Cap Go Me
Monday, February 09, 2009
8:46 PM
Jam delapan malam pulang, waktu melintasi rel kereta api deket rumah gw pandangan gw ga sengaja ngeliat kelangit. Bulannya lagi penuh, bersinar putih keperakan dan karena bersih bsnget cahaya bulan ini mata gw jadi agak silau.
Seorang kenalan di china town suatu sore minggu lalu mengobrol dengan gw, obrolan sore hari yang menarik itu menjadi teringat terus di otak gw. Malam ini gw membuktikan bahwa disetiap tanggal lima belas penanggalan Cina pasti bulan akan bersinar dengan lingkaran penuh.
Agak capek, lumayan capek tapi pemandangan indah dalam perjalanan pulang sedikit menghibur gw. Apalagi gw hari ini menyenangkan:
Niat gw ke pondok hari ini dipagi-pagi buta adalah untuk menyaksikan peresmian pernikahan ala tionghoa yang akan dilangsungkan di klenteng. Naaaah… pagi-pagi jam setengah sembilan gw udah janjian dengan seorang senior dikampus yang sedang riset tentang pernikahan campuran pada masyarakat tionghoa. Alhasil waktu di klenteng begitu kecewanya kami ternyata tidak ada peresmian pernikahan di pagi itu setengah merasa bersalah gw bersikeras untuk membuktikannya dengan meluhat catatan lapangan gw. Emang hari ini seharusnya ada, tapi entah kenapa ternyata di papan pengumuman klenteng yang adanya tanggal 7 kemaren yaitu hari sabtu. Tapi ya sudahlah at least kami bisa menyaksikan persiapan upacara perarakan kio HTT (Ho tek tong). Di beranda depan, tepatnya didepan sekretariat WHTT sejumlah bapak-bapak bergerombol melihat pembagian tugas sebagai pemikul sepasan (sepasan adalah semacam permainan berbentuk replikan naga dimana anak-anak yang berpakaian tradisional tiongkok duduk dan diarak keliling kota dan merupakan bagian dari pawai). Jumlah seluruh pemikul sepasan ini adalah 564 orang (dan belum termasuk cadangan) satu pikulan ditubuh sepasan dipikul oleh tiga orang pria dewasa secara bergantian selama pawai. Ga tau juga kenapa permainan ini disebut dengan sepasan karena waktu melihat sang sepasan yang sedang dirakit, ini sama sekali tidak mirip dengan sepasan atau yang dalam bahasa Indonesianya adalah lipan (sepasan adalah bahasa minang). Sekedar menerka-nerka mungkin penamaan permainan ini dengan nama sepasan adalah merupakan istilah lokal (minangkabau) karena di masyarkat minang sendiri tidak dikenal hewan naga, da masyarakat minang menamainya dengan sepasan karena tubuh naga ini mirip dengan sepasan. Bagian kepala dari kepasan ini sedang diasapi dengan hio dan ditempelo hu sementara instalasi lampunya sedang dirakit oleh beberapa orang teknisi listrik.
Kira-kira jam sembilan yah, kesibukan yang sangat tampak di gedung sekretariat HTT. Semua sibuk berlalu lalang dengan pekerjaan mereka yang masing-masing. Empat kio yang gw liat didalam sudah siap dengan segala peragatnya walaupun belum diasapi dengan hio. Lalu dihalaman depan HTT tepatnya di jalan depan sekretariat karena HTT tidak punya halaman depan. Ada tiga kio baru yang dipesan langsung dari semarang baru saja sampai gai ini di sekretariat dari tempat jasa pengecatan. Gw pikir ketiga kio baru ini ketiganya sama besar, tapi ternyata hanya satu kio saja yang sangat besar berbeda dari ukuran kio-kio lainnya dan kio inilah yang akan dikukuhkan oleh Muri sebagai kio terbesar di dunia. Aku mendapat kesan dari prosesi persiapan kio yang dilakukan HTT ini tidak sesakral prosesi yang dilakukan oleh she Lie-Kwee karena tidak ada peraturan yang superketat seperti yang boleh memasuki wilayah kio hanyalah petugas-petugas tertentu saja dan tidak juga terlihat pengasapan bendera dan pembacaan mantra atu doa sebelum bendera dipasangkan. Semua serba terburu-buru segera setelah kio dipasangi bendera dan peragat laiinya laoco diturunkan dan dipasang pada masing-masing kionya. Apakah kurangnya nilai kesakralan ini dikarena kan oleh ambisi untuk tampil dan dan memecahkan rekor MURI dan bentuk kemodifikasi kebudayaan ini menjadikan budaya ini sendiri menjadi menipis nilai-nilai kesakralannya.
Lalu kami berdua cuma bolak balik ga jelas kaya setrikaan mundar mandir diantara pada anggota HTT yang super sibuk dengan segala macam perhelatan akbar yyang akan berlangsung sore ini. Semua tampak kompak dan bergotongroyong, semua orang sepertnya tau dengan jelas apa yang menjadi pekerjaan dan tanggung jawab pribadi mereka. Walaupun ada kepanikan kecil disana-sini tapi semua berjalan langcar-lancar saja tampaknya. Beberapa kali gw berharap dapat mengobrol ringan (dan tentu saja berharap akan mendapatkan informasi yang berharga) dengan beberapa anggota atau pengurus tapi mereka pada sibuk semua.
Mayka teman yang bareng gw disana memutuskan untuk pulang karena akan bersiap utntuk menghadiri pernikahan seorang teman di Solok. Tapi mengurungkan niatnya sebentar karena kami menyempatkan diri dengan seorang kandidat Doktor sejarang dan budaya Tionghoa. Bu Erniwaty, awalnya gw memang curiga ibu yang sejak tadi juga ikut mondar-mandir disana adalah pengarang buku dan ahli yang akan kami ajak berdiskusi. Tapi takut salah orang karena wajahnya beda banget sama foto yang ada dibuku karangannya (dan dibuku ga dia pake jilbab).
Sok kenal aja gw samperin dia, berkat anugrah tebal muka yang diberikan Tuhan gw memulai percakapan basa-basi dan sok-sok bertanya dia dari media mana (padahal jelas2 ga ada tampang pers). Dan ternyata dia memang bu Erniwaty, mengobrol sedikit. Dia memberikan sedikit petuah kalau hari ini kita semua (termasuk gw hehe… )sebagai peneliti hanya bisa sebagai observer, karena semua orang sibuk. Kesempatan ini gunakan saja sebaik-baiknya untuk mengamati aktivitas mereka setalah itu dua hari kemudia barulah menggali lebih lanjut dari apa yang kita amati.
Dilantai empat sedang berlangsung pelantikan pengurus baru HTT, orang-orang berjas biru mondar-mandir (sepertinya pengurus), dari bawah terdengar prosesi pelantikan seperti pembacaan nama-nama pengurus lama dan memperkenalkan pengurus baru, pembacaan sumpah pelantikan. Sementara diruangan tengah gw ngobrol dengan seorang dari MURI yang katanya baru aja dateng dari bandara dan baru aja menyelesaikan pengukuran KIO dan sepasan yang akan masuk sebagai kategori Kio dan sepasang terpanjang didunia.
Iya juga yah kalo dipikir, satu lagi ikuti media. Jadi triknya media pasti dapat akses yang bagus kemana2 biarkan mereka yang bertanya dan data yang dangkal dari pers nanti akan digali lebih dalam lagi jika keadaan sudah kondusif. Tapi ada kebodohan yang gw bikin ada selembar dokumen yang gw temukan secara tidak sengaja di meja, tapi gw lupa mencatatnya. Padahal dokumen ini super penting bgt didalemnya ada prosesi step by step perarakan kio lengkap denga segala istilah bahasa mandarinnya dan juga lengkap dengan lafal mantra yang harus dibaca pada saat-saat tertentu. Gw terlanjur berharap akan dapet kopian dan juga ga punya inisiatif meng copy sendiri itu kertas. Walaupun kata bu Erni nanti sore bakalan di copy-in dan whuuualah keadaan disore hari ternyata ruame banget kertas penting itu terlupakan begitu saja dan juga gw lupa mencatat nomor HP bu Erni, shiit!!!!
Walaupun demikian masih ada yang patut disyukur hari ini, berkat mengikuti tips dari bu Erni gw berhasil masuk dan mengambil gambar yang imposible gw dapetin sebelumnya!! Ruangan Lauco atau tempat sembahyang dimana semua aktifitas penting dalam menghormati lauco, dewa-dewi dan bersembahyang kepada Tuhan. Gosh… keren banget, maksudnya ruangan ini memang luar biasa banget bagi gw yang orang luar dan akan sangat susah sekali bagi gw untuk masuk kalau tidak dengan wartawan-wartawan ini, thanks to Metro Xin Wen !!!
Ruangan ini terletak dilantai empat gedung sekretariat HTT, kami berencana akan menggunakan tangga untuk keatas karena kebodohan dan otakku yang super lemot juga gw hampi aja ketinggalan lift keatas!! Damn, untung aja. Walaupun sedikit berdesak2an didalam lift sempti ini dan lift laknat ini bikin jantung gw mau copot karena jalannya lambat, gw pikir pasti deh overweight *dan sedikit merasa bersalah juga karena gw orang terakhir yang masuk dan maksa lagi masuknya* tapi kata seorang bapak pengurus liftnya ga kelebihan muatan kok emang dasar lift nya aja yang lelet karena jarang dipake. Tapi peduli setan dengan lift ini yang penting gw sampe keatas, the holliest place di perkumpulan ini.
Tepat ketika nyampe di lantai empat masing-masing pengrus telah memegang patung-patung laoco diatas baki *baki ini bahasa Indonesia ga ya?? Tatakan deh kaya tatakan gelas kalo lw nyajiin gelas buat tamu gitu* dan untuk dibawa turun dan dipasangkan ke Kio sambil diiringi oleh pukulan tambur yang sangat memekakkan telinga. Hampir aja gw ketinggalan prosesi penting ini kalau telat dikit aja gawat deh. Nah makanya waktu gw dan rombongan wartawan Metro TV (tepatnya Metro Xinwen) sebagian altar telah kosong dari penghuninya (para dewa atau Laoco). Ruangan dinding ini sebagian besar dihiasi ornamen ukiran tiongkok dari kayu berwarna coklat langit-langit, altar laoco, meja persembahan dan meja sembahyang Tuhan sewarna dengan corak dinding terbuat dari ukiran kayu berwarna coklat tua.
Ini adalah altar laoco paling panjang yang pernah gw liat (walaupun sudah tidak ditempati lagi oleh para penghuninya), sedangkan meja tempat meletakkan persembahan yang terletak tepat didepan altar dipenuhi oleh perbagai bentuk persembahan untuk sang dewa mulai dari buah-buahan, permen, manisan-manisan, buah-buahan kering, babi, ayam, bebek, bahkan cumi-cumi dalam bentuk utuh (tidak dipotong-potong). Sedangkan altar untuk sembahyang tuhan terletak dibagian luar bangunan ini dan lebih tinggi dari altar yang lainnya.
Bersambung …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar