Kamis, 07 April 2011

Dari Danau Baru ke Kampung Pontu


Abah pulang ke desa hari ini dijemput oleh pak Martinus, sayang sekali dia ga mau diajak ke kampung Pontu. Kampung Pontu adalah pemikiman satelit desa Bunut yang terletak di kecamatan Bunut Hulu, sebagian besar nelayan di desa Bunut menghabiskan hampir sepanjang tahun tinggal di kampung Pontu ini untuk mencari ikan. Mereka hanya pulang ke desa di saat lebaran, acara2 seperti pernikahan atau kematian atau jika ingin membeli kebututuhan logistik selama di Pontu. Jadi kampung Pontu ini semacam pemukiman temporer (berkaitan dengan kemudahan untuk mencarin ikan) orang Bunut diluar desa mereka. Beberapa waktu yang lalu waktu masih tinggal di Bunut gw pernag menghabiskan waktu satu minggu di Pontu, ga sabar juga rasanya ketemu sama orang-orang disana.


Interaksi orang Dayak Kantu' dari desa Keliling Semulung dengan orang Melayu Bunut (terutama mereka yang bermukim di Pontu) sudah sejak lama terjadi. Biasanya bentuk interaksi adalah jual beli, orang Kantu' menjual kerajinan, beras dan sayur2an sedangkan orang Melayu menukar barang2 tersebut dengan ikan segar, ikan asin (balor dalam bahasa Ulu[bahasa yg digunakan oleh orang Melayu]) keropok basah dan keropok kering (keropok rangkai). Orang Kantu' kalau berbcara dengan orang Melayu menggunakan bahasa Ulu dengan sangat lancar, malah logat dan aksen mereka Ulu banget kedengaranya. Demikian juga dengan suku2 lain (seperti Tionghoa dan Dayak lain) jika berinteraksi dengan orang lain suku akan menggukan bahasa Ulu sebagai bahasa persatuan. Sementara orang Melayu sendiri tidak semuanya yang mengerti dan bisa mengucapkan bahasa Kantu' (apalagi bahasa Khek [bahasa orang Tionghoa setempat-Teochiu]), pernah sekali waktu di Pontu pak Itam Karjo salah satu nelayan disana bilang dengan nada kelakar kalo mereka sedikit iri orang Kantu' bisa bahasa mereka sementara mereka terbatas ngomong bahasa Kantu' :)


Dari Danau Baru ke Pontu ternyata cuma sebentar doang cuma sekitar 20 menit saja dengan motor tempel kecepatan 15 pk. Gw berangkat bareng pak Singkek dan dua orang ponakan pak Singkek yang rumahnya disebelah rumah pak Malintang (ketua nelayan dan tokoh masyarakat).

Gw lupa nama abang ini, kami ketemu waktu lewat sungai kecil menuju Pontu. Dia baru pulang memukat.



Kami singgah bentar, minum kopi dirumah salah satu warga Danau Baru. Kayaknya rumah ini paling jauh dari letaknya dari rumah2 yang lain. Harus masuk hutan dan lewat sungai kecil dulu buat sampai ke rumah ini. Seperti semua rumah lain di desa Keliling Semulung rumah ini mendapatkan pasokan listrik dari solar panel. Yang kecil itu alat tangkap sinar matahari yg akan di ubah jadi listrik.



Ini bagian depan rumah, bagian ini namanya jungka (bahasa ulu). Jungka tempat jemur ikan asin, jemur keropok atau padi. Anjing2 kurus itu punya si bapak yang tingga disini, saking kurusnya anjing2 ini gw jadi takut kalau tiba2 dia gigit kaki gw karena ga tahan laper. Tapi engga sama sekali lho, walaupun hidup dengan kondisi miris gini anjingnya tetap ceria. Tau dari mana gw kalo anjing2 ini ceria?? Ya tau aja!! Soale dia jilat2 kaki gw dan ceria. Iya ceria seperti anjing2 normal lainnya.


Kaleng yg disudut itu isinya kopi, kopi sangat penting buat orang2 disini. Baik Dayak maupun Melayu kebutuhan kopi sangat tinggi, kopi diminum pagi dan sore hari. Kalo ada tamu wajib dikasih kopi.


Sayang gw engga ngambil foto si ibuk yang punya rumah, dia cuma pake kemben gitu tapi nyaris telanjang dada karena kainnya turun2 mulu hahaha... Tapi sumpah kopi bikinan si Ibu enak banget. Dan dia dan suaminya engga bisa bahasa Indonesia, jadi gw harus dapet terjemahan seadanya dari pak Singkek. Gw tau kadang pak Singkek nerjemahin udah berdasarkan versi dia, gw sebenarnya ngarti bahasa Kantu', tapi waktu itu semua orang berbicara dalam waktu yang bersamaan dan dalam tempo yang sangat cepat jadinya cuma nangkep sepotong2 doang.




Ini ponakan pak Singkek, sepulang darin Pontu kami singgah bentar ke hutan2 tepi danau Siawan buat ngambil kulit pohon. Kulit pohon ini di tumbuk dan direndam dalam air, nah air yg merah pekat ini dijadikan pewarna jala dan rabai (pancing). Kenapa jala dan rabai perlu diwarnai? Karena warna asli benang-benang pembuat kedua alat tangkap ini tidak cukup gelap, jadi biar tambah gelap dan menipu ikan dikasih pewarna dari kulit kayu ini.


Dah ooww.. Gw dikasih dya kilo keropok kering sama keluarga pak Itam Karjo di Pontu :)

Sementara pak Singkek harus beli hahahaa...

Tidak ada komentar:

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats