Kira-kira pukul 10 WIT pak kades mengantarkan kami ke desa Ujung Pandang yang letaknya berseberangan dengan desa Bunut, desa ini masih merupakan bagian kota Nanga Bunut yang terdiri dari 4 desa yaitu Bunut Hulu, Bunut Tengah, Bunut Hilir dan Unjung Pandang. Tampaknya beliau memang mengosongkan waktunya untuk perjalanan ke Ujung Pandang hari ini dan ini tidak seperti sekedar 'kegiatan menemani anak2 (kami bertiga)' saja tapi juga terlihat sekalian mengunjungi keluarga. Kami mengunjungi keluarga besar istri pak Wim yang tinggal di Unjung Pandang tepatnya di dusun Tanjung Kapuas, salah satu adik beliau punya usaha pembuatan keropok basah dan keropok kering.
Rumah bu Rusdiana (adiknya bu Kades) tepat berada di belakang masjid Ujung Pandang, hanya butuh beberapa menit menyeberang dari Buntu melintasi sungai Batang Bunut ke Ujung Pandang. Seperti sebagian besar orang-orang di Nanga Bunut satu keluarga besar tinggal berdekatan satu sama lain, pertama sampai di Ujung Pandang kami mengunjungi rumah yang kemungkinan besar milik orang tua bu Kades. Didepan rumah teronggok beberapa bubu dan pinyarak lali pak wim menjelaskan sepintas tentang cara kerja dan fungsi alat ini.
Proses pengadukan adonan dan pencetakan kropok dilakukan disatu ruangan, pengukusan dilakukan diruangan terpisah (bersebelahan dengan tempat pencetakan dan pengadukan adonan) sementara itu penggilingan ikan sudah dilakukan sebelumnya karena bu Rusdiana tidak memiliki mesin giling sendiri jadi dia harus mengupahkannya kepada orang lain. Mata saya perih karena asap tungku mengepul-ngepul memenuhi ruangan, ada kira-kira 5 sampai 7 karyawan wanita dari berbagai usia sepertinya ada yang sudah menikah dan ada juga yang masih gadis yang bertugas di bagian pengadukan adonan dan pencetakan, sementara itu yang bertugas mengukus adonan juga semuanya wanita ada 3 sampai 4 orang (usianya juga beragam). Mereka semua sangat bersemangat dengan kehadiran kami, ketika saya melontarkan satu pertanyaan kepada salah seorang diantara mereka yang lain ikutan berebut menjawab pertanyaan tersebut, ada juga yang menambahkan informasi ini dan itu tanpa saya minta. Saya mendapat kesan bahwa mereka sangat exited dengan keingintahuan saya tentang pekerjaan dan aktivitas sehari-hari mereka yang mereka anggap biasa saja. Ketika saya bertanya tentang seperti apa cetakan keropok anggur itu dengan semangat salah satu mereka menunjukkan kepada saya dan walaupun pada saat itu merekaa tidak sedang mencetak keropok anggur tapi mereka mau melakukan percobaan mencetak keropok anggur dihadapan saya. Saya tidak mengerti kenapa ada orang yang tahan bekerja pada kondisi seperti ini, ruangan yang penuh asap (terutama ditempat pengukusan keropok) memuat mata pedih dan berair. Para karyawan bu Rusdiana dalam kondisi kerja sekali ini pun sepertinya sangat menikmati pekerjaan mereka, ada yang bernyanyi-nyanyi mengikuti musik yang diputar oleh salah satu mereka dari HP.
Menjelang lebaran permintaan akan keropok kering meningkat karena kropok kering menjadi salah satu hidangan ketika Idul Fitri disetiap rumah di Nanga Bunut. Jenis keropok kering yang menjadi sajian lebaran adalah keropok anggur, keropok apel dan keropok cabe, sebenarnya ketiga jenis keropok ini adalah jenis kropok kering yang sama hanya saja dinamakan sesuai dengan bentuk cetakannya. Dinamakan keropok cabe karena di cetak seperti cabe atau demikian juga dengan keropok apel dan anggur karena memang bentuknya seperti buah-buahan tersebut. Ketiga jenis ini bentuknya menarik dan juga berwarna, agak tinggi tingkat kesulitan pembuatannya (terutama ketika mencetak) karena itu harganya agak mahal jika dibandingkan dengan keropok kering yang dicetak dalam bentuk bulat-bulat seperti biasa.
Bu Rusdiana hanya membuat keropok ketika ada pesanan, biasanya pada masa Ramadhan dan semakin dekat menjelang lebaran dia menjadi lebih banyak kebanjiran pesanan. Dengan karyawan sebanyak 10 orang yang bekerja dari jam 8 sampai 5 sore selama bu Rusdiana memproduksi keropok kering. Ikan yang menjadi bahan baku utama pembuatan keropok didapat dari membeli di danau Pontu.
Selanjutnya saya keruangan tengah, disitu sudah berkumpul sebagian besar anggota keluarga besar bu kades ada seorang bang Joe (adik laki-laki bu kades) dan sitrinya, lalu ada bapak , umak (ibu) bu kades dan beberapa orang anak kecil yang saya duga adalah para keponakan. Baru tau belakangan setelah dikenalkan oleh ibu kades bahwa seorang bapak yang saya salami ketika melihat bubu tadi adalah ayah beliau.
Bang Joe bekerja sebagai pengumpul kedua dalam rantai perdagangan ikan, dia membeli ikan dari pengumpul pertama di Siawan. Setelah para nelayan menangkap ikan di Siawan dengan menggunakan pukat atau jaring mereka kemudian menjualnya kepada pengumpul pertama di Siawan (kemungkinan disekitar danau ada semacam pasar dadakan untuk jual beli ikan sementara). Para pengumpul pertama didalam rantai perdagangan ikan ini mendapatkan persenan sebesar Rp.3000 perkilo dari bang Joe.
Selanjutnya ikan ini akan dijual ke daerah hulu, jadwal pembelian di Siawan juga tidak tentu kadang sekali seminggu atau sekali dalam dua minggu. Tergantung adanya telpon dari pengumpul di Siawan. Kadang ketika akan menjual ke hulu dalam perjalanan pulang Joe mendapat telpon dari Siawan bahwa ada pasokan ikan maka ia akan singgah terlebih dahulu di Siawan untuk menjemput. Ada tiga klasifikasi ikan meunurut beratnya yang pertama adalah BTK (saya lupa menanyakan kepanjangan dari singkatan ini) adalah ikan-ikan yang berbobot setengah kilo kebawah dibeli dari pengumpul pertama 12 ribu perkilo, yang kedua adalah BK (barang kasar) yaitu ikan yang berbobot setengah kilo keatas (16 ribu perkilo)dan yang terakhir adalah ikan kelas ekspor (diekspor ke Malaysia) yaitu ikan yang berbobot tiga kilo keatas (dibeli dari pengumpul pertama 42 ribu perkilo). Rantai perdagangan Ikan kelas ekspor ini menunu malaysia adalah dari pedagang sekelas bang Joe ikan lalu di beli oleh penampung di Jongkong disana ikan di kemas dan di bekukan, setelah itu melalui Lanjak, lalu lewat Badau ikan di bawa ke Lobok Antu, Malaysia. Biasanya bang Joe jarang membeli ikan kelas ekspor alasannya yang pertama adalah ikan berbobot sebesar ini memang tidak bisa didapatkan setiap waktu oleh para nelawan, yang kedua walaupun ikan sudah didapat biasanya masih harus diseleksi dulu karena para penampung di Malaysia tidak menerima ikan yang cacat.
"satu ja' lepas sisik ni sidak (mereka) nak mau tu"
Ada kemungkinan penampung ikan di Malaysia akan membeli ikan yang cacat tapi harganya akan sangat rendah, jadi biasanya karena alasan ini mereka tidak terlalu memprioritaskan untuk mendapatkan ikan kelas ekspor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar