Beda Bahasa dan Budaya, Sakitnya...
SIAPA bilang orang Gayo Kabupaten Aceh Tengah bukan orang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)? Kalau bahasa dan budayanya beda dari Aceh lainnya, memang benar. Akan tetapi, Tanah Gayo Aceh Tengah sejak zaman kerajaan Aceh hingga penjajahan Belanda dikenal sebagai Kabupaten Aceh Tengah. Zeingraf, tentara dan wartawan Belanda menulis dalam bukunya Acheh menyebutkan, Gayo Central Distric of Acheh.
Selain itu, ulama besar Gayo, Tengku Ilyas Leubee, adalah sahabat karib ulama karismatik Aceh, Tengku Mohd Daud Beureueh. Beberapa lelaki Gayo pemberani berjuang bersama ulama di Aceh melawan penjajahan Belanda. Dan, Rimba Raya Kecamatan Timang Gajah adalah tempat paling berjasa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Karena dari sinilah berita-berita Indonesia telah merdeka dan kaburnya Belanda dari berbagai daerah disiarkan oleh Radio Rimba Raya. Pemancar radio Tentara Rakyat Indonesia Divisi X Gajah di Aceh Tengah berhasil diselamatkan dari pengejaran tentara Belanda.
Untuk mengingat peristiwa penting itu, Pemerintah RI membangun sebuah monumen besar Radio Rimba Raya dengan tugu yang dipuncaknya ada antena radio. Dan, Radio Rimba Raya diakui pemerintah sebagai Radio Republik Indonesia (RRI). Sebab tahun 1948, ketika itu seluruh stasiun RRI di Pulau Jawa, terutama di Jakarta, Yogya, dan Surabaya telah dihancurkan Belanda. "Untung ada Radio Rimba Raya itu," kata pakar budaya Gayo Aceh Tengah Fikar Weda menceritakan sedikit sejarah Aceh Tengah sebagai bagian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
***
CERITA di atas hanyalah ilustrasi untuk menggambarkan betapa kuatnya ikatan persaudaraan dan kedaerahan antara Tanah Gayo yang unik karena bahasa dan budayanya yang khas dan beda dengan daerah lainnya di Provinsi NAD. Perbedaan itu dikobarkan oleh sejumlah tokoh masyarakat Aceh Tengah sebagai perbedaan dengan membesar-besarkan soal kurangnya perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) NAD terhadap pembangunan Tanah Gayo. Hingga muncul rencana membentuk provinsi baru, Leuser Antara, yang sempat diseminarkan di Medan awal tahun 2002. Tapi akhirnya rencana itu buyar dengan sendirinya karena tidak mendapat dukungan penuh dari rakyat di ketiga kabupaten tersebut.
Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, bisa ditempuh melalui jalur darat Bireun-Takengon yang jaraknya 110 Km. Perjalanan ke Takengon lewat Bireun memakan waktu tiga jam karena jalannya yang berkelok-kelok dan penuh tanjakan serta penurunan tajam. Jalan yang sempit membuat kendaraan harus hati-hati benar melewatinya. Pada musim hujan, jalan ini sering ditimpa bencana longsor yang mengakibatkan hubungan terputus berhari-hari lamanya.
Penduduk Kabupaten Aceh Tengah berjumlah 252.738 jiwa, tersebar di 11 kecamatan dan 197 desa serta dua kelurahan. Mata pencaharian penduduk adalah bertani, terutama kopi arabica, sayur-mayur, buah-buahan seperti jeruk keprok, alpokat, dan markisa, serta lainnya. Luas lahan perkebunan kopi daerah pegunungan yang berhawa sejuk ini 74.500 ha, sehingga Aceh Tengah terkenal sebagai produsen "Gayo Mountain Coffee", yakni kopi arabica yang diolah oleh pabrik modern di Takengon untuk diekspor ke Amerika dan Eropa.
Luas tanaman hortikultura 31.000 ha. Aceh Tengah adalah lahan hutan pinus-yang menjadi bahan baku Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA)-terbesar di Indonesia. Luas hutan pinusnya lebih dari 52.000 hektar.
Meski lebih dari 70 persen penduduknya hidup bergantung pada perkebunan kopi arabica dan hortikultura, namun rakyat Aceh Tengah tidak tergolong petani kaya. Bahkan, jika harga kopi merosot, mereka segera jatuh miskin atau kesulitan uang untuk belanja rumah tangga. Pusat perdagangan Aceh Tengah di Takengon 80 persen dikuasai pendatang, terutama masyarakat Padang, Cina, dan "Cina Hitam" dari Kabupaten Pidie. Karena itu, sebagian besar hasil perdagangan kopi jatuh ke tangan pedagang pendatang ini. Sementara rakyat Gayo sudah puas menguasai areal perkebunan kopi saja.
***
SETELAH berstatus sebagai daerah otonomi berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat-Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Dae-rah (APBD) Kabupaten Aceh Tengah meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya yang paling tinggi Rp 250 juta menjadi Rp 232.140.372.462,06 pada tahun 2001, didukung oleh pendapatan asli daerah (PAD) 2001 sebesar Rp 4.201.413.469.
APBD Tahun 2002 ini turun menjadi Rp 217.229.510.710, terdiri dari anggaran rutin Rp 124.510.494.970 dan anggaran pembangunan Rp 92.719.015.740. Sementara PAD Tahun 2002 direncanakan Rp 5.063.894.970. Menurut Bupati Aceh Tengah Mustafa M Tamy, sasaran utama APBD adalah membenahi prasarana perhubungan dan membangun berbagai fasilitas umum.
Bahasa sehari-hari penduduk Aceh Tengah adalah bahasa Gayo Aceh Tengah. Hanya di Takengon bisa didengar warga berbicara dalam bahasa Indonesia, sedangkan orang Gayo yang bisa berbahasa Aceh bisa dihitung dengan jari. (BASRI DAHAM)
Kompas.com
Transformasi Budaya dalam Bahasa
Posted Nopember 15, 2007
Oleh Najmudin Ansorullah*
Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan, karena bahasa merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Hal ini berarti, apakah bahasa dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya?, sehingga bahasa dapat menentukan kemajuan dan “mematikan” budaya bangsa.
Kepunahan bahasa?
Banyaknya variasi penuturan bahasa daerah tertentu disebabkan terjadinya perbedaan budaya yang cukup kuat. Namun, menurut Prof. Dr. Arief Rahman dalam penelitiannya, di Kalimantan, misalnya, satu dari 50 bahasa tak lagi digunakan. Di Sumatera, dari 13 bahasa dua di antaranya kritis dan satu punah. Di Sulawesi, satu dari 110 bahasa telah lenyap, dan 36 dalam kondisi terancam. Di Tomor, Flores Bima dan Sumba, tercatat 50 bahasa masih bertahan, tapi delapan di antaranya terancam. Di Papua dan Halmahera, dari 271 bahasa daerah, 56 di antaranya hampir punah. Sementara itu, di Jawa tidak mengalami kepunahan (berbagai sumber).
Sungguh ironis, ketika daerah-daerah yang masih terpelihara dan sangat potensial dalam perkembangan kebudayaannya justru bahasa daerahnya terancam, bahkan sebagiannya punah. Mengapa menurut Prof Dr. Arif Rahman (Kompas, 22/5) di Jawa tidak? Bukankah institusi-nstitusi pendidikan, khususnya sekolah sebagai lembaga formal yang berwenang melaksanakan proses transformasi pengetahuan dan teknologi atau arus globalisasi dituduh sebagai tempat dimulainya pengikisan budaya daerah secara sistematis? Sementara itu, hampir semuanya tersedia di Jawa.
Penelitian yang dilakukan salah satu dosen STISI Bandung (maaf lupa namanya) dengan mengacu pada bahasa dalam Pantun Bogor, bahwa di Bogor Jawa Barat sekira tahun 1990-an bahasa asli daerah hampir sudah tidak bisa ditemukan. Secara geografis, Jawa Barat memiliki kedekatan dengan Jakarta yang nota bene bergaya hidup modern, karena itu “berseliweran” bahasa dan budaya antara kota dan desa.
Wajar saja, apabila laporan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa volume migrasi ke Jawa Barat mengalami peningkatan. Tahun 1980 jumlah migrasi seumur hidup di Jawa Barat sebanyak 963.372 orang. Tahun 1990-an mengalami peningkatan mencapai 2.408.626 orang. Kemudian, tahun 2000 meningkat sebanyak 3.271.882 orang (PR, 29/08/2006).
Selain itu, jika dihubungkan dengan penelitian Imelda (Inovasi, Vol. 8/XVIII, 2006) bahwa di wilayah Indonesia, hilangnya bahasa secara tiba-tiba mungkin saja terjadi karena wilayah Indonesia rawan bencana alam (tempat pertemuan tiga lempengan dunia: Eurasia, Indo-Australia, dan lempeng Pasifik). Sepanjang tahun 2000-2006, Indonesia setidaknya mengalami tujuh kali gempa bumi dahsyat (lebih dari 6,2 pada skala Richter) dan dua kali tsunami. Salah satunya termasuk dalam kategori gempa terdahsyat di dunia. Gempa dan tsunami di Aceh berkekuatan 9,3 skala Richter yang memicu tsunami dengan ketinggian 10 meter, dalam catatan Owen (National Geographic, 2005) telah memakan korban meninggal dunia mencapai jumlah 240.000 orang di Aceh dan Nias. Bencana lain ialah gempa di Yogyakarta dan gempa tsunami di Selatan Jawa. Dua bencana yang terakhir ini juga menewaskan ribuan orang.
Dari jumlah korban tersebut muncul sebuah prediksi mengenai hilangnya suatu desa dan penduduknya, terutama pada desa yang berada di sepanjang pantai yang tersapu tsunami saat gempa dan tsunami Aceh. Menurut laporan Cahanar (2005: 215) bahwa 70% penduduk kota Calang tewas dalam bencana tersebut, yang menurut data statistik Pemerintah Daerah NAD dari 86.000 jumlah penduduk yang tersisa hanya 25.800 orang di Kota Calang.
Kejadian ini juga secara otomatis “dapat” berarti hilangnya keanekaragaman bahasa di Indonesia. Hilangnya bahasa berarti hilangnya budaya bangsa yang merupakan kerugian tak terhitung nilainya.
Meski data-data di atas memiliki perbedaan pernyataan dalam melihat kondisi bahasa di Jawa, tapi hal itu dapat menunjukan sebaliknya bahwa problem bahasa di Jawa sangat kompleks dan seharusnya mudah terancam. Kiranya, pernyataan Prof. Arief Rahman (Kompas, 22/05), bahwa di Jawa tidak terjadi kepunahan atau penelitian Imelda (2006), yang menyatakan bahwa jumlah penutur bahasa-bahasa nusantara semakin ke Timur semakin sediki perlu ditinjau ulang.
Meski data-data yang disajikan kedua pakar tersebut cukup argumentatif, tapi bukan berarti data-data itu sudah dianggap final. Kemungkinan kepunahan bahasa bisa saja terjadi karena masyarakat sudah sekian lama melunturkan budayanya. Dengan melihat salah satu sisi dalam pemakaian “nama” dan gelar kepemimpinan saja dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya.
Misalkan, bahasa Sunda yang memiliki berbagai dialek dan susunan kata bahasa kerap kali dikaburkan penuturnya dengan objek atau subjek yang berbeda. Istilah “abah” sering ditujukan pada kakek. Padahal, kata “abah” adalah kata serapan dari bahasa Arab yang ditujukan untuk orang tua (bapak), yaitu “aba” atau “abun”, “ya’ba”, “abah”.
Di Tasikmalaya, misalnya, istilah “abah” ditemukan “abah sepuh” (bapak tua) dan “abah anom” (bapak muda). Sementara itu, di Banten lebih menggunakan “bapak kolot” (kakek). Kiranya, penuturan kata seperti itu dalam masyarakat jawa bukan dilihat hanya faktor usia, tapi dinisbatkan kepada orang-orang yang memang “dituakan” masyarakat, misalnya karena menjadi panutan.
Berbeda dengan kata “abu” (bukan nama seseorang) yang bersinonim dengan kata “embah”. Di Bogor, kata “abu” ditujukan untuk perempuan yang sudah tua (nenek). Penuturan seperti itu mungkin sudah menyalahi aturan bahasa, tapi itulah kenyataannya. Seperti halnya dalam panggeugeut (bhs Sunda), nama “Muhammad” menjadi “Mamat” (kadangkala Memet) yang dilihat dari maknanya akan terlihat jauh. “Muhammad” artinya “terpuji” berarti pula diambil dari nama nabi, sedangkan “Mamat” artinya “mati”. Dilihat dari akar bahasanya (bahasa Arab), sebenarnya kata “umi” dan “mamah” memiliki persamaan yang berarti “ibu”. Kata “ibu” bisa juga penyimpangan dari kata “abu”, begitu seterusnya.
Itulah fakta kerancuan bahasa yang terjadi di sekitar kita pada umumnya. Dan apabila dikatakan telah terjadi kepunahan, sesungguhnya telah lama terjadi. Pergaulan masyarakat Indonesia dengan suku-suku bangsa dan agama di dunia masa lalu telah mengakibatkan masyarakat banyak menyerap bahasa Asing ke dalam bahasa sehari-hari, termasuk untuk identitas diri. Misal, karena masuknya (para pedagang Arab) Islam abad ke-9 H/14 M, masyarakat banyak mengubah nama ke-Arab-arab-an.
Oleh karena itu, mengapa harus phobia dengan kehadiran bahasa-bahasa asing kalau memang budaya masih tetap dipertahankan? Atau apakah ada ketidakberesan dalam budaya kita?
Meski masyarakat masih banyak menggunakan bahasa daerah dalam penggunaan nama, tapi banyak yang mengkombinasikan bahasa daerah dengan bahasa asing, karena pengaruh asimilasi dan akulturasi budaya masyarakat dengan bahasa daerah lain atau bangsa asing. Penyerapan bahasa seperti itu berlanjut sampai sekarang, sehingga secara anekdot mungkin terjadi peranakan suku Sunda dan Rusia melahirkan nama Cecep Gorbachev, karena sampai kini banyak orang menyerap bahasa asing ke dalam bahasa daerah atau bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain, seperti penggunaan nama Andi dari bahasa Sulawesi diserap ke dalam bahasa Jawa.
Memang tidak ada hukum yang melarangnya, tapi persoalannya apabila bahasa yang kita pergunakan sudah tidak sesuai dengan (makna) budaya kita, sehingga akan berpengaruh dalam pensistematikaan bahasa ke dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini akan semakin parah apabila penggunaan bahasa asing itu sudah dianggap gengsi (vrivillege), modern dan sebagainya dan menganggap kuno bahasa dan budaya lokal. Hal ini, tentu memperkeruh budaya bangsa dalam berbahasa atau “budaya bahasa”. Di satu sisi, bahasa asing dianggap penting dalam pergulatan internasional (baca: arus globalisasi). Di sisi lain, penyerapan bahasa asing malah dianggap memperkeruh budaya bangsa.
Apa yang dimaksudkan di atas adalah agar penutur bahasa mampu membawa citra budaya bangsa yang baik. Lebih jauh, karakter budaya lokal harus mampu menghadirkan sosok Indonesia yang lebih bermartabat di mata internasional. “Biarkan lauk-pauknya dari luar (negeri), tapi nasinya tetap citra khas daerah (Indonesia)”. Artinya, bahasa asing boleh dipelajari di berbagai lembaga, instansi dan sebagainya dalam menjawab perubahan zaman, tapi bahasa dan budaya daerah tetap menjadi pokok yang dianut bangsa kita”.
Dengan demikian, tidak akan ada phobia tentang kepunahan bahasa daerah yang berarti pula punahnya budaya dan pada akhirnya kepunahan bangsa. Pandangan kehawatiran kepunahan bahasa kiranya masih abstrak –hanya dari beberapa sudut.
Tatkala bahasa yang indah tidak digunakan dengan baik, seperti “nama” indah dipergunakan penuturnya dengan banyak melakukan kejahatan, mungkin lebih baik nama (maaf) Bagong Suyatno yang prikemanusiaan dari pada Arif bin Bijak, tapi “kepribinatangan”.
Masalah ini sebenarnya merupakan masalah yang harus dilihat secara terintegrasi (seperti integrasi budaya-bahasa) dan menyeluruh, karena bahasa merupakan hasil proses yang amat panjang dari masyarakat.
Bahasa dan kemajuan budaya
Seandainya benar bangsa Eropa pada masa pencerahan (aufklaerung) telah melakukan “penterjemahan” besar-besaran atas karya agung orang-orang Islam di dunia Timur, Jepang mungkin negara pertama di dunia yang mampu menterjemahkan kembali bahasa Barat tanpa meninggalkan budaya dan bahasanya, sehingga dapat sejajar dengan negara-negara Barat.
Indonesia? Dari satu sudut memang mengalami mental atas penjajahan orang-orang Barat, sehingga bahasa Inggris dianggap bahasa kafir oleh kalangan pesantren. Tapi kemudian, banyak disadari justru kekuatan lokal akan mampu membawa kemajuan dan merupakan kekuatan bangsa, termasuk budaya dan bahasa masyarkat.
Konon menurut Cak Nur dalam Teologi Industri angka nol sebenarnya berasal dari Indonesia yang pada masa kerajaan Sriwijaya dibawa pelajar India, kemudian dipatenkan oleh orang-orang Arab.
Dibandingkan Jepang, Indonesia lebih banyak budaya dan bahasanya, tapi pelestarian budaya tidak serta merta dikembangkan melalui kesadaran masyarakat dalam berbahasa. Padahal, bahasa adalah cermin budaya masyarakat. Maka, wajar ketika bahasa daerah kurang dipergunakan diperkotaan atau dalam lingkup nasional, karena masyakarat seakan tidak diberi “ruang” untuk “percaya diri” dalam menuturkannya. Selama ini, penuturan bahasa masih dilatarbelakangi “primordialisme” semata dan belum disertai “ruang” untuk menuturkan bahasa dengan bebas.
“Sensor” atas pemberitaan di berbagai media juga merupakan cermin dari pengekangan akan berbahasa. Bahkan, di berbagai media masa terlihat bahasa mengikuti trend pasar. Trend itu, terlihat juga di Indonesia ketika bahasa Jepang sudah menjadi pilihan paforit para pelajar yang kursus bahasa-bahasa Asing, karena tawaran bursa kerja yang menggiurkan. Maka, tidak heran jika lembaga-lembaga kursus memberikan tarif berbeda dalam penawaran program bahasa.
Pengekangan bahasa
Secara tidak disadari pengekangan bahasa sudah semakin kuat, termasuk bias agama. Pemakaian kata “puasa” dianggap masalah, karena itu dipakai kata “shaum rhamadan” dan membenci pemakaian kata “puasa”, “anda” dengan “antum”, “saya” dengan “ana”, “saudara-saudari” dengan “ikhwan-akhwat”, “siswa” dengan “murid” dan lain-lain.
Di negara-negara Barat (baca: Amerika dan Eropa) pengekangan terhadap bahasa malah dicampuri ideologi dan agama. Nama-nama orang Muslim banyak dicurigai memiliki keterkaitan dengan klaim teroris, sehingga terjadi tindakan sweeping dan diskriminasi terhadap pendatang Muslim. Bahkan, di negara mayoritas Muslim sekalipun isu ideologi dan agama sering dikaitkan dengan bahasa. Di negara Turki, kata-kata “bernuansa” Islam seperti “khilafah” atau bahasa-bahasa agama yang dijadikan simbol seperti pelarangan memakai jilbab di parlemen dilarang keras oleh negara.
Demikian di Indonesia, pengekangan bahasa atas nama agama sering terjadi seperti karena isu sekulerisme tanpa terlebih dahulu mengerti bahasa yang sedang dipergunakan. Dengan melihat pengalaman Jepang, apakah tindakan itu dapat menghambat kemajuan?
Seiring perkembangan zaman dan otonomi daerah (Otda), bahasa nasional dan bahasa daerah akan menghadapi berbagai perubahan. Demikian itu, seluruh element masyarakat termasuk pemerintahan dituntut mampu mengembangkan budaya dan melestarikan bahasa dan budayanya itu dalam menyeimbangkan arus perubahan [] Wallahu A’lam
* Pemerhati budaya dan bahasa tinggal di Bogor
http://jurnalnajmu.wordpress.com/2007/11/15/24/
Bahasa Menunjukkan Budaya
Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya menganggap bahwa sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Contohnya saja, orang Eskimo yang memiliki berbagai istilah untuk menamai berbagai bentuk salju, atau orang Arab yang mempunyai puluhan nama untuk buah kurma mulai dari yang masih di pohon, yang baru dipetik, sampai yang telah kering.
Whorf, pencetus dari Linguistic Relativity Hypothesis
Setelah saya membaca tulisan barusan di sebuah buku karangan K.H. Shiddiq Aminullah, Drs., MBA, saya seolah tersadar. Oh, pantes, pikir saya. Pantes aja dalam bahasa Inggris kerap ditemukan teks yang menunjukkan kalau seorang anak dapat memanggil nama kecil dari kakak atau orangtuanya, seolah-olah mereka itu teman saja, bukan orangtua dan anak. Tak hanya di teks, di film-film mereka juga kerap ditemui.
Jadi begini. Sudah lama saya mengamati kalau di dalam bahasa Inggris tidak ada istilah khusus yang mengacu pada ‘kakak’ dan ‘adik’. Yang ada hanyalah istilah sibling, sister, dan brother bagi saudara kandung, kakak maupun adik, yang notabene menyatakan kesetaraan tanpa memandang usia. Untuk membuat fokus pembicaraan menjadi lebih spesifik, kadang ditambahkan kata little di depan kata brother atau sister untuk menunjukkan ‘adik bungsu’ ataupun saudara yang lebih muda. Dan sebaliknya, untuk menunjukkan ‘kakak tertua’, ditambahkan kata eldest sebagai keterangan di depan kata sister atau brother.
Mari kita bandingkan dengan bahasa Indonesia. Dalam bahasa ini, sebutan untuk saudara kandung (ataupun orang yang bukan saudara kandung tapi kita hormati) yang lebih tua mempunyai istilah khusus yaitu ‘kakak’. Untuk saudara kandung yang lebih muda ada istilah ‘adik’. Bahkan anak tertua mempunyai istilah khusus yaitu ‘sulung’. Demikian pula anak paling kecil dalam keluarga yang biasa disebut ‘bungsu’. Namun untuk anak kedua, tengah, kakak dari bungsu, tidak ada istilah khusus. Hanya ada sebutan ‘anak ke-sekian‘ (bahasa Indonesia tidak berbeda dengan bahasa Inggris dalam hal ini). Dalam bahasa Indonesia, usia serta urutan kelahiran itu penting dan tercermin dari istilah yang ada.
Bandingkan kembali dengan istilah dalam bahasa Inggris sister-brother yang hanya mengacu pada gender dari saudara kandung, tidak pada usia. Kita mengetahui bahwa orang barat sebagai ‘pemilik’ bahasa Inggris memiliki budaya yang mengutamakan kesetaraan dari setiap individu dan isu gender merupakan isu yang mendapat perhatian lebih. Bukan berarti masalah usia saudara atau orang lain tidak diperhatikan. Yang lebih ditekankan bukanlah usia, melainkan gender dan individu itu sendiri. Sedangkan di Indonesia, hormat pada yang lebih tua atau lebih tinggi posisinya merupakan isu utama dalam budaya masyarakatnya, terlepas dari apapun bentuk penerapannya di masing-masing daerah. Bukannya gender laki-laki dan perempuan tidak mendapat perhatian, hanya saja ‘posisi’ dalam struktur masyarakat atau keluarga menjadi fokus utamanya. Contoh yang paling jelas adalah cerita dari seorang teman saya. Dia orang Batak. Katanya, meskipun seseorang itu sudah menjadi jenderal bintang lima, tapi kalau dalam keluarganya dia ada di posisi sebagai keponakan, misalnya, maka dia yang mencuci piring di dapur. Begitulah di Indonesia, posisi dalam struktur hirearkis lebih penting.
Contoh dari perbandingan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah contoh yang memadai. Dengan melihat istilah yang dipakai dalam suatu bahasa kemudian kita melihat budaya penutur bahasa tersebut, ternyata kita bisa melakukan sebuah analisis budaya dari suatu penutur bahasa. Kita pun bisa mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, kepribadiannya, bahkan mungkin kesuksesan dari masyarakat tersebut di masa yang akan datang (untuk melakukan hal yang terakhir ini tentu dibutuhkan tambahan analisis psikologi). Hanya dengan melihat istilah-istilah tertentu yang digunakannya. Ini sungguh sebuah pemikiran yang menarik.
Tapi ini bukanlah hal yang baru dalam linguistik. Chomsky sudah melakukan analisis budaya berdasarkan bahasa yang digunakan suatu masyarakat. Whorf juga sudah. Dan hipotesis dari Whorf membuka lebar mata saya terhadap keadaan itu.
Kembali ke bahasa Inggris. Saya tidak tahu apakah: 1) penggunaan istilah sister-brother itu muncul duluan baru mempengaruhi cara pandang penutur bahasa Inggris atau sebaliknya, 2) cara pandang berbasis genderlah yang mempengaruhi munculnya istilah sister-brother. Hal ini sungguh menarik untuk ditelaah lebih jauh, apalagi bagi yang memang berminat pada linguistik (seperti saya, misalnya). Mungkin ketika saya mencari yang mana yang benar antara 1) dan 2), saya akan menemukannya dalam sejarah panjang dari kebudayaan penutur bahasa Inggris. Mulai dari masa ketika daratan Eropa masih didominasi oleh bahasa Latin, lalu masa penggunaan bahasa Inggris kuno di sekitar abad 15-16 masehi, hingga penyerapan banyak istilah dari bahasa asing seperti slalom, mathematics, levitate, oleh bahasa Inggris modern, yang membuatnya menjadi bahasa gado-gado. Tapi tidak apa, saya memang senang dengan sejarah, terutama yang berkaitan dengan isu budaya serta bahasanya.
BTW, ngulik-ngulik bahasa dan kaitannya dengan budaya memang mengasyikan ya? Terbersit dalam pikiran saya untuk mengambil S2 di bidang linguistik-budaya. Tapi di mana ya? Kalo ada yang punya info, kasih tau ya….
Tambahan dari Ernest Renan, penulis buku Sejarah Umum Bahasa-bahasa Semit:
Di antara yang mengherankan, bahasa Arab itu tumbuh dengan kuatnya dan sampai pada tingkatan yang sangat sempurna. Di tengah-tengah padang pasir dan bangsa yang gemar berkelana, bahasa tersebut mengungguli bahasa serumpun lainnya dalam kekayaan kosa kata, ketajaman arti, dan keindahan susunan bentuknya. Sebelumnya, bahasa ini tidak dikenal orang… [Dr. Malik Badri, Tafakur, 1996]
China Akan Dirikan Pusat Budaya Dan Bahasa Di Indonesia
Beijing ( Berita ) : Pemerintah China dalam waktu dekat akan mendirikan Pusat Budaya dan Bahasa Tiongkok di Indonesia dalam upaya lebih meningkatkan hubungan sosial dan budaya antara kedua negara.
“China sudah berkeinginan akan membangun Pusat Budaya dan Bahasa Tiongkok di Indonesia, khususnya di Jakarta,” kata Wakil Kepala Perwakilan RI di Beijing Mohamad Oemar, di Beijing, Senin [27/08].
Pemerintah Indonesia sendiri, katanya, juga akan membuka lembaga budaya dan bahasa serupa di China sehingga ada timbal balik dalam melakukan pertukaran bidang sosial dan budaya antara kedua negara.
Di sejumlah universitas di China, katanya, sebetulnya sudah ada beberapa yang memperkenalkan atau mengajarkan budaya dan Bahasa Indonesia kepada mahasiswanya, sehingga Indonesia sebetulnya sudah tidak terlalu asing di mata warga China.
Meskipun demikian, katanya, Pemerintah Indonesia juga berkeinginan mendirikan Pusat Budaya dan Bahasa Indonesia di China, sebagai langkah bentuk timbal balik keinginan Pemerintah China mendirikan pusat pendidikan serupa di Indonesia.
“Hubungan sosial dan budaya antara kedua negara memang sedang gencar-gencarnya ditingkatkan disamping hubungan ekonomi,” kata Oemar.
Salah satu bidang lain yang juga ingin ditingkatkan adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan untuk saling mengunjungi masing-masing negara, mengingat sampai saat ini masih terdapat ketidakseimbangan.
Saat ini dalam kunjungan wisatawan kedua negara, wisatawan Indonesia lebih banyak yang datang mengunjungi China ketimbang wisatawan China yang mengunjungi Indonesia.
“Oleh sebab itu masih perlu promosi lebih gencar oleh pihak terkait pariwisata di Indonesia disamping meningkatkan infrastruktur, seperti dengan frekuensi penerbangan kedua negara,” katanya. ( ant )
http://beritasore.com/2007/08/27/china-akan-dirikan-pusat-budaya-dan-bahasa-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar