Pagi ini sekitar jam 9 selesai mandi saya berencana untuk menemui ibu Raida (istri pak Sekcam) yang tinggal persis didepan rumah yang pak Wim. Berharap pak rustam juga dapat ikut didalam diskusi, ternyata beliau sudah buru-buru berangkat ke kantor lebih awal. Diskusi atau wawancara ini tidak terjadwal, walapun begitu pedoman wawancara mengenai tpik ini sudah saya persiapkan kemaren malam. Sebenarnya bukan pedoman wawancara juga sih, saya beberapa bulan lau pernah punya pengalaman dengan riset yang berhubungan dengan sistem kekerabatan dan pola pewarisan jadi kemarin saya berusaha menuliskan kembali beberapa pertanyaan yang masih teringat.
Panas pagi di Bunut rasanya beberapa kali lipat dari pada yang saya rasakan di Padang, entah perasaan saya saja atau memang demikian adanya sinar matahari disini terasa lebih terang dan menyengat. Saya lihat bu Raida menyapu halaman yang dekat pelataran rumah saja yaitu bagian yang terlindungi oleh atap, beliau langsung menyapa saya ketika saya berjalan kearah pekarangan rumahnya. Sementara itu beberapa orang penjual makanan kecil untuk berbuka sudah berkeliaran dari gang ke gang (kegiatan jual beli makanan untuk berbuka [ta’jil] dimulai pagi-pagi sekali) kebiasaan di Bunut agak berbeda dengan tempat asal saya di Padang, disini makanan kecil untuk berbuka sudah mulai dijajakan oleh ibu-ibu sejak pagi-pagi sekali. Jam 9 sudah mulai para ibu berseliweran dijalan-jalan getak kampung mendorong gerobak pasir (gerobak yang biasa dipakai tukang bangunan). sebagian ada juga yag menggunakan keranjang plastik, ada juga ibu yang mendorong gerobak tapi juga memiliki partner yang mengiringinya dengan membawa keranjang plastik dibelakang. ada juga lewat beberapa orang bapak dengan perlengkapan panjing lengkap plus parang yang tergantung di pinggang mereka dan beberapa orang lain yang seprtinya baru selesai mandi dari tepi pantai sungai kapuas. Semuanya memakai topi yang terbuat dari daun pandan hutan yang disebut tanggui.
Ibu Raida seorang guru SD kira-kira berumur 40-an awal tinggal berdua saja dengan suaminya pak rustam dirumah mereka di dusun Kuala Bunut. Dua orang anak gadis mereka kuliah di pontianak dan hanya balik ke bunut pada saat liburan semester. Melihat sikap bu Raida yang membalas obrolan pembuka basa basi saya dengan bersahabat saya langsung mengutarakan maksud saya yaitu ingin berbincang-bincang tentang sistem kekerabatan orang bunut. Beliau mempersilahkan saya duduk diteras rumah.
Beberapa hal yang yang menjadi perhatian saya adalah ada beberapa perubahan dalam keluarga, seperti pola menetap setelah menikah yang sekarang cenderung neolokal. Pola menetap seperti ini sudah dimulai sejak generasi bu Raida dan pak Rustam akibatnya pola pemukiman kampung semakin mendesak kearah darat (kearah selaran desa). Beliau bercerita bahwa dulu bagian ini sangat sepi dari rumah penduduk karena pemukiman terpusat ke arah pantai. Saya teringat dengan beberapa rumah tua berasitektur khas Melayu Bunut yang besar dengan ruang lepas yang lapang dan banyak kamar-kamar didalamnya. Saya duga salah satu alasan dibuatnya rumah dengan gaya seperti ini adalah agar dapat menampung keluarga luas didalamnya [OC]. Kata bu Raida dulu orang kampung setelah menikah tinggal dirumah kerabat suami biasanya, walaupun sekarang sudah neolokal dan tinggal bersama keluarga batih pemukiman mereka berdekatan satu sama lain. “jadi adik beradik mereka rumahnya berdekatan” kemudian bu Raida menunjukk satu persatu rumah-rumah disekitar rumahnya sambil menjelaskan hubungan si kepala rumah tangga dengan suaminya.
Ps: bagan dan tebel panggilan kekerabatan menyusul, saya lagi cari cara buat posting grafik nih hha..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar