Rabu, 20 Mei 2009

Tugas Kuliah SSBI

Tugas Kuliah SSBI


MENJADI TIONGHOA SEKALIGUS MENJADI INDONESIA

“Perjalanan panjang usaha integrasi etnis Tionghoa untuk menjadi seorang Indonesia”


Kita semua sedang dalam proses perubahan, bersentuhan dengan kebudayaan dan kebiasaan yang berlainan dengan kebudayaan dan kebiasaan yang kita punya. Hampir tidak ada kebudayaan yang tidak tersentuh atau dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sama benarnya jika kita mengatakan bahwa hampir tidak ada masyarakat yang hidup dalam keadaan terisolasi. Semua kebudayaan pada tingkat peradaban apapun sedang dalam pergerakan.


Bumi nusantara ini sudah sejak lama menjadi seperti magnet bagi “bangsa-bangsa asing”, letak geografis yang strategis dan kekayaan alam yang melimpah manjadi salah satu alasan bagi mereka si pemilik kebudayaan asing untuk datang ke nusantara. Mereka datang untuk sekedar berkunjung, berdagang, menjalin diplomasi ada yang tinggal untuk waktu sementara namun ada juga yang menetap dan kawin mawin dengan orang lokal.


Persentuhan bangsa Tionghoa atau orang Cina yang berasal dari negeri Tiongkok terjadi sudah semenjak lama. Sumber tertulis pertama yang menyatakan persentuhan atau interaksi orang cina dengan penduduk nusantara adalah catatan cina tentang terdamparnya seorang pendeta Budha bernama Fa Hsien (Fa Hian atau Fa Xian) disebuah pulau yang bernama Ya Wa Di, nama ini diperkirakan adalah dari bunyi bagaimana orang Cina mengucapkan Jawadwipa (bahasa Sangsekerta) untuk menyebut Jaya (Margianto 2008). Namun peninggalan-peninggalan zaman prasejarah seperti tembikar dan berbagai macam senjata yang memiliki kesamaan dengan tembikar dan senjata dengan Cina membuktikan bahwa interaksi itu sudah terjadi jauh sebelumnya.


Pemukiman orang Tionghoa baru muncul setelah terjadi pemantapan hubungan dagang antara saudagar Tionghoa dengan eksportir hasil buminusantara. Karena pada masa itu sistem pelayaran masih bergantung pada arah dan kekuatan angin, maka sembari menunggu waktu yang tepat untuk berlayar kembali kenegri mereka orang-orang Tionghoa membuat pemukiman sementara didaerah-daerah pesisir nusantara. Mungkin dikarenakan hubungan dagang yang semakin intens antara orang-orang Tionghoa dengan suku-suku nusantara pemukiman yang tadinya bersifat sementara menjadi semakin kuat kedudukannya. Pemukiman ini kemudian dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana pendukung kehidupan sosial masyarakat Tionghoa (seperti klenteng dan rumah-rumah perkumpulan marga atau she).


Peraturan kerajaan Tiongkok menyatakan bahwa kaum perempuan tidak diizinkan keluar negri maka kaum laki-laki menjadikan para wanita pribumi sebagai pasangan mereka[1]. Dari perkawinan ini lahirlah generasi-generasi campuran yang kemudian disebut dengan berbagai sebutan yang berbeda diseluruh Indonesia. Babah, nyonya, cina peranakan, orang peranakan dan semacamnya merupakan konsep-konsep yang mengacu pada orang-orang berdarah campuran Tionghoa Indonesia. Kaum peranakan ini kawin dengan sesama mereka, dengan Tionghoa-tionghoa baru yang datang belakangan dari Cina atau dengan penduduk pribumi. Asimilasi yang terjadi begitu halus dan wajar, benturan-benturan budaya dialami oleh Tionghoa dan pribumi tapi bukanlah sebagai sesuatu yang menghambat integrasi orang tionghoa sebagai usaha untuk menjadi bagian dari penduduk nusantara.


Kaum peranakan menciptakan sebuah corak budaya baru yang unik yang berbeda tapi memiliki masing-masing sedikit dari karakter dari budaya Tiongkok dan nusantara. Budaya hibrida memperkaya corak budaya bangsa ini bahkan tidak bisa dikatakan sekedar memperkaya corak budaya bangsa saja. Tapi berbagai kontribusi disumbangkan oleh kaum peranakan, dalam hal pakaian orang madura telah mengadopsi syle pakaian mereka dari baju ala Tionghoa (baju khas kanton). Pengetahuan menjahit tidak dimiliki oleh penduduk nusantara sampai pada abad ke-15 dan 16, bangsa orang Tionghoa memperkenalkan jarum dan benang kepada mereka. Penduduk nusantara juga belajar cara mengolah lahan pertanian dari orang Tionghoa, sehingga hasil yang mereka dapatkan berlipat ganda. Dalam hal makanan banyak bahan makanan yang sebelumnya tidak dikenal dinusantara yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa seperti kacang hijau dan tauge, tahu, taoci, mie. Belum lagi dalam hal kesenian, arsitektur dan sebagainya (Margianto, 2008).


Prinsip adu domba sudah mulai diterapkan oleh Belanda tanpa disadari oleh penduduk Indonesia prakemerdekaan, orang Tonghoa hanya dibolehkan bermukim didaerah-daerah yang sudah ditentukan inilah yang menjadi cikal bakal berbagai kampung cina yang tersebar diseluruh Indonesia (Danandjaja, 2007), bahkan untuk mempermudah koordinasi demi kepentingan pemerintah kolonial dipilihlah beberapa orang sebagai kapitein cina yang bertugas sebagai pemimpin sebuah komunitas Tionghoa dikota-kota besar. Belanda mengklasifikasi strukstur masyarakat Indonesia dalam bentuk golongan-golongan yang terstratifikasi. Walaupun secara dalam stratifikasi yang dibuat oleh Belanda kedudukan masyarakat Tionghoa berada setingkat diatas pribumu tapi hidup mereka sama menderitanya dengan pribumi karena berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kolonial sangat memberratkan, termasuk dalam penjualan hasil bumi mereka. belanda sengaja menciptakan iklim bermasyarakat yang timpang guna memecahbelah persatuan dan mencegah timbulnya kesadaran perstuan penduduk Indonesia (baik Tionghoa maupun pribumi).


Pada masa pergerakan kemerdekaan tidak sedikit sumbangsih yang diberikan masyarakat Tionghoa demi terwujudnya kemerdekaan, tiga orang anggota BPUPKI merupakan orang Tionghoa. salah seorang diantara mereka sangat disayangkan meninggal di pertiwi Indonesia dalam keadaan stateless (tidak memiliki kewaganegaraan). Pada awal kemerdekaan beberapa posisi parlemen dan mentri dikabinet orla diduduki oleh orang Tionghoa. Permasalahan baru muncul ketika perdana mentri RRC pada masa itu mengklaim semjua orang keturunan Cina atau yang berdarah Cina yang berada diluar negri merupakan warga negara RRC karena mereka menganut azas ius sanguinis. Permasaahan ini diselesaikan pemerintah RI dengan membuat perjanjian bilateral dengan RRC yang berisi tentang status dwikewarganegaraan bagi WNI keturunan Cina (orang-orang Tionghoa) sampai batas tertentu dan setelah itu mereka diberikan kesempatan untuk memilih kewarganegaraan mereka. Hal ini membuat orang-orang mempertanyakan loyalitas mereka kepada negara Indonesia.


Konflik dengan PKI yang terjadi di Indonesia merembet kepada sentimen anti Cina atau Tionghoa, mereka menjadi amuk kekesalan masa yang karena orang-orang Tionghoa dianggap dekat dengan PKI atau terlibat dengan PKI. Semenjak itu orang Tionghoa tidak diperkenankan bekerja dipemerintahan, satu-satunya akses mereka dalam mencari makan adalah dibidang perdagangan. Berdagang, membuka toko merupakan profesi utama orang Tionghoa. Ironisnya masyarakat Indonesia mencap mereka sebagai golongan yang tamak, opurtunis, binatang ekonomi, eksklusif dan segalamacam. Padahal ini dikarenakan pemerintah ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya tidak memberi kesempatan kepada mereka, orang-orang sudah teracuni oleh pemikira-pemikiran dan stereotip negatif tentang mereka.


Kesalahan besar yang dibuat oleh pemerintah orba megenai asimilasi, suatu usaha pembauran orang Tionghoa secara budaya agar mereka dapat dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia (walaupun secara hukum mereka adalah WNI). Karena konsep Indonesia berarti pribumi sedangkan pribumi diartikan sebagai sukubangsa asli yang mendiami tanah ini. Jadi pada waktu itu etnis Tionghoa tidak dianggap sebagai Indoenesia atau belum cukup Indonesia. Pembauran yang dipaksakan dan tidak semestinya ini sangat merusak struktur masyarakat dan eksistensi kebudayaan Tionghoa, semua bentuk kebudayaan Tionghoa tidak boleh ditampilkan, mereka dilarang merayakan hari-hari besar, dilarang menggunakan aksara mandarin, diarang bercakap-cakap dengan bahasa Tionghoa, dilarang beragama Konghuchu atau Tao (kedua agama ini hanya diakui sebagai aliran kepercayaan) akibatnya beramai-ramai mereka bertukar keyakinan tanpa sepenuh hati mengimani keyakinan baru mereka, dan yang paling tidak masuk akal adalah peraturan ganti nama. Hal ini sangat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat Tionongoa. Coba saja banyangkan bagaimana jadinya kalau anda adalah seorang Batak dan tianggap keBatakan anda itu dianggap penghalang untuk menjadi seorang Indonesia kemudia nama batak anda Hotman Siahaan (misalnya) dipaksa diubah menjadi nama Jawa karena budaya Jawa atau segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa dianggap merepresentasikan budaya nasional Indonesia.


Ini bisa dikatakan suatu usaha pelenyapan sebuah kebudayaan, padahal kebudayaan Tionghoa sejatinya merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Pemerintah seharusnya tidak perlu meragukan loyalitas kebangsaan orang-orang Tionghoa kepada Indonesia ketakutan yang tidak beralasan. Bagi kebanyakan orang Tionghoa tanah air adalah tetap Indonesia sedangkan Tiongkok hanyalah tanah lelulur agaknya sama seperti orang Jawa yang sekarang menjadi warga di negara Suriname.


Dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah Indonesia sebelum masuknya bangsa Eropa tidak pernah ditemukan kasus konflik antara Tionghoa dan pribumi. Sentimen anti Tionghoa dan Tionghoa dengan berbagai stereotip negatif justru timbul setelah era kolonialisasi oleh Belanda. Masalah Tionghoa berlanjut dan seakan tidak pernah redup dari panggung sejarah bangsa Indonesia pada masa pendudukan (baik Belanda maupun Jepang). setelah Indonesia merdeka Indonesia sebagai negara baru mulai menata segala sesuatu namun tetap memiliki beberapa hal yang dibenahi mengenai ketionghoaan ini. Orde baru baru pemerintah melakukan kebijakan yang bisa dikatakan sebagai usaha pemusnahan sukubangsa atau apa yang mereka sebut dengan konsep asimilasi total. Reformasi membawa angin segar bagi kehidupan orang Tionghoa di negri ini, mereka mulai diberi kesempatan untuk menjadi bagian seutuhnya dari bangsa ini, namun tidak sedikit harga yang dibayar oleh orang Tionghoa untuk mendapatkan kebebasan paskareformasi. Kerusuhan Mei ’98 benar-benar pukulan bagi mereka, amuk masa tidak dapat dibendung, toko-toko dan rumah mereka dibakar istri dan anak-anak perempuan mereka diperkosa beramai-ramai.


Berangkat dari beragam dan begitu kompleksnya malasalah etnis Tionghoa penulis penulis berpendapat bahwa hal ini seharusnya menjadi concern bagi pemerintah agar lebih bijak dalam menangani masalah ini. Apa yang telah dibangun oleh pemerintahan paska referormasi hendaknya terus dilanjutkan, penghapusan istilah pribumi dan nonpribumi dalam UU kependudukan dan UU Sistem Administrasi Kependudukan (hanya ada istilah WNI dan WNA) adalah penting adalah pentik karena ini merupakan sebuah usaha pengakuan dari pemerintah maupun segenap elemen bangsa bahwa kita semua sama. Semua suku dari NAD sampai Papua adalah Indonesia. Sedangkan orang Tionghoa sendiri dituntut untuk belajar kembali ketertinggalan mereka dalam budaya mereka sendiri karena bisa dikatakan satu generasi telah dicuri dan buta dengan kebudayaan Tionghoa. pantas jika James Danandjaja menyebutkan proses belajar kebudayaan kembali ini merupakan terapi penyembuhan amnesia yang selama ini diderita oleh orang-orang Tionghoa.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. Folklor Tionghoa. Jakarta. Grafiti. 2007

Erniwati. Asap hio di Ranah Minang: komunitas Tionghoa di Sumatra barat. Yogyakarta. Penerbit ombak. 2007

Sumber Internet

Leo Suryadinata. Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan antar Etnis. Dalam: http://joomla.budayationghoa.org/index.php?option=com_content&task=view&id=47&Itemid=30

HM. Amien. Imlek Momentum Tingkatkan Kesetiakawanan Sosial

Heru Margianto. Cerita tentang Bangsa Perantau : Asimilasi, Pencinaan Kembali, dan Pengakuan Dalam:Iccsg.wordpress.com



Tidak ada komentar:

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats