perempuan indonesia setelah era reformasi
Oleh
Prabu nusantara
Kebangkitan dan kesadaran perempuan untuk maju adalah merupakan gejala universal yang terjadi disetiap negara di dunia. Gejala ini tidak terjadi dalam waktu bersamaan, pergerakan di negara-negara Eropa terjadi lebih awal meski hal yang melatar belakangi berbeda-beda disetiap negara. Di Indonesia sendiri perjuangan perempuan adalah sesuatu yang menjadi bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa. Kenapa? Kongres perempuan Indonesia pertama diselenggarakan dua bulan setelah Kongres Pemuda. Ini menadakan bahwa jauh sebelum Kongres Perempuan diselenggarakan dorongan untuk membentuk organisasi perempuan sudah ada didalam benak perempuan Indonesia, Kongres Pemuda hanyalah merupakan stimulan bagi perempuan Indonesia saat itu untuk berorganisasi dan hasrat yang sudah lama terpendam ini kemudian diwujudkan dalam membentuk permufakatan yang bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Tujuan dari organisasi ini adalah untuk menghimpun organisasi perempuan Indonesia dan memperbaiki martabat perempuan, hal-hal yang luar biasa sukar rasanya kita percaraya bahwa pemikiran-pemikiran brilian seperti ini sudah ada dibenak peremouan indonesia pada masa itu.
Kesadaran berorganisasi pada kalangan perempuan masa itu pada akhirnya melahirkan pemikiran bahwa perempuan tidak hanya bisa berkiprah diranah domestik saja melainkan juga bisa memberikan kontribusi yang positif didalam politik. Tapi pemikiran ini juga mendapat perlawanan dari penganut paham tradisional yang berpendapat bahwa politik merupakan lahan laki-kali dan kiprah perempuan dibatasi dalam kegiatan-kegiatan sosial dan pemerintahan Soeharto mendukung hal ini. Organisasi-organisasi seperti Dharma Wanita, PKK (pembinaan kesejahteraan keluarga) dan sebagainya subur berkembang. Peranan perempuan hanya sebagai pendukung aktifitas laki-laki.
Yang menjadi corak khas perbedaan pergerakan perempuan pada masa reformasi atau setelah jatuhnya orde baru adalah terbukanya kebebasan dalam menyatakan pendapat diruang-ruang publik termasuk dimedia masa, informasi tidak dapat dibendung. Pada zaman orde baru sangat tidak mungkin untuk mengadakan seminar perempuan dengan berbagai topik yang dianggap tabu oleh pemerintah orba, pada masa reformasi berbagai isu perempuan yang ditutupi selama ini dibahas kembali diberbagai pertemuan, lokakarya, seminar ataupun workshop tentang perempuan tema-tema yang cukup mendapat perhatian adalah seputar pelanggaran HAM termasuk seperti kasus Marsinah, wanita dan perburuhan, penyiksaan terhadap TKW, masalah aborsi, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan reproduksi, orientasi seksual dan gender dan lain sebagainya.
Kebebasan bersuara dan menyatakan pendapat juga memberikan kesempatan bagi para aktivis perempuan utntuk mendirikan Komnas Perempuan sebuah badan yang lebih kuat posisinya dihadapan pemerintah sehingga berbagai permasalahan perempuan bisa diteruskan keatas melalui wadah organisasi ini, masalah kekerasan dalam rumah tangga yang menurut pemikiran tradisional adalah bukan konsumsi publik dapat diusut oleh Komnas Perempuan pada masa reformasi. Bahkan pemerintah membuat produk perundang-undangan yang melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga (undang-undang KDRT). Disamping itu berdiri Yayasan Jurnal Perempuan yang menerbitkan sebuah jurnal tentang perempuan sebagai media untuk memberitakan perkembangan isu-isu terkini tentang dunia perempuan jurnal ini juga sebagai wadah pengungkapan aspirasi wanita indonesia.
Semakin mudahnya orang mendapatkan informasi pada era globalisasi dan masyarakat juga menjadi semakin kompleks karena tidak hidup dalam sistem yang terisolasi seperti pada masa dahulu membuat perempuan-perempuan yang berorientasi seksual lesbian dan biseksual menjadi semakin openminded dan menerima keadaan dirinya. Penerimaan diri ini berawal dari prinsip bahwa orientasi seksual itu adalah hak asasi dari seorang manusia dan seseorang tidak boleh mengalami diskriminasi hanya karena orientasi seksualnya yang berbeda dengan orientasi seksual kebanyakan. Sehingga bermunculanlah organisasi-organisasi perkumpulan lesbian dan biseksual yang mewadahi mereka. Pada masa sebelum reformsi tidak ada perempuan yang non-heteroseksual yang berani mengungkapkan jatidirinya, sehingga komunikasi cuma dilakukan secara tertutup di dunia maya (internet). Pada masa sekarang bahkan beberapa tokoh lesbian dan biseksual Indonesia banyak aktif di forum internasional.
Seorang feminist yang juga pendiri Yayasan Jurnal Perempuan Gadis Arivia menyatakan protes kerasnya terhadap RUU APP (anti pornografi dan pornoaksi) dengan membuat pernyataan bahwa RUU APP sama dengan politik seks dimana pemerintah memiliki kepentingan politik dengan kekuatan legal dibalik RUU ini memberanggus dan mengendalikan kebebasan seseorang. Dimana tubuh dan seksualitas adalah dua konsep yang berada pada ranah privat atau pribadi seseorang, maka berdasarkan pemikiran yang seperti ini tidaklah etis kalau urusan seks dan tubuh juga di atur dengan UU oleh pemerintah. RUU APP ini menurut Arivia adalah produk budaya patriakis yang selama ini dianut oleh bangsa Indonesia, dimana parameter moral bangsa diukur oleh kemampuan para wanita dalam menjaga tubuh mereka. Perempuan diasosiasikan sebagai makhluk yang kotor dan penyebab terjadinya berbagai perbuatan maksiat dan tidak bermoral, konsep dan pemikiran seperti ini sudah berkembang sangat lama di Indonesia sehingga kebanyakan orang dan termasuk para perempuan sendiri menerimananya secara taken for granted. Kenapa RUU ini dikatakan oleh Arivia sebagai Politik seks? Arivia mengungkapkan sebagai berikut:
Kate Millett, seorang feminis yang menulis buku klasik Sexual Politics, mencatat bahwa paham misoginis mengambil berbagai macam bentuk seperti tabu, mitos, dan pengetahuan yang didasarkan konsep patriarkis. Perempuan dijadikan obyek (bukan subyek yang memutuskan ruang pribadi dan publiknya), diasosiasikan dengan mahluk yang berbahanya secara moral, penggoda, tidak dapat dipercaya (tukang gosip), serta mempunyai seksualitas binal. Pada saat yang sama logika dikotomik disuburkan dengan diskursus perempuan baik/perempuan binal; baik/jahat, suci/setan, kalem/"gatel" , dan seterusnya.
Banyak masyarakat yang melakukan praktek misoginis dengan menguatkan tabu dan mitos lewat pengusungan budaya tradisional, paham agama yang sempit, yang semuanya diterjemahkan dalam kepentingan politik seksual…Melalui praktek misoginis, perempuan di-reformasi, di-ciptakan ulang dengan merestriksi tubuh perempuan sesuai dengan keinginan laki-laki, pikiran dikontrol, diatur dan disuruh untuk mematuhi segala aturan masyarakat patriarkis.( Millett, 1971:51-53 dan Ussher, 1991:20-21). (makalah oleh Oleh Gadis Arivia
RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang Misogini)
Pergerakan perempuan tidak akan berhenti sampai disini, akan banyak feminis-feminis dan akitivis perempuan lainnya yang akan melanjutkan perjuangan pergerakan perempuan Indonesia setelah ini. Jika dulu pada masa sebelum kemerdekaan ada pemikiran bahwa perempuan memberikan kontribusi positif yang besar pada bangsa ini dalam merebut kemerdekaan bahkan dinyatakan bahwa pergerakan merebut kemerdekaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pergerakan perempuan maka menurut saya pergerakan perempuan pada masa sekarang adalah merupakan bagian dari mengisi kemerdekaan dan membangun bangsa.
BAHAN BACAAN
Arivia, Gadis. RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang Misogini
Aziz, Haslinda. Edukasi untuk para pejuang mudi: mahasiswi universitas indonesia. bangkit dan kepalkan jarimu!
http://www.anakui.com/2008/09/05/pergerakan-perempuan-dulu-kini-dan-nanti/
Asmara, Gusti. Kartini BUKAN Cuma Pejuang Pergerakan Perempuan ! [Ditinjau dari Nasionalisme & Islamisme]
http://gubrakz.gustiasmara.com/?p=44
Hendawati, Rayuna. Paradigma gerakan muslimah Indonesia
http://www.kammi.or.id/last/lihat.php?d=materi&do=view&id=748
ichwanarifin, perempuan, politik dan pergerakan kebangsaan
http://ichwanarifin.blogspot.com/2006/11/perempuan-politik-dan-pergerakan.htm
Suryochondro, Sukanti. Timbulnya dan perkembangan gerakan wanita di Indonesia
Jurnal perempuan, Yayasan jurnal perempuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar