Eksistensi Bisnis dan Sosial Orang Tionghoa di Kota Padang
Prabu Nusantara
Kerabat_ciwa@yahoo.co.id
Sebagaiana telah disinggung sebelumnya pada sub bab tentang sejarah terbentuknya pemukiman Tionghoa kota Padang bahwa pada dasarnya yang mendasari kedatangan orang Tionghoa nusantara adalah alasan ekonomi, kehidupan yang sulit di Tiongkok memaksa mereka mencari peruntungan di tempat-tempat baru. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari Tuako marga Lie-Kwee pada masa itu beratnya kehidupan membuat mereka nekat berlayar tanpa arah dan persiapan, diceritakan oleh sang Tuako bahwa kakek moyangnya[1] dahulu pada masa-masa awal pelayaran berkelana tanpa tujuan yang jelas. Dimana mereka terdampar maka disanalah mereka akan mencari uang, maka sebagian diantara mereka ada yang sampai di Filipina, Penang (Malaysia), Singapura dan sebagainya.
Orang Tionghoa pada masa awal terbentuknya pemukiman Tionghoa kota Padang sebenarnya bekerja pada berbagai bidang lapangan usaha dan belum menguasai dan menjadi pemain yang cukup penting dalam aktivitas perdagangan. Tapi pada masa pemerintahan Hindia Belanda sebagian besar dari orang Tionghoa sudah tampak mencolok perannya didalam kehidupan ekonomi Indonesia sebagai pedagang. Meskipun begitu terutama pada masa awal kedatangan mereka dari Tiongkok kebanyakan pekerjaan para imigran ini adalah sebagai buruh-buruh angkut pelabuhan, kuli bongkar muat barang kapal-kapal asing dan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya seberti buruh tambang di pedalaman Sumatra Barat(Erniwaty, 2007:91-92).
Tampaknya ada perbedaan peran didalam aktivitas ekonomi[2] yang dilakukan oleh orang Tionghoa pada saat sebelum kedatangan bangsa Eropa dan setelah kedatangan bangsa Eropa. Pada masa sebelum kedatangan bangsa Eropa mereka (Tionghoa) lebih berperan sebagai pialang dan pemborong yang membeli produk lokal dan menjual produk impor dari Cina, India dan Persia (Dobbin dalam Erniwaty, 2007:76). Setelah kedatangan Belanda perdagangan dimonopoli sesuai kebutuhan pasar Eropa pada saat itu. Peranan orang Tionghoa pada masa ini berubah menjadi pedagang perantara yang merupakan pedagang distribusi dan kolektif, yaitu menyebarkan barang konsumsi ringan yang diimpor dan pengumpulan hasil produksi pertanian dari rakyat untuk diekspor (Djie dalam Erniwaty, 2007:83). Kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam hal tanam paksa menjadikan kedudukan orang Tionghoa didalam ekonomi semakin mantap. Belanda mendirikan perkebunan skala tinggi untuk mengembangkan komoditi yang bernilai tinggi untuk diekspor seperti kopi, kopra, karet dan gambir, ini berarti peranan orang Tionghoa sebagai pedagang perantara semakin dibutuhkan (Erniwaty, 2007:85). Orang Tionghoa juga menjadi kaki tangan Belanda untuk masuk kepedalaman Sumatra Barat untuk menawarkan barang-barang yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh pribumi dan menukarkannya dengan komoditi ekspor yang diproduksi oleh petani (Ham, 2008:27).
Seajarah mencatat bahwa sejak awalnya kampung Cina Padang adalah merupakan kantong-kantong pusat bisnis da perdagangan awal kota Padang, bahkan pada saat itu perdagangan dan perniagaan bersifat internasional. Karena sungai batang Arau menjadi tempat persinggahan kapal-kapal asing untuk bongkar muat barang. Pasar merupakan salah satu parameter tumbuh kembang kehidupan ekonomi pada sebuah pemukiman masyarakat. Polanyi berpendapat bahwa “peragangan didalam pasar akan muncul dari usaha untuk mencari barang dari luar batas wilayahnya, adanya suatu jarak” (Damsar, 2005:79). Jika komunitas manusia tidak pernah melakukan perdagangan eksternal sama sekali, maka tidak perlu atau tidak akan pernah muncul sebuah pasar. Kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan semakin padatnya populasi Kampung Cina pada waktu maka pendirian pasar tidak dapat dielakkan.
Sebuah pasar didirikan di dekat klenteng See Hin Kiong, pasar yang diberi nama pasar Tanah Kongsi ini didirikan diatas tanah milik kapitein Lie Maa Say dan dikelola oleh seorang Tionghoa yang bernama Poa Leng. Walaupun relatif baru pasar tanah Kongsi mampu menyaingi pasar Mudik yang sebelumnya telah didirikan oleh orang Minangkabau. Kemudian sebuah firma dagang Tionghoa yang bernama Badu Ata & co mendirikan lagi sebuah pasar yang dinamakan pasar Belakang Tangsi atau juga pada waktu itu disebut dengan pasar Badu Ata. Sampai menjelang awal abad ke-20 dikawasan kampung Cina Padang ditemukan empat buah pasar yang ramai dikunjungi yaitu, pasar Mudik, pasar Tanah Kongsi, pasar Belakang Tangsi dan pasar Kampung Jawa.
Dari sejarah perkembangan komunitas orang Tionghaoa dapat dilihat bahwa mereka cenderung memiliki orientasi yang tinggi didalam bidang bisnis dan perdagangan. Biasanya kebanyakan kelompok umat beragama yang akan membangun rumah ibadah maka mereka akan mengandalkan sumbangan dari umat, namun tidak demikian pada orang Tionghoa. Dalam mengumpulkan uang yang akan digunakan untuk membangun kembali klenteng See Hin Kiong yang terbakar mereka menggunakan cara berfikir bisnis yaitu bagaimana memutar kembali modal yang sedikit ini dalam sebuah bisnis sehingga akan didapatkan untung yang lebih besar. Pasar Belakang tangsi didirikan untuk mengumpulkan uang sebagai modal membangun kembali klenteng See Hin Kiong, keuntungan yang didapat dalam jumlah yang sedikit tapi continously atau terus menerus dalam jangka panjang (Adhalia 2006:36).
Pada masa pemerintahan Orde Baru akses orang Tionghoa untuk bekrja didalam bidang politik, pemerintahan atau pendidikan sangat dibatasi. Tidak banyaknya pilihan bagi mereka membuat sektor perdagangan dan bisnis menjadi pilihan utama. Usaha perdagangan dan jasa merupakan sumber pendapatan utama orang Tionghoa di kelurahan Kampung Pondok, sebagian besar dari mereka membuka toko yang menjual berbagai komoditi mulai dari makanan mentah dan jadi, elektronik, bahan bangunan, salon, warung internet, buku, pakaian dan sebagainya baik dalam skala besar maupun skala kecil. Dalam skala kecil etiap rumah tangga rata-rata memiliki dua sumber penghasilan dan hampir semua anggota keluarga terlibat didalam pengelolan bisnis ini, misalnya seperti keluarga ibu Shinta (50 th) keluarga ini menjadikan ruangan depan rumahnya sebagai toko alat-alat listrik yang dipimpin oleh suaminya sedangkan dalam operasionalisasi sehari-hari toko ini dijalankan oleh salah seorang putranya, sedikit pojok ruangan di toko listriknya yang sempit dimanfaaatkan olehnya untuk menjual bubur ayam setiap pagi. Sementara itu anak perempuannya karena belum bisa membuka toko sendiri juga memajang pakaian dan menjual pulsa elentrk ditempat yang sama.
Menurut Geertz (Damsar, 2005:5) etos kerja merupakan “sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia etos kerja adalah aspek (kognitif) manusia yang bersifat evaluatif dan menilai yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah bekerja, berwirusaha dipandang sebagai keharusann hidup, sesuatu yang bersifat imperatif atau sesuatu yang terkait dengan identitas diri yang telah bersifat sakral? Dalam hal ini identitas diri adalah sesuatu yang yang telah digariskan oleh religi. Selanjutnya didalam melihat etos kerja orang Tionghoa selain dipengaruhi oleh nilai-nilai kepercayaan tradisional, nilai-nilai sosial dan kultural juga memberikan kontribusi kepada gaya manajerial. Selain itu dari etos kerja ini juga bisa diliat karakter kepemimpinan seseorang didalam menajalankan usaha dan bagaimana dia menjalin relasi dengan stakeholdernya
Bisnis Tionghoa biasannya adalah bercorak perusahaan keluarga atau bisa disebut dengan Chinese Family-Owned Entreprise. Orang Tionghoa adalah pengusaha yang pandai membaca dan memanfaatkan setiap situasi. Misalnya pada perkumpulan HTT, mereka menjadikan para anggota yang mempunyai bisnis sebagai mitra dari perkumpulan. Hubungan yang tercipta adalah hubungan yang fleksibel antara keluarga luas[3] yang dilandasi semangat kekeluargaan namun tetap mengedepankan etika dan profesionalitas bisnis. Bentuk partnership antara HTT dan usaha-usaha dari para anggotanya yang berupa toko pakaian, toko sepatu, minimarket,tempat penyewaan film dan sebagainya adalah pemberian diskon. Dengan menunjukkan kartu anggota setiap anggota yang berbelanja di toko-toko tersebut akan mendapatkan diskon dan berbagai promosi.
Dalam menjalankan usaha misalnya seperti toko atau kedai makanan seorang atasan atau pemilik usaha tidak akan mudah memberikan tanggung jawab kepada bawahannya, ada ketidakpercayaan akan kemampuan karyawan. Biasa juga terjadi si karyawan baru bisa mendapatkan tugas penting setelah masa kerja yang lama dan dengan proses yang tidak mudah. Walaupun begitu supervisi dan pengawasan yang ketat dilakukan oleh atasan disetiap pekerjaan bawahan. Biasanya ini terlihat pada kedai makanan khas Tionghoa, memasak adalah pekerjaan yang paling penting pada setiap kedai Tiaonghoa. Bahkan si pemilik lebih mudah mempercayakan pekerjaan yang berhubungan dengan keuangan dan kasir kepada karyawannya ketimbang pekeraan sebagai tukang masak. Karena bisnis-bisnis atau usaha yag dirintis oleh orang Tionghoa berbasis keluarga maka biasanya pekerjaan para orang tua sejak mulai merintis usaha sudah menyiapkan anak-anak mereka untuk menjadi succsessor atau penerus bisnis.
Ko Liong (52 tahun) misalnya yang sudah mewarisi usaha kedai mi yang diwariskan sejak dua generasi diatas dirinya, sejak mulai memegang kedai ini ko Liong mulai melibatkan anak laki-lakinya didalam usaha. Ko Liong menaruh harapan besar kalau usaha keluarga ini akan dilanjutkan oleh salah satu putranya suatu saat nanti. Dalam prakteknya walaupun ko Liong sudah mengurangi intensitas pekerjaan sebagai tukang masak yang sudah lebih banyak dilakukan oleh anak dan karyawannya dia tetap melakukan pengawasan dan quality control pada setiap masakan yang dihasilkan.
Sikap atasan yang tidak bisa sepenuhnya mempercayai bawahannya, adanya hirarki yang tegas antara atasan dan bawahan dan juga senioritas yang dijunjung tinggi. Sesuai dengan nilai-nilai Konghucu dalam melihat sebuah tatanan keluarga yang ideal, struktur bisnis dianalogikan oleh orang Tionghoa seperti sebuah keluarga. Bawahan atau karyawan dianggap seperti anak-anak yang harus menghormati dan mematuhi perkataan “orangtua” mereka yaitu atasan. Sedangkan “orangtua” atau atasan dilihat sebagai sosok yang harus mengawasi dan melindungi “anak-anak” mereka[4].
Semangat bisnis mereka juga dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan tradisional Tionghoa yang melihat bekerja keras dijalan yang benar dengan ulet, tekun dan kemudian membagi rejeki (berderma) adalah satu tujuan hidup didunia. Nilai-nilai kelercayaan tradisional Tionghoa menyelaraskan kehidupan spriritual dengan kehidupan duniawi, dalam hirarki alam semesta Tuhan mempunyai pembantu-pembantu berupa Dewa yang menangani urusan duniawi manusia. Salah satu Dewa yang popoler diantara pedagang dan pengusaha adalah Ho Tek Cheng Sin atau Fu De Cing Sen, dia adalah dewa bumi yang mengatur rezeki para padagang. Dia menjadi Dewa pelindung perkumpulan HTT, didalam bahasa mandarin dialek Hokian Ho Tek Tong (HTT) berarti perkumpulan yang memuliakan Dewa Bumi Ho Tek Cheng Sin. Perkumpulan ini adalah inisiatif dari para pedagang dam saudagar yang memerlukan wadah berkumpul. Karena kesamaan visi dan profesi mereka memilih Ho Tek Cheng Sing sebagai Dewa pelindung perkumpulan mereka.
Setiap tong[5] atau perkumpulan memiliki Dewa pelindung yang disesuaikan dengan kebutuhan, visi dan misi dari perkumpulan itu. Karena pada masa awal pendirian HTT tidak semua orang Tionghoa perprofesi sebagai pedagang dan saudagar maka kelompok buruh, pekerja tambang dan pekerja pelabuhan berinisiatif untuk mendirikan perkumpulan HBT atau Heng Beng Tong yang menjadikan dewa Kwan Seng Tek Kun sebagai dewa pelindung perkumpulan mereka. Kwan Seng Tek Kun pada masa hidupnya adalah seorang panglima perang yang gagah berani dan berhati mulia, ia terkenal sebagai panglima yang tidak pernah goyah sumpahnya karena harta dan kekuasaan selain itu dia juga adalah seorang yang setia terhadap saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya. Karakter sang Dewa yang sesuai dengan karakter kelompok ini membuat dia dianggap sebagai Dewa yang tepat untuk menjadi pelindung perkumpulan. Sehingga sampai sekarang Kwan Seng Tek Kun menjadi pelindung yang sangat di agungkan oleh perkumpulan ini.
Pada masa pemerintahan Orde Baru penggunaan bahasa dan aksara Mandarin dilarang maka sebagai konsekuensinya semua nama toko, surat kabar dan perkumpulan Tionghoa harus di Indonesiakan. Karakteristik masing-masing perkumpulan terlihat pada pemilihan nama berbahasa Indonesia. Ho Tek Tong memilih nama Himpunan Tjinta Teman kaarena mereka megedepankan arti pentingnya menjaga networking dan relasi dengan yang akan memperlanjar hubungan bisnis. Mereka menganggap hubungan dengan bisnis hendaknya seperti hubungan antara teman yang dilandasi oleh rasa saling percaya. Sedangkan Heng Beng Tong memilih nama Himpunan Bersatu Teguh karena menganggap bahwa persatuan dan kesetiakawanan sebagai sesama anggota perkumpulan adalah yang terpenting. Pada masa sekarang walaupun tidak semua anggtota HTT yang perprofesi sebagai pedagang dan tidak semua juga anggota HBT bekerja di pekerjaan yang mengandalkan otot karakteristik perkumpulan terlihat pada pemikiran-pemikiran anggotanya.
Literatur
Erniwati
2007 Asap hio di Ranah Minang: komunitas Tionghoa di Sumatra barat, Yogyakarta: Penerbit ombak
Danandjaja, James
2007 Folklor Tionghoa , Jakarta: Grafiti
Ham, Ong Hok
2008 Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, Depok: Komunitas Bambu
Suryadinata, Leo
1986 Dilema minoritas Tionghoa , Jakarta: Grafiti pers
[1] Separuh berkelakar informan menggunakan istilah “kakek moyang” bukan nenek moyang adalah karena itu para imugran dari Tiongkok semuanya adalah kaum laki-laki.
[2] Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam tentang aktivitas ekonomi orang Tionghoa pada zaman sebelum kemerdekaan lihat Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 1986:75-85.
[3] Sesama anggota perkumpulan dianggap satu keluarga.
[4] Irvan Nasir, Budaya Organisasi Perusahaan Tionghoa dalam http://www.jualanbuku.com/2008/04/19/budaya-organisasi-perusahaan-tionghoa/
[5] Secara etimologis berarti ruang pertemuan atau tempat berkumpul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar