Minggu, 28 September 2008

World Rabies Day: Time for humane solutions

World Rabies Day: Time for humane solutions

September 2008

Rabies, though preventable, kills 55,000 people and countless dogs every year. In many countries, governments respond by shooting or poisoning dogs, a grossly inhumane and hopelessly ineffective method of disease control. On September 28, WSPA will be raising awareness about humane solutions.

Last year, WSPA supported member societies in affected regions - largely Asia and Africa - in delivering public education programs and promoting a proven way to stop the spread of rabies: responsible pet ownership.

World Rabies Day 2007 saw around 10,000 rabies awareness leaflets distributed and over 5,000 dogs vaccinated.

But WSPA's work with member societies continues all year round, implementing effective and humane responses to rabies and improving dog welfare.

Action for 2008: Getting governments to think humane

WSPA's ongoing concern is the inhumane and unnecessary killing of dogs - according to the World Health Organization (WHO) there is no evidence that mass culls reduce the spread of rabies.

But responsible pet ownership - the neutering, vaccinating, and better care of dogs - can eradicate the myth of the wandering street dog, spreading disease. Alongside this, holistic solutions - led by governments and embraced by the public - can eradicate rabies itself.

Proof of this can be seen in Latin America, where canine rabies has been virtually eliminated thanks to mass vaccination and a concentrated effort by governments.

For World Rabies Day this year WSPA is working with governments, presenting the case for humane, effective prevention methods. Where comprehensive education and vaccination programs already exist, we are encouraging authorities to keep going and showcase their success.

In Mexico: WSPA and member society Fundacion Antonio Haghenbeck are helping launch a nationwide government campaign aimed at children, distributing posters and providing 7,000 handcrafted bracelets.

In Colombia: Colombia largely has rabies under control, so this year's mass animal vaccination and public education activities are about preventing re-emergence. In Bogota, a WSPA/government organized rabies conference will hear a WSPA expert speak about responsible pet ownership.

In Tanzania: WSPA is working with the government to offer free vaccinations for dogs in Tanzania's largest city and distribute educational materials on rabies control and prevention. This will be supported by media coverage, and a procession will direct government attention to the rabies problem.

In Syria: In a country where the animal rabies vaccine is not widely available and the need for it is not fully acknowledged, WSPA is supporting member society SPANA's public and government awareness raising activities.

In China: With cases of rabies and instances of mass dog culls both rising, WSPA is collaborating with the Centers for Disease Control to distribute awareness materials in rural areas, where people - particularly farmers and their children - are most at risk.

In Nepal: Two WSPA member societies, the KAT Center and NZFHRC, will work with authorities in Kathmandu on a mass dog vaccination to eradicate rabies from the city.

In Thailand: WSPA and the Veterinary Practitioners' Association of Thailand are campaigning together for responsible pet ownership, and providing bite prevention posters to be used year-round in schools.

Where you live: You can find out more about caring well for your pets and read WSPA's rabies prevention advice >>

World Rabies Day is an initiative of the Alliance for Rabies Control. Learn more and get involved >>

Selasa, 23 September 2008

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM SUDUT PANDANG ANTROPOLOGI HUKUM

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM SUDUT PANDANG ANTROPOLOGI HUKUM
Tujuan dari diciptakannya hukum adalah agar terciptanya suatu keadaan konformitas atau keteraturan didalam suatu masyarakat. Masyarakat masyarakatt pada layaknya seperti kiita analogikan seperti organisme hidup yang pada zaman sekarang sudah semakin kompleks dan tidak lagi dumbuk dan berkembang di dalam sistem yang terisolasi seperti dulu sehungga pengaruh asing gampang masuk dan siserap oleh masyarakat tersebut. Adalah sesuatu yang wajar bila suatu mayarakat baik yang berskala kecil dalam lingkup suku bangsa atau ethnic group ataupun masyarakat bangsa atau nation yang terdiri dari beberapa suku bangsa mengadopsi nilai-nilai asing melalui berbagai proses transmisi kebudayaan, tetapi hal ini tentunya akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan individu-individu yang menjadi elemen pendukun komunitas masyarakat tersebut termasuk dalam hal kesdaran mematuhi norma-norma yang merupakan sumber hukum tidak tertulis dalam masyarakat.

Ketika terjadi pelanggaran norma-norma di dalam masyarakat berarti hukum yang berfungsi sebagai pengendali atau kontrol sosial yang memmbuat keadan tetap damai telah langgar. Bentuk-bentuk pelanggaran tidaklah ditolerir dalam derajat yang sama karena konsepsi batas-batas pelanggaran yang dapat ditolerir bersifat relatif, berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat dan kebudayaan itu sendiri bersfat relatif. Terlihat kematangan Antropologi Hukum sebagai ilmu yang merupakan subbagian dari ilmu Antropologi karena konsep relativisme kebudayaa (cultural relativism) adalah konsep yang sangat penting didalam ilmu ini. TO. Ihromi seorang ahli Antropolgi Hukum memberi ilustrasi didalam bukunya yang berjudul Antropologi dan Hukum, seorang wanita yang sudah bersuami yang tinggal didaerah perkotaan bercengkrama atau bercanda secara berlebihan dengan laki-laki yang bukan suaminya masih dapat dimaafkan oleh suaminya. Tetapi hal yang lebih serius akan terjadi apabila si wanita dan suami adalah masyarakat Madura, hal ini adalah sesuatu yang tidak dapat dimaafkan. Si suami akan bertaeung habis-habisan dengan pria yang berurusan dengan istrinya, bahkan tidak jarang terjadi pertumpahan darah karena budaya carok (bertarung dengan ceurit untuk menyelesaikan suatu sengketa) yang ada di madura. Perbedaan persepsi mengenai keseriusan derajat pelanggaran norma terjadi karena latar belakang budaya yang berbeda.
Mekanisme penyelesaian sengketa pada masyarakat merupakan tema yang cukup diminati dalam kajian Antropologi hukum terutama pada dekade 40-an dan 50-an, pada masa itu muncul karya-karya Hoebel yang berjudul The Cheyenne Way (1941) dan The Law of Primitive Man (1954) tentang suku Cheyenne (suku Indian) di Amerika Serikat. Dan juga kajian-kajian penyelesaian sengketa pada suku Arusha (karya Gulliver), Soga (karya Fallers) dan Kaupuku di Papua nugini (karya Pospisil). Tokoh-tokoh penting dalam bidang agama dan adat (Ihromi menyebutnya sebagai tokoh informal) seringkali menjadi pihak yang sangat berpengaruh pada proses penyelesaian sengketeta pada masyarakat pedesaan atau pada suku bangsa-suku bangsa bersahaja dimana organisasi sosial politik masih sederhana, tidak ada spesifikasi yang membedakan pihak-pihak yang yang membuat undang-undang maupun penegak hukum formal. Berbeda halnnya dengan penyelesaian sengketa pada masyarakat perkotaan yang sudah kompleks akan mengajukan perkara ke Pengaadilan negri, Pengadilan tinggi dan Mahkamah agung.

Agaknya masyarakat harus membuka cakrawala lebih luas dalam melihat cara masing-masing masyarakat lokal dalam menyelesaikan sengketa sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masing masing daerah.

Jumat, 05 September 2008

penemuan makam bersejarah

Senin, 25 Agustus 2008 10:10 WIB
Nisan Makam Jenderal Belanda Ditemukan di Bojonegoro


BOJONEGORO--MI: Ditemukan sebuah nisan seorang jenderal Belanda, Yuans Van De Sluks di Desa Bakalan, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Jawa Timur.

"Tetapi nisan tersebut sudah bergeser sekitar 300 m dari lokasi pemakamannya, dan sekarang ini nisan itu hampir separohnya terpendam di tanah", kata Kasi Sejarah Nilai Tradisional dan Muskala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro, Dari Suprayitno, Senin (25/8).

Menurut dia, nisan dengan ukuran 2 X 1 m tebal 20 cm yang bahannya dari semen cor hitam itu, meski peninggalan Belanda, tetapi temuan itu masuk benda cagar budaya yang harus dilindungi.

Proses awal temuan, berangkat dari laporan seorang guru Sejarah SMPN di Kecamatan Kapas, yang melaporkan adanya nisan yang terpendam di jalan desa setempat.

Semula, nisan tersebut berada di tengah sawah di atas tanah seluas sekitar 2.000 m2 yang sekarang ini menjadi tanah milik Desa Bakalan.

Dari hasil penelusurannya, di lokasi tanah tersebut hanya ada satu makam yang sekarang nisannya berpindah, sehingga bisa disimpulkan yang dimakamkan tersebut seorang tokoh Belanda.

"Kami belum mencek, tetapi nama jenderal itu ada dalam sejarah Bojonegoro. Dulunya seorang jenderal yang ditempatkan di Bojonegoro untuk mengawasi proyek tebu", katanya menambahkan.

Pada tahun 1970 nisan tersebut dicabut dan diangkat untuk membuat gorong-gorong atau saluran air di perkampungan.

Dari Suprayitno yang mengaku sudah melakukan pengecekkan lapangan, hasil indetifikasi sementara di nisan itu tertulis sebuah nama, yakni Yuans van De Sluks lengkap dengan tanggal lahir, dan kematian. Tetapi untuk tahunnya tidak terlihat, karena masih tertutup tanah.

Rencananya, lanjut dia, temuan itu dilaporkan kepada Balai Pelestarian dan Perlindungan Benda Cagar Budaya (BP3) Trowulan di Mojokerto, agar ada penanganan ekskavasi (penggalian benda cagar budaya).

Dengan demikian, lanjut dia, nisan tersebut masih tetap bisa dilestarikan, meskipun peninggalan Belanda. Kedepan nisan itu, bisa memancing ahli warisnya di Belanda atau yang berkepentingan untuk datang ke Bojonegoro, sehingga bisa menciptakan obyek wisata sejarah. (Ant/OL-02)

tinggal seminggu lagi

Kuliah kerja nyata

Jadi sepertii ini rasanya KKN (kuliah kerja nyata) program UNAND tapi wajib di fakultas gw FISIP bagi mahasiswa semester 6 yang sudah memenuhi syarat. Dulu tidak pernah ada senior yang memberikan jawaban yang memuaskan ketika gw tanya ngapain uni atau uda waktu KKN, ngerjain apa aja disana, trus gimana2 tentang KKN yang gw tanyain ga bikin gw ngerti. Ga tau deh kemampuan berbahasa mereka yang kurang atw emang mereka ga ngapa-ngapain pas KKN (atau mereka pada Idiot semua huahahahahaha). Tapi yang jelas sekarang ini gw sangat nikmatin program ini, rasanya walaupun banyak kerjaan tiap hari dan juga nulis laporan segala macem sampe urusan kerjaan rumah tangga (orderan nyuci piring dari para cewek di dapur contohnya) ga masalah bagi gw. Gw sangat menikmatinya. Mungkin pas mw berangakat Padang bisa nangis berurai air mata. Yang paling ngangenin itu adalah murid2 kecil gw yang imut2, anak2 SD. Duhhh tampang mereka yang innocent bikin gw rindu mereka. Padahal sebelum berangkat KKN kita udah dilanda segala macem pre-KKN syndrome dan stress dan segala macamnya dalam hal persiapan. Dulu gw pikir bakalan kangen juga sama teman2 antro gw, teman dekat gw Ando dan anak2 AIESEC (kangen dikit sih) tapi ternyata ada 16 orang luar biasa yang menjadi teman sekelompok sekaligus Housemate disini, bersyukur banget dapet teman sekelompok seperti mereka. Ada Nindo (teknik elektro), da Wan (hukum), Wiwid (hukum), Iis (ilmu politik), Neff (sosek peternakan), Dery (hukum), Randy (produksi ternak), Franko (hukum), Arih (budidaya pertanian), Eva (sastra indonesia), Putri (sastra inggris), Indah (hukum), Imel (nutrisi dan makanan ternak), Icha (sosek pertanian), Ira (ilmu sejarah), dan Irma (ilmu ekonomi). Beda orang, beda karakter tentunya tapi ini bikin kita jadi lebih semarak karena kita beragam dari berbagai disiplin ilmu.

Mang pada awalnya kami masih perhitungan dan soal kerjaan dan segala macem program yang kami rancang dengan para perangkat nagari disini, dan masih inget2 soal nilai yang akan didapat dari mata kuliah 4 (EMPAT) SKS ini, kalimat: “KKN 4 SKS lhoooo,, makanya jangan sampe dapet C” tidak pernah terdengar lagi sekarang di mulut kami. Semua orang dikelompok ini rasanya sudah dapet irama kehidupan nagari Koto tinggi jadi tidak terpikir lagi masalah 4 SKS, nilai A yang mejadi target pada awalnya tidak terpikirkan lagi dan persetan dengan berbagai macam program rasanya kita happy aja jadinya ngejalanin semuanya. Tanpa beban.

Huahahhh… (kata yang aneh untuk memulai paragraf) KKN hampir berakhir,, tinggal sembilan hari lagi sebelum tanggal 30 Agustus. Ga tau deh perasaan sekarang ini campur aduk antara pengen pulang tapi juga tidak mau sedikitpun kehilangan kenangan dengan Koto Tinggi tercinta. Ingin menikmati koto tinggi sepuas-puasnya, masih ingin ketemu anak-anak SD, masih ingin ikut ngelatih Pramuka dan Drumband, masih ingin bergunjing bareng cewek2 satu kelompok yang orangnya gila2, masih ingin “mangudok samba” ketika para cewek lagi masak sarapan di dapur, masih pengen duduk sambil ngopi ditepi tabek, masih pengen menikmati udara Koto tinggi yang dingin buanget dipagi hari,, masih ingin tetap menjadi bagian dari Koto tinggi. Huhu sedih banget KKN harus berakhir rasanya masih pengen tinggal disini lebih lama lagi.

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats