Kampung Tablanusu
Antropologi tanpa kerja lapangan sama aja boong, jadi dihari ke tiga kami semua berangkat ke desa Tablanusu di distrik Deprapre, kurang lebih dua jam perjalanan dari pusat kota Jayapura. Seperti biasa walaupun desa/kampung dan distrik ini masih terletak di Kabupaten Jayapura yang merupakan Ibukota Provinsi Papua jalan kesana susah diakses, tidak ada sinyal telpo, dan bahkan jalan yang menghubungkan Tablanusu ke dunia luar baru dibuka dan belum selesai dikerjakan. Perjalanan ini serasa perjalanan Padang-Bukittinggi (padahal masih didalam kota Jayapura) hutan belantara dan jalan yang sangat rusak benar2 membuat perjalanan ini menjadi sangat "menantang" (thx to Ory [UGM] atas obrolan cerianya selama perjalanan)
Perjalanan lumayan lancar tanpa ada gangguan , ada patroli dari dinas perhubungan kalau sayatidak salah yang membuka jalan kami dengan sirine. Kampung ini benar2 sebuah kampung kecil bertipikal ekologis pantai. Pemikiman penduduk penduduk terpusat disepanjang pantai, tidak begitu banyak pemukiman yang agak jauh masuk ke arah gunung yang terletak dipedalaman. Diperkirakan ditak lebih dari seratus keluarga yang menguhi kampung ini, kantor kelengkapan kampung berupa lembaga adat dan semacam badan musyawarah desa trus ada bangunan sederhana yang ternyata sebuah posyandu. Ada SD negri yang berdekatan bahkan satu kompleks dengan sebuah bangunan gereja yang desainnya sangat sederhana (gereja kristen injili tanah papua, jemaat amos talbanusu) lalu ada sebuah makam cantik dengan yang lebih mirip dengan taman karena diatapi dan bannyak bunga2an disekitar makam.
Anehnya didesa sekecil ini yang jumlah keluarganya tidak terlalu banyak mereka sudah memakai sistem administrasi yang dari pemerintah seperti RT dan RW bahkan setiap gang ada namanya juga. Cukup well organize juga padahal secara adat kamung ini cukup ketat dengan peratudan dan sangat kuat dengan pemimpin nonformalnya (Ondoafi). Warga kampung ini ramah2 tua dan muda kalau berjumpa dengan kami para peserta sarasehan selalu menyapa dengan sapaan selamat pagi siang, atau malam.
Disambut dengan tarian Yospan digerbang desa aku terkejut dengan kondisi jalanan desa (bahkan pada awalnya aku hanya berpikir kalau ini keadaan ini hanya terdapat pada jalanan utama desa, tapi ternyata diseluruh desa) yang berbatu kerikil. Agak aneh rasanya berjalan sampai kaki kami terbenam cukum dalam ketika menginjak kerikil ini dan dibutuhkan energi yang cukup besar juga untuk berjalan didesa ini. Gejala alam yang cukup unik, mulai dari pantai sampai pada bagian yang cukup jauh kepelosok desa tidak ada tanah sama sekali, semuanya batu kerikil licin seperti batu yang berasal dari air gitu….
Pada malam harinya kami mendapat sedikit obrolan ilmiah mengenai tipkal riset ala Antropologi dari salah satu dosen Antro UNCEN (maap lupa namanya, beliau baru selesai S3 di UI) walau apa yang disampaikan si bapak mungkin hampir sudah semuanya kami dengar di kuliaj metode penelitian tapi karena yang menyampaikan adalah dosen UNCEN dan juga cara penyampaian yang ga ngebosenin maka kami memutuskan untuk melawan kantuk dan tetap bertahan, terus beliau juga sedikit share tentang riset mengenai Sperm culture di suku bangsa Marin di Merauke (mudah2an ga salah penulisannya). Wah jadi tambah semangat dan tertantang utnuk riset yang sedikit Ethnographical seperti ini dan kayanya lumayan asik juga yah (walaupun ada mungkin orang yang mempertanyakan dimana aspek terapan dari penelitian ini-- tapi pati ada dong). Waaahhh beruntung banget dapat menyaksikan upacara sakral seperti itu, walaupun orang awam mungkin berpendapat bahwa menyaksikan orang2 papua berhubungan seksual secara masal-bebas dan menampung sperma dan sekret vagina mereka setelah berhubungan bukanlah merupakan pemandangan yang tidak begitu enak dilihat.
Bekal sedikit bekal semalam kami perginakan untuk mengumpulkan data pada pagi harinya, tampaknya panitia juga (terutama seksi acara) kebingungan dan kurang prepare juga tentang konsep di sesi ini. Akhirnya kelompok kami (deni [USU] sebagai ketua kelompok) memutuskan untuk mengarahkan kepada mencari tau hubungan antara kultur masyarakat dengan potensi pariwisata yang ada di desa ini.
Penduduk asli kampung ini sudah dua kali bermigrasi dari tempat asal mereka, menurut cerita responden ku pada awalnya penduduk kampung ini bermukim di duabuah pulau yang berada di teluk yang didepan kampung yang sekarang ini, tetapi karena terjadi sebuah tsunami bereka yang selamat dari musibah ini kemudian membentuk perkampungan baru yang mereka sebut dengan kampung tua yang lumayan dekat dari kampung Tablanusu yang mereka diami sekarang, nama tua atau "kampung tua" jelas bukan terminologi lokal mereka karena kata tua adalah bahasa Indonesia atau mungkinkah ada kata tua didalam bahasa ibu mereka? Dan kenapa dinamakan kampung tua belum tergali sewaktu pengumpulan data. Mereka menjadikan kampung yang sekarang (kampung tablanusu) sebagai ladang umbi-umbian dan juga pisang sewaktu mereka masih tinggal di kampung tua sementara kebutuhan lain mereka penuhi dengan melakukan barter dengan penduduk dari kampung lain. Proses pemenuhan ekonomi dengan sistem barter ini dipererat dengan menukar pengantin antar kampung (exchange) dan pola menetap sesudah menikah adalah uxiriolokal (istri tinggal ddirumah kerabat suami), dari sini didapat sedikit prediksi bahwa mereka menganut sistem kekerabatan patrilinial. Margapun diturunkan dari pihak laki-laki. Sepuluh marga orang Tablanusu adalah somilena, danya, suwae, apasray, seronto, wambena, somisu, jufuai, seli, dan yakurimilena.
Karena keterbatasan kominikasi dengan informan berusia lanjut aku tidak cukup banyak mendapatkan gambaran mengenai kehidupan berumah tangga orang Tablanusu. Sebagaimana telah diungkapkan diatas kalau wanita setelah menikah akan tinggal dirumah kerabat suami, hubungan antara istri dan suami adalah seperti hubungan yang kaku. Dari informan wanita aku mendapatkan kesan bahwa mereka sepenuhnya menerima sebagai koodrat kalau seorang istri memang berada dibawah kekuasaan suami. Dan informan ku yang kedua seorang laki2 paruh baya (anak dari informan pertama) juga memperjelas identitasnya sebagai suami dengan berbagai hak istimewa yang ia miliki dan tidak dimiliki oleh istrimya.
Sambil berkelakar merka berdua bercerita "disini kalau istri tidak turut suami, istri dirotan"
Tampaknya adat patriaki sangat kuat melekat di kebudayaan mereka, aku sedikit bercerita tentang hubungan keluarga luas (termasuk pola menetap, warisan dan relasi suami dan istri) yang sangat matriakat karena memang Minangkabau memiliki sistem matrilinial mereka terkejut dan heran kenapa ada budaya yang sangat jauh berbeda dari kebudayaan mereka.
Karena bertambahnya jumlah penduduk dan tidak cukupnya lahan yang tersedia akhirnya penduduk yang terdiri dari 10 marga ini pindah membuka perkampungan baru yang mereka namakan dengan Tablanusu yang artinya tempat matahari terbenam (sangat indah bukan?)
Hampir seluruh penduduk Tablanusu menganut Protestan yang taat, sebuah gereja berdesain sederhana yang terdapat di sebelah SD diberinama "gereja Kristen Injili di danah Papua" sebelum menganut protestan mereka memiliki kepercayaan tradisional berupa menyembah roh nenek moyang dan juga berbagai roh gaib. Religi yang mereka anut sekarang sangat-sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kepercayaan tradisional dulu. Sekali lagi mereka sekarang adalah penganut Protestan yang taat dan selama wawancara aku mendapat kesan bahwa pengalaman masa mereka yang menyembah roh nenek moyang (atau mungkin bisa dikategorikan sebagai Polytheism) adalah sebuah masa kelam yang memalukan. Mereka risih untuk menjawab tentang kepercawaan mereka sebelum Protestan, ada nada penyangkalan dari bahasa mereka (seperti susah untuk mengakui bahwa mereka dulunya penganut paham politeisme).
"Mama masih ada tidak orang yang menyembah nenek moyang?" aku bertanya pada informan
"Kalau ada orang yang masih begitu mereka akan cepat dipanggil"
Perlu waktu lama bagiku untuk memahami frase "cepat dipanggil" yang ternyata maknanya adalah mati
Ternyata penyembahan selain Tuhan adalah merupakan perbuatan yang sangat terkutuk bagi orang Tablanusu
"yang sepeti itu (politeisme) hanya ada pada saat kami belum terang dan belum mendapat firman Tuhan" tutur informan ku
Bahkan informan lain menambahkan dengan sedikit nada takut dan juga mantap akan kepercayaan baru mereka kutipan Alkitab yang melarang manusia menyembah selain Tuhan. Menarik.
Agama protestan dibawa oleh orang Ambon (yang dikristenkan sebelumya oleh orang Jerman)sewaktu mereka mendiami kampung Tua. Hari masuknya Injil ke kampung mereka peringati setiap tahunnya dengan berpawai keliling kampung dan mengakhirinya dengan misa sebagai syukuran digereja kecil mereka. Selain ibadah rutin yang dilaksanakan setiap hari minggu juga ada sekolah minggu bagi anak-anak dan juga kebaktian keluarga. Maksud hati ingin mendapatkan informasi yang lebih lengkap dari para pastor (ada lima orang) tetapi tidak ada satupun dari mereka yang dirumah. Padahal aku dan guide cilik-ku (anak2 SD) udah dateng kerumah. Agak aneh terdengan anak2 bilang kalau Ibu pendeta sedang tidak dirumah? Seorang Ibu bisa jadi pendeta? Aku baru ingat kalau protestan mengizinkan wanita untuk menjadi rohaniawan juga. Dan karena ketiadaan sang pendeta dirumah aku bertanya kepada guide ku, "ibu pendeta bekerja dimana?" dan ternyata setelah dikasih tau oleh Kores [UNCEN] bahwa pendeta tidak punya pekerjaan sampingan. Hanya bekerja sebagai pendeta saja.
Ada sebuah makan, cantik dihalaman depan sebelah kiri gereja. Kanapa aku menganggap makam ini makam yang cantik? Karena makam ini memang jauh dari kesan seram, ada banyak tanaman bunga disekelilingnya. Karena terlindung dan diberi atap makan aku dan anak2 SD sempat ngorol santai tentang siapa pemilik makam ini. Suwae,, nama belakangnya Suwae berarti dia adalah orang asli kampung ini karena Suwae adalah nama salah satu marga dikampung ini. Menurut informasi yang aku dapat dia adalah pendiri gereja ini, mungkin dalam hal finansial almarhum cukup banyak membantu sehingga untuk menghormatinya beliau dimakamkan tepat didepan gereja ini.
Dari segi kepemimpinan kampung ini secara adat dipimpin oleh seorang Ondoafi yang menggususi urusan adat. Tetapi sepertinya kepemimpinan sang ondoafi tidak benar2 seperti kepemimpinan tradisional karena ondoafi juga mempunyai berbagai divisi yang berada dibawah naungannya (ada bagian2 yang mengurusi ekonomi, hubungan masyarakat dan bahkan seorang ondoafi memiliki wakil yang secara resmi akan menggantikannya ketika dia berhalangan untuk datang), lalu secara formal kampung ini juga dipimpin oleh seorang kepala kampung yang sama statusnya sebagai kepala desa gitu.
Yaahh walaupun data tidak begitu terkumpul lengkap karena keterbatasan waktu paling tidak aku merasakan sedikit nuansa riset (walau Cuma ini riset kecil dan sekedar latihan) yang berbeda dari daerah asalku. Lebih berasa sebagai antropolognya kalau kita terjun dan meneliti kebudayaan yang sangat berbeda dari kebudayaan kita (maklumlah selama ini seringnya Cuma sekitar sumbar ajah) dan tidak terlalu sulit juga tuh untuk dapat data (cieee sombong banget gw hehe) Cuma bermodal pinang aja bisa dekat dengan informan. Orang Papua benar2 suka pinang, makna budaya dari pinang sungguh luar biasa. Aku benar2 diterima dan dianggap bagian dari mereka ketika kami bersama2 mengunyah pinang di kedai si informan, ada kedekatan ketika kami makan pinang bersama sehingga wawancara pun jadi lancar hehe...
Mmhhh kehidupan yang sempurna rasanya di Tablanusu ini, alam indah pantainya yang luar biasa bersih dan makanan enak. Rasanya kalau tinggal disini aku akan bermalas2an saja seharian ditepi pantai...
1 komentar:
Dapatkan info FDS 2009 di http://sentanilakefestival.com
PASTIKAN ANDA HADIR ....!!!
"FESTIVAL DANAU SENTANI 2009", 19-23 Juni 2009, Kalkote, Sentani, Jayapura, Papua
SentaniLakeFestival.com
Posting Komentar