Rencana untuk bersilaturahmi ke Kades Bunut Tegah kemarin tertunda karena baliau sedang tidak ada dirumah. Hari ini kami kembali kerumah pak Kades, pak Kusnadi (adik ipar pak kades) berjanji akan menyampaikan pesan kami kepada pak Kades.
Seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengan saya menyambut kami bertiga. Katanya, "bapak sedang dipantai" setetik kemudian seorang pria tua dijalan gertak depan melambai kepada kami. Pak Jafri kades Bunut Tengah lebih tua dari yang saya pikirkan, perawakannya agak pendek, badannya kurus tapi berjalan tapi perawakannya tegap untuk orang seusianya dengan jenggot putih di dagunya. Dua hari ini saya berkeliling kampung tapi belum pernah saya menemukan warga Bunut dengan berat badan berlebih, semua orang berbadan ideal bahkan atletis (berotot). Saya mengira ini dikarenakan seluruh Nanga Bunut dihubungkan dengan jalan gertak yang mengharuskan semua orang berjalan kaki kemanapun dan juga mungkin karena aktivitas bekayuh (mendayung sampan) dan berenang yang biasa mereka lakukan. Ternyata pak Jafri dari pantai untuk mengosongkan speed boatnya yang akan dijual, selang-selang dan beberapa elemen mesin yang ia bawa dari speed diletakkan di halaman. Setelah menyalami kami kami lalu buru-buru masuk kedalam rumah.
Sembari menunggu saya melihat-lihat foto-foto keluarga hitam putih yang tergantung di dinding ruang tamu pak Jafri, sebagian besar berisi foto orang-orang berpakaian khas timur tengah. Apa pak Jafri masih keturunan arab? Orang-orang yang dikatakan oleh pak Rustam sebagai pendakwah pada masa lalu. Pada awal abad ke-19 ada beberapa orang Arab yang datang dan menetap di Bunut untuk berdakwah dan mengajar agama pada masyarakat lokal, walaupun memang sejak mulanya bahkan semasa masih dalam kekuasaan kerajaan Bunut penduduk kampung Bunut sudah beragama Islam[1]. Orang-orang arab ini membaur dan menikah dengan wanita-wanita Bunut, keturunan mereka pun sampai sekarang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu. Pak Usman tidak dapat menjelaskan dengan detil mengenai waktu kedatangan mereka ke Bunut, tapi pada masa itu mereka cukup di hormati didalam masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh pengetahuan mereka yang lebih tentang agama, bukan karena perbedaan ras atau ciri-ciri fisik. Lalu pada zaman sekarang apakah keturunan mereka masih diperlakukan dengan hormat seperti generasi pertama yang datang dulu? Pak Rustam menjawab 'tidak' dia menekankan lagi bahwa masyarakat agak segan kepada orang-orang Arab ini karena pengetahuan mereka yang dalam tentang agama, mereka dianggap lebih ilmunya. Jadi kalau keturunan mereka sama saja lah dalam pergaulan sehari-hari, kalau mereka tabiatnya tidak baik tetap saja dicela masyarakat. Pak Rustam mencontohkan seseorang yang keturunan langsung orang Arab di Kampung Tengah yang suka mabuk. Biasanya orang-orang ini bisa dikenali dengan panggilan didalam keluarga contonhnya panggilan abah atau ami.
Kembali ke pak Jafri, beliau sekarang sudah berpakaian rapi lengap dengan kain sarung, pemuda yang menyambut kami pertama kali tadi juga sudah mengganti celana boxer nya dengan celana jeans panjang. Pak Jafri memperkenalkan pemuda itu sebagai anaknya, namanya Erwin. Sepertinya orangnya pemalu, kalau bicara dengan saya agak gagap dan tidak pernah menatap mata saya, selalu salah tingkah. Tidak seperti pak Jafri yang percaya diri dan tegas dalam berbicara. Kesan saya pada pak Jafri adalah dia sosok yang cerdas ini terlihat dari cara dia berbicara dan memilih kata-kata selama mengobrol dengan kami bertiga. Kata-katanya tertata dan teratur. Pada dasarnya beliau menyambut baik kedatangan kami di Kampung Bunut Tengah dan bilang walaupun masih tinggal bersama pak Wim main-main juga lah ke sini. Ketika kami sampaikan bahwa kami ada rencana untuk menginap dirumah disini dia juga tidak keberatan dan meminta kami memaklumi rumahnya yang sederhana ini.
[1] Hal ini dibuktikan dari naskah-naskah beraksara arab, peninggalan berupa al-quran dan masjdi besar Bunut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar