Selasa, 23 September 2008

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM SUDUT PANDANG ANTROPOLOGI HUKUM

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM SUDUT PANDANG ANTROPOLOGI HUKUM
Tujuan dari diciptakannya hukum adalah agar terciptanya suatu keadaan konformitas atau keteraturan didalam suatu masyarakat. Masyarakat masyarakatt pada layaknya seperti kiita analogikan seperti organisme hidup yang pada zaman sekarang sudah semakin kompleks dan tidak lagi dumbuk dan berkembang di dalam sistem yang terisolasi seperti dulu sehungga pengaruh asing gampang masuk dan siserap oleh masyarakat tersebut. Adalah sesuatu yang wajar bila suatu mayarakat baik yang berskala kecil dalam lingkup suku bangsa atau ethnic group ataupun masyarakat bangsa atau nation yang terdiri dari beberapa suku bangsa mengadopsi nilai-nilai asing melalui berbagai proses transmisi kebudayaan, tetapi hal ini tentunya akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan individu-individu yang menjadi elemen pendukun komunitas masyarakat tersebut termasuk dalam hal kesdaran mematuhi norma-norma yang merupakan sumber hukum tidak tertulis dalam masyarakat.

Ketika terjadi pelanggaran norma-norma di dalam masyarakat berarti hukum yang berfungsi sebagai pengendali atau kontrol sosial yang memmbuat keadan tetap damai telah langgar. Bentuk-bentuk pelanggaran tidaklah ditolerir dalam derajat yang sama karena konsepsi batas-batas pelanggaran yang dapat ditolerir bersifat relatif, berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat dan kebudayaan itu sendiri bersfat relatif. Terlihat kematangan Antropologi Hukum sebagai ilmu yang merupakan subbagian dari ilmu Antropologi karena konsep relativisme kebudayaa (cultural relativism) adalah konsep yang sangat penting didalam ilmu ini. TO. Ihromi seorang ahli Antropolgi Hukum memberi ilustrasi didalam bukunya yang berjudul Antropologi dan Hukum, seorang wanita yang sudah bersuami yang tinggal didaerah perkotaan bercengkrama atau bercanda secara berlebihan dengan laki-laki yang bukan suaminya masih dapat dimaafkan oleh suaminya. Tetapi hal yang lebih serius akan terjadi apabila si wanita dan suami adalah masyarakat Madura, hal ini adalah sesuatu yang tidak dapat dimaafkan. Si suami akan bertaeung habis-habisan dengan pria yang berurusan dengan istrinya, bahkan tidak jarang terjadi pertumpahan darah karena budaya carok (bertarung dengan ceurit untuk menyelesaikan suatu sengketa) yang ada di madura. Perbedaan persepsi mengenai keseriusan derajat pelanggaran norma terjadi karena latar belakang budaya yang berbeda.
Mekanisme penyelesaian sengketa pada masyarakat merupakan tema yang cukup diminati dalam kajian Antropologi hukum terutama pada dekade 40-an dan 50-an, pada masa itu muncul karya-karya Hoebel yang berjudul The Cheyenne Way (1941) dan The Law of Primitive Man (1954) tentang suku Cheyenne (suku Indian) di Amerika Serikat. Dan juga kajian-kajian penyelesaian sengketa pada suku Arusha (karya Gulliver), Soga (karya Fallers) dan Kaupuku di Papua nugini (karya Pospisil). Tokoh-tokoh penting dalam bidang agama dan adat (Ihromi menyebutnya sebagai tokoh informal) seringkali menjadi pihak yang sangat berpengaruh pada proses penyelesaian sengketeta pada masyarakat pedesaan atau pada suku bangsa-suku bangsa bersahaja dimana organisasi sosial politik masih sederhana, tidak ada spesifikasi yang membedakan pihak-pihak yang yang membuat undang-undang maupun penegak hukum formal. Berbeda halnnya dengan penyelesaian sengketa pada masyarakat perkotaan yang sudah kompleks akan mengajukan perkara ke Pengaadilan negri, Pengadilan tinggi dan Mahkamah agung.

Agaknya masyarakat harus membuka cakrawala lebih luas dalam melihat cara masing-masing masyarakat lokal dalam menyelesaikan sengketa sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masing masing daerah.

Tidak ada komentar:

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats