Sabtu, 30 Mei 2009

Maen ke Vihara Part II

Minggu 24 Mei 2009

Terkejut saat memasuki pelataran parkir vihara, penuh sesak dengan mobil dan motor umat yang sedang beribadah. Ditambah sempit lagi dengan pertamhanya fungsi pelataran perkir vihara ini sebagai tempat berdagang dadakan yang menjajakan makanan (nasi lengkap dengan lauk pauk) dan juga sate. Agaknya dagangan ini hanya digelar setiap minggu diwaktu vihara penuh sesak dengan umat yang beribadah dan anak TK dan SD yang sedang bersekolah minggu.

Lengkap dengan bangku2 dan meja2 bundar, banyak keluarga yang menikmati sarapan mereka setelah beribadah di warung makan dadakan ini. Aku bertanya kepada beberapa orang yang sedang duduk diruangan lantai satu tentang Romo. Ternyata ada diatas diruangannya, tapi ga punya banyak waktu karena ada rapat jam 11. Jadinya aku hanya punya waktu kira2 setengah jam saja dengan romo. Vihara ini benar2 menjadi pusat kegiatan umat dihari minggu karena tidak hanya ibadah yang dilakukan, setiap umat bisa saling berbicara satu sama lain. Satu leluarga dan tetangga bisa lebih dekat karena mereka dapat duduk satu meja ketika sarapan di warung depan vihara. Lalu anak2 tk maupun sd dapat bermain halaman vihara yang sempit (walaupun begitu tetap ditumpukka dua buah ayunan yang tidak pernah kosong diduduki oleh anak2) dipenuhi anak2 yang berlarian kessana kemari, karena space yang tidak begitu cukup untuk bermain mereka kadang menjengkelkan para orang tua karena berlarian di sepanjang koridor, tangga, dan bahkan ruangan doa.

Ternyata vihara ini lebih besar dari pada yang aku duga, yakin bakalan nyasar ke ruangan romo kalo tidak diantar. Pertama masuk ruangan ini aku disambut dengan semerbak aroma hio, tapi aromanya lembut tak begitu menyengat seperti diklenteng diruangan sembahyang lain mungkin karena ruangan ini berAC. Kesan pertama yang aku tangkap dari Romo adalah orangnya bijaksana dan ramah ternyata memang begitu (setelah ngobrol). Berbaju kemeja, celana berbahan seperti celana kantoran, trus rambut licin (mungkin karena kebanyakan dikasi minyak rambut) disisir rata sekali (lurus benget, jadi curiga jangan2 romo pake penggaris buat menata rambut).

Keluar dari ruangan romo aku liat semuah altar yang berisi foto Ganesha dengan perbagai versi. Berbagai foto dalam ukuran kecil itu dibingkai diletakkan diatas altar yang diapit oleh patung yang tidak mirip dengan patung2 singa seperti yang banyak aku jumpai di gedung2 suci di china town ini (tidak mirip dengan gaya patung2 singa yang kental dengan nuansa keBudhaan Cina). Aneh banget padahal Ganesha adalah dewa Hindu (bukan Budha!!), tapi kelihatannya altar Gansha ini sudah lama tidak di sembahyangi. Terletak diantara tumpukan2 barang, sudah agak berdebu dan tidak ada sisa2 perlengkapan sembahyang seperti sesajian yang terdapat diatas latar ini [cari tau soal altar ini]. Dua kelas, sebenarnya tidak bisa disebut sebagai kelas sih karena kelas ini adalah ruangan lepas yang dibagi dua dengan pembatas triplek yang ketika aku memasuki ruangan romo sedang digunakan untuk belajar agama dan sekarang sudah kosong. Tiga orang cewek yang kira2 seumuran aku, mereka memakai baju seragam berwarna kuning, sedang berbenah merapikan ruangan aku tanyai soal jadwal sekolah minggu anak2 dan agak ragu2 mereka menjawabnya. Dan belakangan aku tau ternyata mereka adalah pengajar untuk anak2 tingkat TK dan Play group (pantersan aja mereka ga ngerti). Sepertinya mereka bukanlah seorang guru agama profesional tapi semacam sukarelawan yang diperbantukan untuk mengajar dan membimbing anak2 kecil untuk belajar agama Budha.

Aha… jadwal lengkap belajar agama untuk anak dari tingkat play group sampai SMA ternyata sudah ada tertempel rapi di dinding, baguslah aku tidak usah bertanya2 lagi. Lalu diruangan lain [cari tau nama setiap ruangan ibadah di vihara ini] sedang berlangsung semacam ujian menghafal doa. Beruntung sekali waktu aku mengunjungi rumah abu ketika itu sedang dipersiapkan upacara peringantan satu tahun kematian seseorang yang abunya dititipkan dirumah itu. Ketika memasuki ruangan itu tampak dua orang wanita yang bersembahyang untuk kerabat mereka yang dititipkan disana, mereka wanita muda yang cukup modis dengan pakaian berupa kaos ketat dan celana jeans yang juga super ketat. Mendapat kesan kalau orang muda berdoa mereka terkesan tidak niat dan hanya sekedar melakukan kewajiban saja. Didalam ruangan terdapat dua buah altar, satu yang yang tertinggi yang menyatu dengan dinding mempunyai atap dan bernentuk seperti miniatur rumah terdapat arca Budha dan beberapa dewa. Dibawahnya terdapat altar yang lebih rendah yaitu altar tempat hio lo dan juga ada satu arca dewa diatasnya.

Dan kemungkinan karena hari ini akan dilaksanakan upacara doa untuk memperingati satu tahun wafat orang yang diperabukan disini maka ruangan abu leluhur ini ditambah satu altar lagi yaitu altar untk meletakkan sesajian bagi siarwah berupa berbagai makanan vegetarian (ciak cay), bunga dan segala macamnya. Tampaknya ada seorang petugas khusus yang disiapkan oleh vihara untuk melayani umat yang akan berziarah atau berdoa untuk kerabat mereka diruangan ini. Hari ini seorang ibu membantu menyusun posisi makanan diatas altar persembahan, membantu menata potret almarumah yang akan didoakan, menyusun alas duduk bagi orang yang akan berdoa dan segala macamnya. Anak laki-laki tertua dari almarhumah menurunkan potret untuk diletakkan diatas altar sesajian, seperti biasanya setiap menyentuh benda2 yang dianggap suci seseorang memberikan hormat dahulu sebelum menyentuh benda itu (dalam hal ini peotret si almarhumah).

Sepertinya masih ada satu sarat sesajian buat upacara lagi yang kurang lengkap makanya beberapa orang keluarga tampak sedikit panik. Tak mau menunda2 akhirnya aku memutuskan untuk minta izin kesalah satu kerabat untuk diperbolehkan mengikuti upacara ini. Jawaban yang aku terima dalam nada datar dan agak terkejut seperti berfikir dalam hati: apaan sih ini, orang lagi sibuk ngurus ini itu ni anak malah pengen ikutan lagi. Dasar ga jelas, dan kayanya si ibu yang aku mintain izin setengah ga percaya didalam hati berkata: masa sih ni anak mau ikutan upacara juga?? Tapi toh aku ikut juga kegiatan mereka. terdengar percakaapan tentang aturan main penyusunan sajian dan tentang makanan seperti apa yang akan dijadikan sesajian. Ibu petugas ruangan abu leluhur ini memberi penjelasan kepada salah seorang keluarga bahwa memang yang menjadi sesajian haruslah makanan ciak cay alias makanan vegetarian. Seorang wanita tua, oma2 gitu masuk ke ruangan dengan tertatih-tatih. Duh kaki ni oma udah susah banget jalan, kayanya karena rematik, mungkin karena bakti ke orang tua makanya dipaksain juga buat dateng ke Vihara.

Upacara molor sampai setengah jam karena menunggu pemimpin upacara yang sedang mengadakan kebaktian diruangan atas, jadi aku menyempatkan ngobrol dengan seorang oma kerabat almarhum yang ternyata adalah anak perempuan dari si almarhumah. Wah ternyata memang kebanyakan orang Tonghoa selalu mengecoh aku dari wajah mereka, rasanya tadi si oma kok terkesan jutek dan sangat tidak bersahabat ternyata ramah dan enak banget diajak ngobrol. Pada dasarnya cara pemakaman diserahkan pada kesepakatan keluarga dan juga keinginan si orang mati, akan diapakankan jenazah mereka. Jadi orang Tonghoa pada masa sekarang ini lebih banyak memilih metode kremasi sebagai perlakuan pada zenazah, penguburan menjadi tidak begitu popler karena alasan ekonomi dan kepraktisan. Sehabis dikremasipun abu boleh di tabur di lautan atau di simpan disumah atau dirumah abu. Nah oma ini lebih memilih abunya ditaburkan di laut kalau dia meninggal nanti katanya, katanya supaya lebih merasa bebas dialam sana.

Lagi asik2 ngobrol tiba diba masuk tiga orang ibu pandita berjubah kuning cerah menyenandungkan kata2 “namo ami to fo” berulangkali sambil mengetuk2 lonceng. Semua orang berdiri, ibu petugas yang tadi kerjaanya menata meja sesajian kemudian membagi2 kan buku Budha sutra, buku doa2 untuk arwah dan keluarga yang ditinggalkan dan mengeluarkan sebuah alat musik pukul yang terbuat dari kayu (ketuknya bunder gitu, tapi ada rongga di bagian dalam nya jadi bunyinya kira2 seperti bunyi orang jualan pangsit gitu). Jadi ternyata tiga tas olah raga bersar yang biasa dipake orang buat olah raga itu berisi perlengkapan doa seperti berbagai alat musik, buku-buku doa dan sebagainya. Jadi kalau ada panggilan untuk memimpin doa disuatu tempat sang Pandita tinggal bawa tas yang udah lengkap isinya.

Sebenarnya ada empat orang yang rohaniawan yang mendapingi upacara ini dan keempatnya adalah wanita, tapi ada salah seorang diantara mereka yang tidak mengenakan jubah kuning tapi ikutan memegang alat musik pengiring doa jadi aku tidak begitu tahu apakah beliau juga bertugas dalam mendamping umat dalam upacara ini. Jadi keempat orang ini (termasuk yang tidak megenakan jubah) meimpin doa dalam bahasa Tiongkok dan kelimanya berdoa sambil memegang alat musik. Si oma yang baik hati tadi memastikan aku medapat satu buku Budha Sutra ketika buku itu dibagi2kan kepada keluarga atau umat yang hadir. Sementara itu tiga diantara anggota keluarga berdiri didepan altar sesajian sambil memegang hio dan buku Budha sutra. Disela2 membaca doa adakalanya ketiga anggota keluarga ini membungkin didepan altar. Tapi sepertinya mereka bertiga tidak begitu mengerti kapan waktunya meerka membungkuk memberkan penghormatan, karena ibu petugas ruangan memberikan instruksi mereka untuk membungkuk ketika tiba waktunya mereka untuk membungkuk.

Sebelum dimulai upacara tadi aku dapat kenalan seorang ibu lainnya yang juga kut dalam upacara peringatan satu tahun kematian ini, dia tanya aku apakah aku anggota keluarga atau tidak. Mungkin aneh bagi dia karena aku ga ada tampang Tonghoa tetapi ikut mendoakan. Aku sih jujur aja bilang kalo aku mahasiswa yang sedang mngerjakan tugas, karena kayanya strategi ini yang paling efekif. Benar saja si ibu jadi seakan punya kewajiban untuk memberikan bimbingan pada aku selama doa ini, selalu memastikan bahwa aku tidak keketinggalan mengikuti setiap kata yang dibaca di buku Budha sutra, setiap kali aku celingak celinguk liat kesebelah karena ketinggalan bacaan si ibu dengan bersemangat memberi petunjuk bacaan yang benar. Padahal kan aku ga benar2 membaca doa itu. Namanya juga observasi jadi ya… melihat bagaimana wajah dan emosi orang2 yang membaca doa dari raut wajah mereka juga penting (karena termasik dalam variabel data yang akan dikumpulkan hehe…). Ada yang khusuk sekali ada juga yang membaca dengan tidak begitu serius. Ada yang sudah hafal diluar kepala tapi lebih banyak yang membaca contekan di buku Budha sutra mereka masing2.

Bacaan ini ditutup dengan bersujud tiga kali ke Budha, lalu berlanjut ke meditasi yang diiringi oleh semacam renungan hakikat tubuh manusia tentang rapuhnya tubuh manusia ini, tentang bagaimana tubuh ini begitu kotor dan tidak ada apa2nya. Karena tubuh ini hanya akan menjadi bangkai yang menjadi santapan hewan ketika mati nantinya. Pokoknya kata-katanya bikin kita instrospeksi deh kalau kita manusia hanyalah seonggok daging dan tulang, makhluk yang lemah. Ditengah-tengah meditas ini ada umat yang memutuskan tidak lemanjutkan maka diapun memberikan sujud dan penghormatan kearah Budha lalu keluar ruangan (jadi ternyata bagian ini tidak terlalu mengikat umat untuk ikut). Lalu ada doa dalam bahasa Indonesia agar arwah selamat dan diterima disisi Tuhan.

Upacara selesai dan aku segera cegat ibu2 pandita, sebelum mereka keburu kabur ketempat lain. Ngobrol sedikit (percakapan persahabatan kalo menurut Spradley) tapi sedikit memasukkan unsur pertanyaan etnografis didalamnya. Jadi upacara ini pada dasarnya tujuannya adalah untuk mendoakan arwah agar tenang di alamnya dan agar keluarga diberi ketenangan dan kesabaran. Makanan yang jadi sesajian dan persembahan dalam upacara ini adalah makanan vegetarian yang tidak mengandung daging, keluarga yang membawa dari rumah atau boleh kalau keluarga tidak sempat atau tidak mau repot juga bisa minta tolong pada vihara untuk memasakkan makanan karena sepertinya vihara punya layanan khusus dalam membantu umat untuk urusan ini.

Lantas makanan ini setelah upacara akan diapakan?? Aku tidak mendapat jawaban yang begitu jelas untuk pertannyaan ini. Karena makanan ini sepertinya dimasak dengan kaidah memasak yang benar, maksudnya benar-benar dimasak seperi memasak makanan untuk dimakan sehari-hari. Lagian mereka terlihat begitu menggoda dan wangi (Mmhhm they looks yummy). Jadi seharusnya makanan yang menjadi persembahan bagi arwah tetap dimasak dan diberi perlakuan seperti makanan manusia. Jadinya seperti kata ibu pandita makanan ini nantinya akan dimakan lagi oleh siapa yang mau (khususnya bagi keluarga yang kaya makanan tidak akan dibawa ulang lagi). Nah masalahnya siapa yang akan memakan makanan-makannan ini, siapa yang mau memakan?? Apakah umat yang kebetulan hadir di vihara ataukah para rohaniawan yang ada divihara? Apakah makanan akan diberikan kepada pengurus viahara sebagai bentuk derma oleh keluarga yang punya hajatan? Seperti apa persepsi orang-orang terhadap makanan-makanan ini apakah ada perasaan malu atau tidak enak diantara orang Tionghoa kalau mereka memakan makanan sisa sesajian sembahyang (walaupun makanan ini sebenarnya bukan makanan yang benar-benar sisa karena sama sekali tidak disentuhkan karena hanya ditaruh diatas altar saja selama sembahyang). [nanti telusuri lebih dalam lagi soal makanan persembahan dalam sembahyang ini]

Ada sebuah kertas kuning bertuliskan aksara Cina yang dibakar di hio lo yang terletak di altar luar ruangan abu leluhur ternyata adalah nama dari si almarhumah yang didoakan. Kelihatan ibu Pandita agak menekankan kalau ini bukannya percaya tahayul tapi dilakukan agar kita tidak lupa akan si almarhum dikemudian hari. Kenapa begitu khawatir kalau yang dilakukan ini bukanlah sebuah tahayul?? Mungkin karena bagian ritual yang ini tidak merupakan bagian dari ajaran Budha yang yang sebenarnya (bercampur dengan tradisi Tionghoa) [baru pendapat pribadi sih, jadi perlu ditelusuri lebih dalam]. Lalu juga ada kim cua (kertas mas) dan kertas perak yang telah dilipat yang ditaruh didalam bungkusan kantong plastik. Setelah konfirm ke pandita menurut beliau bagian ritual yang memberkati kim cua dan membakarnya adalah lebih kepada tradisi orang Tionghoa karena dalam ajaran agama Budha tidak ada yang seperti itu. Pantas tidak ditemukan tempat pembakaran kim cua dihalaman vihara seperti yang ada di halaman klenteng.

Lalu setelah ngobrol bareng bu Pandita aku dikasi bakpau dan air mineral sama si ibu yang agak jutek tadi (ga jelas juga apa bakpaunya adalah bakpau yang diatas altar atau sisa bakpau yang berlebih yang tidak jadi ditaruh diatas altar). Duh baik juga ternyata si ibu, dan agak ragu-ragu memberi tau aku kalau bakpaunya ga pake bak (babi) kok. *dalam hati: duh buk saya omnivora kok jadi jangan khawatir saya bisa makan apa aja*. Dan ternyata bakpaunya ueenak banget, rotinya lembut dan isiannya sayur-sayuran yang gurih dan agak manis…mmhhmm Yummy..


---à besok kalo ke vihara lagi minggu besok ada upacara seperti ini lagi ga ya??biar kebagian bakpau lagi maksudnya huehehe…

Tidak ada komentar:

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats