamping lembaga ini saya juga pernah mendengar istilah penggawa disebut-sebut tapi masyarakat yang saya temui tampaknya tidak begitu update mengenai siapa penggawa itu, ketika saya tanyakan nama penggawa mereka juga saling pertanya dana akhirnya memberikan jawaban tapi juga tidak pasti kepada saya sepertinya tidak mungkin penggawa inilah yang diacu kepada lembaga yang berbeda lagi dari Lembaga Adat Desa. Beberapa pertanyaan lagi yang belum terjawab adalah: apabila ada sebuah lembaga adat ditingkat kampung dimana posisi penggawa ini? bagaimana mereka berkoordinasi?apakah penggawa dan jajarannya memformalisasikan diri mereka menjadi bernama Lembaga Adat dan duduk bersama struktur desa?

Ada usaha untuk merekonstruksi kembali sejarah dan budaya Melayu Bunut, pembangunan balai adat yang dibantu oleh pemerintah. Walaupun balai adat tersebut belum berfungsi dan belum terlalu banyak digunakan untuk kegiatan. Adarencana untuk membuat museum kecil yang memajang repilika benda-benda kerajaan namun ini belum terlaksana.

Melayat kerumah pak Usman (Kamis, 19 Agustus 2010)


Nanga bunut disore hari

Setelah shalat tarawih di Mushala di darat, belum pernah saya mendengar masyarapat sekitar menyebut mushlola ini dengan sesuai dengan namanya jadi saya pun ikut-ikutan menyebut mushola ini dengan 'mushola darat', posisi moshola ini terletak di Dusun Kuala Bunut di sebelah selatan desa Bunut Hulu. Setelah itu kami bersiap-siap untuk pergi melayat ke dusun Perdah.

Almarhumah adalah istri dari pak Usman dan bibi dari Mahyudin yang baru saja meninggal jam 5 lalu. Karena kami tidak tau dengan pasti lokasi rumah duka kami menjemput Mahyudin terlebih dahulu dirumahnya. Istri mahyudin bilang kalau suaminya sudah kerumah duka, ternyata tidak terlalu sulit menemukan rumah duka. Dari luar sama sekali tidak terlihat seperti ada kemalangan dirumah ini, tidak ada bendera kuning seperti tradisi di Jawa atau bendera hitam di halaman rumah seperti yang biasa dilakukan orang-orang di Padang. tidak terlalu ramai jika dilihat dari luar, ternyata rumah ini lebih jauh lebih besar dari yang saya duga.

Saya membayangkan dimanakah jenazah dibaringkan, ternyata jenazah di semayamkan di ruangan terpisah. Disana jenazah di kelilingi oleh para pelayat wanita, saya lihat mereka sebagian besar adalah ibu-ibu. Dari ruangan tempat saya duduk saya tidak dapat melihat secara jelas apa aktifitas yang dilakukan oleh para wanita di ruangan tempat disemayamkannya jenazah. Setelah berpindah tempat lebih dekat saya lihat para ibu membaca yasin, tidak ada pemimpin, setiap orang yang datang membaca beberapa ayat dengan suara pelan tapi bisa saja terputus karena mereka harus menyajikan makanan dan kopi untuk pada pelayat pria diruangan sebelah. Jadi terkesan membaca yasin di hadapan jenazah yang dilakukan oleh pada pelayat wanita ini tidak fokus, setiap orang bergantian membaca sesuka hatinya. Saya perhatikan tidak ada yang membaca sampi selesai, terputus karena mengobrol dengan orang disebelah mereka atau teputus karena urusan 'dapur ' yang saya sebutkan tadi.

Sementar itu diruangan sebelah para pria yang sebagian besar sudah berumur juga, hanya satu atau dua orang yang berumur sedikit lebih tua dari kami bertiga. Pelayat remaja tidak ada saya lihat diantara mereka, dua orang anak yang berusia kira-kira 7 dan 9 tahun yang sejak tadi menempel dengan pak Usman saya kira masih keluarga dari almarhumah. Ruangan ini sepertinya adalah ruang makan keluarga yang diseting menjadi ruangan lapang dengam mengeluarkan sebagian besar perabotannya, disebelah selatan ruangan tempat kami para pelayat pria duduk saya bisa melihat daput karena tidak ada sekat yang memisahkan antara ruang makan dan dapur. Seperti dapur-dapur keluarga Bunut lain para ibu rumah selalu membuatnya sangat rapi dan bersih, semua peralatan masak, cetakan kue (beberapa diantaranya baru kali ini saya lihat), berbagai pisau dan piring tergantung rapi di dinding dan langit-langit dapur. Tidak ada ativitas doa atau ritual mlayat di ruangan ini, tidak ada pngajian ataupun riraman rohani. Mereka mengobrol dengan asik sambil minum kopi dan makan kue kecil. Obrolan pun sangat ceria dan tidak ada kesan sedih diantara tuan rumah. Sesekali para para ibu datang meletakkan mengambil piring kosong dan menggantikannya dengan piring baru yang sudah diisi kue.

Saya menangkap kata penggawa dari dua orang bapak yang sedang mengobrol dibelakang saya dalam bahasa hulu. Mencoba melibatkan diri dalam percakapan mereka tentang penggawa, walaupun ada kemungkinan mereka tidak bercakap-cakap tentang penggawa karena saya hanya menangkap sepotong-sepotong saja percakapan mreka dalam bahasa hulu. Dahulu sebelum undang-undag pemerintahan desa yang sekarang ini diberlakukan hanya ada satu pengawa untuk seluruh kecamatan saya mereka tidak dapat menjelaskan kenapa saya pada saat itu hanya bisa mengira-ngira hal ini mungkin dikarenakan pengaruh kerajaan Bunut. Pada masa kerajaan satu kerajaan berkuasa satu penggawa saja yang mengurusi urusan pemerintahan sekaligus adat yang berada langsung dibawah raja. Hal ini struktur ini terbawa sampai saat kerajaan butut hilang setelah kemerdekaan dimana sebagian besar wilayah kecamatan Bunut Hilir adalah wilayah kerajaan Bunut juga [OC], tapi sekarang pemerintah mensyaratkan setiap desa untuk ada satu penggawa. Saya menyanyakan siapa nama penggawa kampung kita ini pak? Lalu mereka berdua saling bertanya satu sma lain, sampai pertanyaan ini dilemparkan ke orang diluar kami bertiga. Seorang bapak menyebutkan dua nama tapi beliau tampaknya juga tidak begitu yakin apakah orang tersebut masih menjabat sebagai penggawa.

Ditingkat kecamatan ada lembaga yang bernama Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) yang salah satu pekerjaannya adalah merumuskan peraturan adat yang dipakai oleh seluruh orang Melayu kecamatan Bunut Hilir, sementara ditingkat kampung juga ada lembaga adat yang berada dibaah struktur pemerintahan desa. Lembaga ini memiliki struktur sendiri yang terdiri dari ketua sekretaris dan juga dua orang anggota.

Acara melayat pada hari pertama kematian berlanjut terus dengan mengobrol, merokok, makan kue dan minum kopi beranjut sampai tengah malam. Semua pelayat terutama para pria tidak pulang, mereka semua termasuk kami bertiga menginap dirumah duka malam itu. Tuan rumah mempersiaplan bantal-bantal dan selimut-selimut tambahan untuk para pelayat yang menginap, keluarga-keluarga dibunut sepertinya memiliki banyak persediaan bantal dan selimut jika datang saat-saat seperti ini. Bantal, selimut, karpet, tikar dan peralatan makan lebih banyak beberapa dai jumlah keluarga penghuni rumah. Saya mencium aroma apak dari bantal dan selimut yang diberikan oleh tuan rumah, sepertinya memang dipersiapkan untuk acara-acara seperti ini.

Saya berkenalan dengan seorang mantan guru Aliah yang sekarang diangkat sebagai staff desa bernama Gebang, dia pernah mengajar sebentar di Aliah setamat kuliahnya di STKIP. Namanya Gebang. Dia tipikal orang muda kampung selalu ingin maju dalam pendidikan, dia bercerita semasa kuliah pernah ikut berbagai organisasi mahasiswa, ikut studi banding ke berbagai kota. Lalu bercerita bagaimana sulitnya dia dalam permasalahan ekonomi untuk dapat taman kulia, tapi disisi lain dia juga sangat terpesona dengan cerita-cerita kami tentang pendidikan di Jawa. Dia berandai-andai kalau dia kuliah di Jawa pasti dai akan lebih sukses dari sekarang.

Kamis, 09 Desember 2010

Observasi awal ke Kampung Pontu (Rabu, 18 Agustus 2010)

kampung nelayan Pontu


menjemur ikan asin

Setelah sahur kami tidak melanjutkan tidur karena jam 6 kami sudah harus sampai di rumah Mahyudin, dia akan mengantarkan kami ke danau Siawan dengan speedboat nya. Fahri memberikan uang 500 ribu kepada Mahyudin untuk pengganti bensin dan sedikit tambahan atas jasanya menjadi supir kami ke Pontu. Tanpa menghitung uang atau bertanya jumlah uang kepada Fahri dia langsung mengantongi uang itu. Sedikit khawatir Fahri bertanya kepada Mahyudin apakah uang itu cukup? Dan dia pun bilang "ah.. cukup lah tu, aman lah".

Sehari sebelumnya ketika kami merencanakan perjalanan ini bersama dia memang bilang ke kami kalau dia tidak terlalu hafal jalan ke Pontu, apa lagi kalau lewat pintas-pintas (jalan pintas). Dia baru dua kali mengendarai boat sendiri kesana, biasanya bagi orang yang baru-baru mengingat kalan diperlukan simbol-simbol sperti kantong plastik yang digantung dipepohonan untuk menandai jalan. Karena itu hari ini dia membawa penunjuk jalan bernama Upik. Anak kelas 2 SMP, dia tinggal di dusun Perdah Bunut Hulu, seperti bisa membaca pikiran saya Mahyudin buru-buru menambahkan kalau Upik sudah biasa bolak balik Pontu Bunut sendirian.

Perjalanan ke pontu memakan waktu 3 jam dengan speedboat 30 pk dar Bunut. Dua kali kami harus berbalik arah karena Mahyudin terlambat membelokkan speed ketika Upik mengsintruksikan untuk berbelok. Saya heran bagaimana dia bisa mengingat semua jalan-jalan pintas sungai-singai kecil ini, bagi saya sungai-sungai dan hutan-hutan ini nyaris tidak bisa dikenali.

Kampung Pontu berada di sungai batang siawan, nelayan yang tinggal di kampung ini bekerja di kedua danau besar yaitu danau Pontu dan Danau Siawan. Ketika akan memasuki perkampungan pontu Mahyudin melambatkan speednya karena kalau melewati keramba dan lantung di sungai kecil seperti itu tetap dengan kecepatan maksimal akan menimbulkan gelombang yang cukup besar sehingga akan mersusak lanting-lanting dan keramba para penduduk. Beberapa orang ibu yang sedang mandi dan mencuci menyapa kami dengan bahasa hulu. Kami membalas dengan lambaian. Saya mengira awalnya perkampungan nelayan Pntu tidak seramai ini dan perumahan mereka pun tidak permanen, tapi sebagian besar rumah disini sudah permanen dibagun dengan ranggung yang terbuat dari kayu belian. Ada juga saya lihat sebuah surau.

Kami langsung menemui pak Pendi di lantingnya, ketika kami masuk dia sedang membetulkan jala di halaman lanting. Kemudian membawa kami duntuk duduk dirumahnya, sepertnya rumah ini juga sekaligus warung. Beberapa keperluan rumah tangga seperti detergent dan sabun mandi dipajang dietalase. Pendi tidak seperti laki-laki Bunut kebanyakan yang kulitnya coklat terbakar matahari, pendi agak terlalu 'putih' untuk ukuran nelayan. Mimik wajahnya selalu serius, berbicara dengan nada datar dan dingin, saya merasa tidak nyaman ketika melihat mata pak Pendi yang tajam. Tampaknya Mahyudin merasa sedikit tegang apabila berbicara dengan Pendi.

Entah kenapa Mahyudin selalu merasa memperkenalkan kami kepada orang-orang baru adalah tugasnya, padahal saya tadinya berencana mau membuka percakapan ini. Dia memperkenalkan kami kepada Pendi dalam bahasa Hulu, saya bisa menangkap beberpa inti pembicaraan itu yang pertama memperkenalkan kami, tujuan kami dan meminta izin jika nanti kami akan bermalam disini. Pendi menjawab dengan kalimat pendek-pendek yang intinya mendukung aktivitas kami bertiga. Setelah saya berkeliling melihat aktivitas warga yang di perkampungan, sebagian besar yang saya lihat adalah para perempuan kemana para pria? Menangkap ikan kah?

Saya mengunjungi tiga orang ibu yang sedang mengeluarkan ikan (lais) yang terperangkap jala, ada banyak sekali metode yang digunakan oleh warga pontu untuk menangkap ikan disekitar sungai Batang Siawan, danau Pontu dan danau Batang Siawan. Selain itu aktivitas lain yang saya lihat adalah membuat ikan asin dan keropok kering. Di halaman rumah mereka terlihat keropok-keropok setengah kering di jemur dan juga ikan asin yang dijemur diatas wadah bilah-bilah bambu. Salah satu dari tiga ibu tersebut sangat bersemangat ketika saya ajak ngobrol, bahkan menawarkan rumahnya ketika saya bilng kami ada rencana menginap di pontu. Lalu dia menyuruh saya untuk mebasuh muka di air sungai agar bisa 'berkenalan' dengan pontu, dipercaya jika orang baru berkunjung dia sebaiknya membasuh muka sebagai tanda perkenalan jika tidak mereka bisa sakit setelah balik dari Pontu.

Pontu tampak sudah menjadi kampung kecil, seperti kampung kecil yang mendukung kamung induk di Bunut. Saya menilai kampung ini bisa dikatakan permanen karena orang-orang disini disamping memiliki lanting atau rumah apung tetapi juga mempunyai rumah panggung permanen dibelakang lanting tersebut. Baru tau belakangan ternyata lanting tempat menambatkan speed boat adalah milik keluarga Upik. Ayah, ibu seta kakaknya tinggal di lating Pontu sedangkan ia karena masih bersekolah di SMP desa Bunut Hulu harus tetap tinggal di kampung. Rumah merekasebenarnya ada di kampung Hulu tapi karena takut tinggal sendirian dirumah kosong Upik memilih untuk tinggal di rumah neneknya di kampung Tengah (Bunut Tengah). Ayah dan ibu Upik asli orang Bunut Tengah. Upik dipercaya oleh ayahnya untuk mengantar dan menjemput barang-barang keperluan di Pontu, tak heran Upik sangat kenal jalan-jalan pintas sungai kecil sekalipun. Malah katanya dia sering melakukan perjalanan malam juga Pontu-Bunut.


Sejarah kerajaan Bunut (Senin, 16 agustus 2010)

keris raja
tongkat raja

Seperti biasa Mahyudin sangat antusias dengan segala kegiatan penelitian kami, sore ini sudah menunggu di halaman depan rumah pak Wim. Seperti yang ia janjikan kami akan dibawa bertemu dengan salah seorang ahli waris kerajaan bunut, pak Raden Sudarso namanya. Beliau tinggal di kampung Hilir (desa Bunut Hilir). Sebelum berangkat kerumah pak Su (panggilan pak Sudarso) Fahri dan Kukuh sempat berdiskusi cukup panjang mengenai masalah yang sebenarnya cukup sederhana menurut saya. Hari ini kami semestinya bertarawih di masjid Kampung Hilir bersama pak Wim, tapi karena janji dengan pak Su rencana Tarawih pun di batalkan. Permasalahannya adalah bagaimana cara mengatakan dengan halus kepada pak Wim sang kepala desa bahwa kami hari ini tidak akan ikut bertarawih dengan beliau. Apakah kami akan membagi kelompok: satu orang menemani pak Wim sholat di Hilir dan sisanya wawancara dengan Pak su atau solusi lainnya. Setelah berdebat cukup panjang belakangan diketahui bahwa pak Wim sudah berangkat tarawih sendirian. Dan pak Su setelah ditelpon pun tidak bisa ditemui langsung pada saat itu karena beliau ternyata bertarawih di masjid Hulu, masjid yang sama tempat pak Wim sholat. Alhasil karena kemalasan dan demi efisiensi waktu kami berempat (saya, Fahri, Kukuh dan bang Mahyudin) memutuskan untuk bertarawih di Surau terdekat dari rumah, surau yang bilangan rakaatnya paling sedikit.

Selesai tarawih kami berjalan kearah barat Nanga Bunut menuju kampung Hilir (masyarkat setempat biasa menyebut desa Bunut Hilir dengan Kampung Hilir saja)jalan menuju rumah pak Su berada tepat dibelakang kantor kecamatan, satu jalan dengan kantor KUA, puskesmas dan kantor korem (cek lagi). Sebelumnya kami belum pernah melewati daerah ini. Suasana sepi karena sedang hujan gerimis, tampaknya tidak ada yang berminat keluar atau sekedar duduk-duduk diberanda rumah pada cuaca seperti ini. Selama perjalanan menuju rumah pak su seperti biasa bang Mahyudin terusmengoceh memberikan informasi-informasi yang menurutnya perlu kami ketahui dengan gayanya yang humoris. Termasuk informasi kalau untuk mencium tangan pak Su jika kami bertemu dengan beliau.

Diberanda rumah pak Su ada ibu Dayang (istri pak Su) dan Deni, dia masih kerabat jau dengan pak Su. Belakangan di ketahui bahwa walaupun Deni masih berkerabat dengan Pak Su tapi dia belum pernah sekalipun diizinkan untuk melihat pusaka kerajaan. Dan setelah mengetahui dari Mahyudin bahwa kami semua akan dipertontonkan pusaka kerajaan oleh pak Su maka diapun sudah stand by di rumah

Pak Su sebelum kedatangan kami. Pak Su belum berada di rumah, lalu kami terlibat percakapan basa basi dengan Deni sementara bu Dayang bergegas ke dalam untuk membuatkan sepoci the hangat untuk kami.

Deni yang sekarang sudah semakin kelihatan rasa tidak sabar dan penasarannya berinisiatif untuk menelpon pak Su, terjadi percakapan dalam bahasa Hulu antara Deni dan pak Su. Dalam bahasa Hulu Mahyudin menanyakan apa yang di katakan pak Su kepada Deni didalam tepon. Lalu dia (Mahyudin) menerangkan kepada kami bertiga dalam bahasa Indonesia kalau pak Su sedikit lebih lama di masjid karena urusan pesantren anak nya yang bersekolah di Tsanawiyah.

Sedangkan apabila seorang laki-laki berdarah bangsawan menikah dengan perempuan biasa maka istrinya juga tidak akan mendapat gelar bangswan tapi anak-anak mereka akan menjadi bagian dari istana. Semua anak mereka akan mendapat gelar kebangsawanan.

Kerajaan bunut didirikan oleh tiga bersaudara yang berasal dari tanah jawa (jogjakarta), masing masing mereka bertekat untuk mendirikan sebuah negri yang sejahtera. Maka mereka bertiga berembuk untuk membagi daerah mana yang akan menjadi daerah kekuasaan mereka. Maka didapatlah sebuah kesepakatan Raden Setia Abang Berita mendapat bagian memerintah di Bunut, dua orang saudara nya yang lain memerintah di embaloh dan daerah kapuas. Sang kakak yang memerintah di Kapuas kemudia pulang ke tanah Jawa karena takut tidak ada yang akan memerintah kerajaan yang disana, maka ia menyerahkan tanah kerajaan yang di Kapuas kepada Abang berita untuk dipimpin. Maka bertambah luaslah wilayah kerajaan bunut. Akan tetapi kemudian hari didapat berita bahwa sudah ada yang melanjutkan pemerintahan kerajaan di tanah Jawa, walaupun begitu sang kakak terlanjur malu untuk kembali ke Kalimantan untuk meminta kembali kerajaan kapuas yang telah diserahkan kepada sang adik Abang Berita. Kerajaan ini diresmikan pleh pemeritah kolonial Belanda pada tahun 1877 didalam Surat asisten residen Sintang nomor 91 tahun 1877 pada tanggal 19 januari 1877. Namun sebenarnya kerjaan ini sudah berdiri 62 tahun sebelum disahkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kampung pemukiman pertama di negri bunut adalah bernama kampung Palin, diawal pendudukan Abang Berita melakukan ekspansi dan pendudukan di tanah Kalimantan dia menaklukkan bangsa Dayak yang pada saat itu masih menganut animisme. Rakyat negri bunut pada awal kerajaan terbentuk sangat sedikit, tidak lebih dari 100 orang. Kebanyakan diantara mereka adalah Dayak, kemungkinan mereka kemudian masuk Islam dengan cara kawin dengan pasukan (tentara) tiga orang Raja yang datang dari tanah Jawa ini.

Pada saat sekarang mereka mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu Bunut, menarik bahwa sebagai sebuah kerajaan yang dibentuk dari hasil penaklukkan bangsa Jawa kebudayaan mereka sangat kental dengan unsur Melayu Sumatra. Hal ini terlihat sangat jelas dari bahasa yang mereka dunakan (bahasa Melayu Hulu atau sering disebut sebagai bahasa Hulu saja), banyak ragam kosakata yang sangat dekat bunyinya dengan kosakata bahasa melayu sumatra (Riau, Sumbar dan sekitarnya) seperti cara pemanggilan didalam keluarga (atok, inik, ayi, mamak, abang, kakak, mak ngah, angko dan lain sebagainya). Beberapa kesenian tradisional yang diaku sebagai milik mereka seperti tari zapin, alat-alat musik. Arsitektur bangunan yang sangat mirip dengan arsitektur melayu riau, lalu hal ini juga terlihat pada motif2 kerajinan kerajaan (pada payung raja, pada tenunan kain raja dan lain sebagainya). Tapi walaupun begitu pengaruh dayak dan jawa juga terlihat, beberapa kata dalam bahasa hulu memuliki bunyi dan dan makna yang sama dengan kata dalam bahasa dayak kantuk. Pengaruh jawa terlihat dari gelar2 gelar kerajaan seperti raden, gusti , ratu pangeran dan lain sebagainya. Satu peninggalan kerajaan yang sangat bercirikan jawa adalah keris Raja. Menurut pak raden Sudarso keris ini pernah diminta kembali oleh keraton Jogja karta tapi demi menjaga amanah leluhur beliau menolak untuk mengembalikan keris ini.

Pak Su menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan dengan nada yang lembut, perlahan dengan artikulasi yang sangat jelas dia menekankan kata-kata yang dianggapnya penting, kata-kata yang keluar dari mulitnya tertata rapi secara umum saya menilai pak Su berusaha untuk tampil seformal mungkin didepan kami. Bahkan ketika Mahyudin memancingnya berkelakar dalam bahasa hulu dia terkesan tidak terlalu mengapresiasi kelakar Mahyudin. Hal ini juga terlihat dari bahasa tubuh pak Su, dia menunjukkan arah dengan menggunakan ibu jari kanan. Hal ini tidak bias di bagi orang bunut. Saya tidak bisa menilai apakah semua bangsawan kerajaan Bunut seperti ini atau tidak.

Walaupun pak Su tidak mengetahui dengan pasti sampai seberapa luas wilayah kekuasaan bunut, saya mengira cukup luas karena Jongkong dan embaloh juga masuk wilayah kerajaan. Dan yang pasti adalah menurut pak Su danau Siawan dan Pontu masuk kedalam wilayah kekuasaan kerajaan Bunut. Ada tradisi yang masa kerajaan yang masih dilakukan masyarakat samapi sekarang, pada masa kerajaan raja membuat peraturan agar tidak membuang kepala ikan biawan kedalam sungai tapi harus dibuang ke daratan. Karena dipercaya belatung dari kepala-kepala ikan yang membusuk ini akan menjadi lebah.

Beberapa benda pusaka kerajaan yang ada disimpan oleh pak Su adalah :

Tongkat kerajaan, tongkat ini terbuat dari kayu belian bagian ujung yang menjadi pegangan terbuat dari tulang. Menurut pak Su tongkat ini sudah dimiliki oleh keluarganya selama empat generasi. Ketika dipegang oleh kakeknya tongkat ini mengeluarkan bau harum. Ketika seseorang mengukur tongkat ini dengan jengkal maka ketika dia mengukur untuk yang kedua kalinya hasilnya tidak akan pernah sama. Jika jari kelingking seseorang berada tepat di ujung tongkat ketika jengkalan yang kedua dia diramalkan bisa menjadi seorang pemimpin, menurut pak Su selama tongkat ini dia pegang hanya ada tiga orang yang mengukur tongkat dengan pas yaitu bupati dan wakil bupati Kapuas Hulu sekarang dan mantan Bupati Kapuas Hulu dari periode sebelumnya.

Gentong keramat yang terbuat dari tanah liat, gentong keramat ini menurut pak Su bisa berpindah tempat. Karena gentong ini terus mengikutinya ketika terus mengikutinya ketika pindah rumah dia memukul mulut gentong dengan palu. Setelah itu gentong keramat tidak bisa lagi berpindah tempat secara gaib, tapi semenjak pemukulan mulut gentong oleh pak Su beliau arwah penghuni gentong marah dan menghatui pak Su. Setelah minta maaf baru makhluk halus penunggu gentong ini tenang dan tidak mengganggu lagi. Ada satu pantangan ketika melihat gentong, dilarang melihat bagian dalam gentong karena akan mengakibatkan orang yang melihat tersebut kerasukan yang tidak bisa disembuhkan.

Keris raja. Dilihat dari fisik keris ini tidak ada nuansa melayu sedikit pun sepengetahuan saya keris ini sangat mirip sekali dengan keris Jawa. Menurut pak su keris ini dibawa oleh raja dari tanah Jawa. Menurut pak Su keris ini bisa mendatangkan hujan, beliau mmbisikkan doa sambil menempelkan keris tersebut dikeningnya sebelum mencabut keris dari sarangnya. Dan 10 menit kemudian terjadi hujan lebat, dan ajaibnya beberapa saat setelah keris dimasukkan kembali kedalam sarungnya hujan kembali mereda digantikan oleh rintik-rintik kecil.

Selama kunjungan kerumah pak Su hanya tongkat dan keris yang dia tunjukkan kepada kami, menurut Mahyudin kami termasuk orang yang beruntung dapat melihat benda-benda kerajaan ini. Karena kami berkunjung pada malam hari jadi jadi agak kurang pantas untuk mengeluarkan semua benda-benda kerajaan.

Sejarah pemekaran desa-desa di kecamatan Bunut (Senin, 16 Agustus 2010) Hilir

kantor camat Bunut Hilir

Informasi ini dikumpulkan dari diskusi bersama Sekretaris kecamatan Bunut Hilir dan Kasi Pemerintahan pak Abang Mabruk pada hari Senin tanggal 16 Agustus 2010 pukul 09.15 di kantor camat Bunut Hilir. Perjalan ke kantor camat Bunut Hilir menempuh waktu 5 menit dengan jalan kaki dari rumah Pak Wim. Pagi itu saya berangkat dengan tanggui baru saya. Memakai tanggui membuat saya berjalan lebih pd menyusuri jalan-jalan gertak Nanga Bunut, tanpa perasaan diledek, tanpa perasaan aneh yang mungkin akan saya rasakan ketika memakai topi tradisional ini ketika berjalan di kampus. Bahkan di perjalanan ada ibu-ibu yang memuji "duh.. bagus sekali tangguinya". Di Bunut tanggui benar-benar menjadi aksesori segala umur yang bisa dipakai disegala musim, ukurannya yang lebar melindungi pemakainya dari terik matahari dan hujan.

Cerah dengan sinar matahari berlimpah. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa sejak dua hari yang lalu Nanga Bunut diguyur hujan terus menerus, hanya dari ketinggian air yang sekarang sudah melewati setengah tinggi gertak lah orang-orang akan tau seberapa hebatnya hujan dua hari ini. Ketika sudah mendekati kantor camat tepatnya di gedung aula tua yang belakangan saya ketahui adalah bekas sebuah sekolah Tionghoa Tiong Hoa Chung Hui tampak beberapa aparat pemerintahan berseragam dinas, polisi, TNI AD dan beberapa orang lainnya yang berpakaian rapi dalam batik dan safari. Saya melongok sedikit lebih jauh lagi kedalam gedung tersebut dan melihat siswa SMA berpakaian PRAMUKA lengkap sedang berbaris. Aah ya, saya baru sadar kalau besok akan diadakan upacara bendera. Teringat kalau pak Wim bilang upacara di lapangan dibatalkan karena lapangannya acap, dari dua hari yang lalu hujan terus menerus. Dan pagi ini di alula inilah upacara di persiapkan.

Dihalaman kantor camat saya melihat Pak Rustam (Sekretaris Camat yang sekaligus juga menjabat sebagai ketua Majelis Adat Melayu kecamatan Bunut Hulu) sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang PNS berpakaian dinas yang kemungkinan besar juga staff kecamatan Bunut Hilir. Sedikit minder dan canggung saya melirik diri saya yang hanya berpakaian T-shirt dan celana pendek plus sandal gunung sementara semua orang berpakaian formal dan rapi. Saya menyapa Pak Rustam dengan "selamat pagi pak" sambil bersalaman dengan beliau, jawabannya hangat, tegas dan sangat formal. Sangat berbeda dengan Pak Rustam yang biasa kami ajak ngorol dirumahnya ketika sedang memberi makan ikan di kolam setiap sore. Satu hal yang sama adalah karakter beliau yang tegas sehingga memberikan kesan seperti karakter seorang birokrat yang disiplin. Sebelumnya saya memang sudah membuat janji untuk yah.. Sebutlah 'wawancara' ini dengan beliau dan Pak Mabruk. Seperti biasa kalimat pembuka yang hampir selalu saya gunakan ketika membuka obrolan adalah "lagi sibuk apa nih sekarang pak?" .. "kok ramai sekali kelihatannya.." dan seterusnya…. Jawaban dari beliau berupa kalimat-kalimat singkat dan sangat formal. Karena sudah mengetahui tujuan saya beliau langsung mempersilahkan saya masuk ke ruangan Pak Mabruk dan mengatakan kepada saya bahwa dirinya akan segera bergabung.

Pak Mabruk sepertinya sedang sibuk dengan lembaran-lembaran dokumen yang sedang dibolak-baliknya tapi langsung mangabaikannya diatas meja dan buru-buru membalas salam saya ketika saya menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. Semua papan petunjuk fasiltas umum keempat desa sekitar pusat kecamatan Bunut Hilir (desa Bunut Hilir, Bunut Tengah, Bunut Hulu, dan Ujung Pandang ) seperti puskesmas, masjid dan sekolah menuliskan kata Nanga Bunut, saya heran kenapa mereka tidak menuliskan kecamatan Bunut Hilir saja? Kenapa begitu pak? Nanga berarti muara atau pertemuan dua sungai. Jadi Nanga Bunut mengacu kepada empat desa yaitu desa desa Bunut Hilir, Bunut Tengah, Bunut Hulu, dan Ujung Pandang yang terletak disekitar muara sungai Bunut dan Kapuas.

"ya jadi empat desa itulah yang kota Nanga Bunut"

"Ibu kota kecamatan Bunut Hilir, makanya satu paket disebut Nanga Bunut"

Lalu tentang sengketa wilayah desa Bunut Hulu dengan desa Nanga Tuan pak Mabruk membenarkan memang pernah tejadi, kecamatan pernah memfasilitasi tapi walaupun belum menemukan titik terangnya oleh kedua fihak masalah ini terkesan dibiarkan mengendap saja. Ketika saya bertanya tentang batas wilayah yang pasti dari desa Bunut Tengah dan Bunut Hulu beliau menjawab dengan jawaban yang serba tidak pasti dan sangat berhati-hati.

"kalau tentang batas-batas wilayah agak susah saya bicaranya yah.."

"masih kurang jelas.. "

"ada sih peta, tapi peta lama sebelum pemekaran. Pemerintah dengan departemen yang terkait belum ada membantu kami untuk memetakan dengan jelas setiap wilayah desa ini."

Sedikit gugup melanjutkan,

"seharusnya, departemen pertanahan, atau badan apalah dari pemerintahan yang ahli dalam masalah peta-peta ini membatu.. Jadi perpedoman kepada peta lama ja' dulu"

"Boleh saya lihat petanya pak?" saya belum berani menggunakan kata 'minta' terlalu riskan takut terlalu lancang dan akhirnya kehilangan data yang berharga ini jadi saya memberikan kesan kalau hanya mau melihat-lihat petanya saja dulu.

"iya..iya boleh"

Pak Mabruk membuka laptopnya dan secara sekilas saya melihat peta yang cukup lengkap dari ke delapan desa kecamatan Bunut Hilir. Saya memperlihatkan ekspresi sangat tertarik dan ingin mempelajari lebih dalam lagi wilayah Bunut Hilir lalu memberanikan diri untuk meminta peta-peta tersebut. Dan berhasil.

"mmhh… boleh saya copy petanya pak?"

Dan buru-buru menjawab,

"iya..iya boleh, di copy nak apa"

Namun ekspresi yang saya tangkap dari jawaban ini, lebih kepada perasaan tidak mau terus direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan terus-menerus tentang desa dan batas desa.

Tentang perkembangan dan sejarah pemekaran desa-desa di kecamatan Bunut Hilir terutama desa Bunut Tengah dan Bunut Hulu. Pak mabruk memberikan jawaban dengan sangat berhati, seakan memperhitungkan setiap konsekuensi yang akan diterimanya dari memberikan jawaban. Hal ini terlihat dari dia selalu berusaha mengacu jawabannya kepada dokumen-dokumen tertulis yang sudah dipersiapkannya di lemari kerjanya. Setiap saya menanyakan pertanyaan yang agak detil seperti, "jadi desa yang sekarang ini pemekaran yang keberapa pak?" atau "ketika dusun-dusun mana yang menjadi desa sendiri ketika terjad pemekaran tahun 1996?" beliau kembali cepat-cepat mengecek di lembaran-lembaran dokumen diatas mejanya.

Beberapa poin yang dapat saya simpulkan dari diskusi mengenai perkembangan desa-desa adalah,

Paling tidak sejak tahun 1986 sudah terjadi tiga kali pemekaran desa di kecamatan Bunut Hilir. Pada tahun 1986 desa-desa di kecamatan Bunut Hilir adalah:

Bunut Hilir

Bunut Hulu

Teluk Aur

Nanga Tuan

Nanga Boyan

Lalu terjadi pemekaran lagi menjadi:

Bunut Hilir

Bunut Hulu

Teluk Aur

Nanga Tuan

Nanga Boyan

Ujung Pandang

Pemekaran terakhir:

Bunut Hulu (terdiri dari dusun: Kupan dan Dilaga)

Bunut Hulu (Perdah dan Kuala Bunut)

Teluk Aur (Puring, Jaung 1 dan Jaung 2)

Nanga Tuan (Siawan, Tanjung Entibab dan Kuala Buin)

Empangau (Embaloh Hulu dan Embaloh Hilir)

Ujung Pandang (Kubu, Tanjung Kapuas dan Ujung Pandang Kapuas)

Tembang (Tanjung Bunga dan Beringin)

Bunut Tengah (Baiturrahmah dan Karya Bhakti)

Ditengah diskusi mengenai desa Pak Wim yang kebetulan sedang berada di kantor kecamatan bergabung bersama kami. Beliau berpakaian dinas Linmas, sepertinya juga barusaja mengikuti gladiresik upacara bendera.

Lalu tentang persyaratan pemekaran desa pak Mabruk sepertinya juga tidak terlalu ingat pada undang-undang nomor berapa hal ini diatur, yang jelas menurut pak Mabruk ada dua pasal yang menyatakan apabila sebuah dusun jika jumlah penduduknya sudah lebih dari 750 jiwa dan dusun tersebut mempunyai potensi (terutama potensi alam) dia dapat dimekarkan menjadi sebuah desa. Tapi pak Wim tampaknya kurang setuju dengan implementasi dari undang-undang ini, karena ada beberapa dusun yang belum memenuhi dua persyaratan ini dan khirnya menjadi dusun tertinggal.

Lalu saya bertanya kepada kepada pak Mabruk mengenai ada tidaknya intervensi pemerintahan kecamatan dalam pengelolaan hutan, apakah ada peraturan dari kecamatan yang dalam mengelola hutan dan danau?

"kalau itu aturan-aturan umum dari departemen kehutaan ja', kecamatan tidak secara khusus membuat peraturan unutuk hutan dan danau"

Kalau aturan lain ada tidak pak? Sebenarnya saya sudah tau bahwa ada peraturan danau dan peraturan adat yang berkaitan dengan hutan. Pertanyaan ini hanya bermaksud untuk mengeksplorasi lebih dalam.

"Ooh ada itu peraturan danau, ketua danau yang buat.. Tapi yang saya percaya tidak ada satupun peraturan danau yang bertentangan dengan peraturan pemerintah "

Klenteng Nanga Bunut (16 Agustus 2010)

kuburan Cina
agak suram yah hihi..
ini altar apa yah??
dewa utama yang ditengah itu Hok tek cheng sin
ada yang bisa baca kanjinya??


Klenteng ini memang tidak berada di dalam wilayah penelitian tapi saya rasa eksistensi dan keberadaan orang Tionghoa di Nanga Bunut juga berkaitan dengan sejarah desa dan sejarah perekonomian desa pada masa awal kemerdekaan, dimana pada masa itu komunitas Tionghoa di Bunut masih banyak jumlah anggotanya. Setelah adanya longsor di Kampung Hilir da gejolah ekonomi pada tahun 1999 banyak diantara mereka yang keluar kampung (Peputusibau, Pontianak bahkan Jakarta).Dulu dalam rantai perdagangan karet mereka memegang pernan penting.

Berdasarkan keterangan dari pak Jafri (kades Bunut Tengah) hanya satu keluarga Tionghoa beragama Kristen yang tinggal di kampung Tengah. Selebihnya komunitas Tionghoa tinggal di Kampung Hilir.

Dari Observasi saya disekitar pasar kebanyakan mereka (orang Tionghoa) punya usaha toko kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari selain itu ada juga yang berprofesi sebagai tukang jahit, kios Hp. Diperkirakan generasi pertama orang Tionghoa bekerja di bidang pertenian dan perkebunan Pak Wim pernah cerita kalau dia membeli lahan kebunnya sekarang dari Orang Cina hal ini sejalan dengan cerita pak Rustam yang mengatakan bahwa orang Tionghoa sudah ada di Bunut bahkan ajuh sebelum masa penjajahan Jepang, dia memprediksi Tinongoa sekarang adalah generasi ketiga.

Hari ini saya dari obrolan saya dengan pemilik toko kelontong di pasar saya mendapat informasi bahwa Tionghoa yang bermukim di Bunut adalah berasal dari suku Khek atau lebih di kenal dengan Hakka. Agama yang merka anut cukup beragam (Kristen, Katolik dan juga Konghucu). Ketika saya di Putusibau juga sempat mengobrol di Klenteng tengtang komunitas Tionghoa di Kapuas Hulu, menurut bapak penjaga klenteng Putusibau kebanyakan disini orang Hakka tidak seperti di Pontianak yang lebih banyak orang Teochew. Saya menanyakan lembaga sosial atau perkumpulan sosial yang biasanya dimiliki pleh orang tionghoa di setiap daerah. Si bapak penjaga toko sedikit bingung dengan pertanyaan saya dan menjawab,

"maksudnya semacam yayasan begitu?"

"iya pak ada yayasan atau paguyuban orang Hakka tidak?"

Paguyuban yang saya maksud baru dibuat beberapa waktu lalu bahkan belum diberi nama, si bapak penjaga toko memnyebutkan nama seorang sesepuh Tionghoa tempat bertanya kalau saya ingin menelusuri lebih dalam sejarah dan kebudayaan Tionghoa. Dia juga memberitahu saya kalau di Kampung ini juga ada rumah pekong (kleteng). Setelah ini saya langsung berjalan menuju rumah pekong yang dimaksud, berada tidak jauh dari pasar dan bersebelahan dengan gereja Katolik Santo Petrus.

Jika melihat sekilas dari luar orang tidak akan menyangka bangunan yang ada dibalik pagar kayu bercat merah kusam itu adalah sebuah klenteng, benar-benar terlihat kusam dan suram dari luar. Tinggi pagar kayu kleteng kira-kira 180 senti, pintunya tertutup tapi untungnya tidak terkunci. Bagian dalam lebi suram lagi, belum pernah saya lihat klenteng se kusam ini selama ini klenteng yang saya temui selalu berwarna berah pekat dan ceria. Sama sekali tidak ada aksara latin di klenteng ini, semuanya ditulis dalam kanji, hanya satu yang saya ingat yaitu kanji miau (mandarin) atau bio dalam bahasa Hokian yang artinya adalah tempat ibadah. Saya mengenali Dewa tuang rumh atau Dewa utama yang dipuja di klenteng ini dari ciri-ciri fisik dewa yang dipersonifikasikan pada patungnya. Dugaan saya dia adalah Hok Tek Cheng Sin (Hokian) atau Fu De Ching Sin dalam bahasa Mandarin, hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri patungnya: laki-laki tua berjenggot panjang, memakai baju bangsawan kerajaan Tiongkok, dan memegang uang logam kuno tiongkok di tangan kanannya. Dewa ini adalah dewa Bumi yang mengatur kesuburan tanah, kalender musim, curah hujan dan sebagainya. Dia biasanya dia dipuja oleh para petani dan pedagang.

Ada dua patung Hok Tek Cheng Sin di altar utama yang satu sepertinya lebih tua usianya, hal ini biasa ditemukan diklenteng-klenteng. Biasanya patung yang paling tua adalah patung yang dibawa oleh orang-orang gnerasi pertama yang mendirikan klenteng dan patung-patung tambahan adalah sumbangan dari warga yang sudah tidak dapat menyembahyanginya lagi (karena alasan pidah rumah). Selain di altar utama terdapat tiga hio lo (tempat membakar hio/dupa), dua botol minyak sembahyang yang sudah kosong tergeletak diantara abu-abu dupa bekas sembahyang yang sepertinya sudah lama tidak dibersihkan. Dialtar Tuhan ada lebih banyak hio lo sekitar lima buah hio lo yang terbuat dari kuningan dijejerkan rapi secara simetris, dua buah tempat lilin, dua buah cawan persembahan untuk memberi persembahan arak kepada Dewa. Seperti halnya altar Dewa altar Tuhan pun dipenuhi oleh abu-abu sisa sembahyang. Didinding kanan klenteng arah ke depat pintu masuk ada meja kecil tempat meletakkan perlengkapan sembahnyang seperti lilin, hio dan kertas doa dan tampaknya persediaan mereka akan perlengkapan sembahyang di kleteng ini sudah mulai menipis. Di meja ini juga ada sebuah kotak amal berwarna merah.

Saya tidak melihat gambar Dewa pintu di kanan dan kiri pintu kleteng, mungkin gambarnya digantikan oleh dua baris kanji yang tidak saya baca ini. dihalaman sebelah kiri klenteng terdapat satu altar lagi, tidak jelas juga ini altar dewa apa karena semuanya ditulis dalam kanji sedankan disebelah kanannya terdapat tempat membakar kertas doa (kim chua dalam bahasa Hokian)

Diluar pagar kleteng tepatnya desebelah kiri klenteng terdapat kuburan Tinonghoa, ada berbagai bentuk yang saya lihat. Tapi kebanyakan sih nisannya terbuat dari papan kayu segi empat ada beberapa makam yang sangat bercirikan budaya Tionghoa yang disebut dengan bong pay (Hokian). Kalau di Padang banyak orang Tionghoa yang memilih dikremasi atau dimakamkan dengan makam biasa yang sederhana dengan alasan membuat bong pai susah, konstruksinya rumit dan juga banyak memakan tempat, apakah orang Tionghoa buntu juga merasakan hal yang sama?

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats