Jumat, 10 Desember 2010

Melayat kerumah pak Usman (Kamis, 19 Agustus 2010)


Nanga bunut disore hari

Setelah shalat tarawih di Mushala di darat, belum pernah saya mendengar masyarapat sekitar menyebut mushlola ini dengan sesuai dengan namanya jadi saya pun ikut-ikutan menyebut mushola ini dengan 'mushola darat', posisi moshola ini terletak di Dusun Kuala Bunut di sebelah selatan desa Bunut Hulu. Setelah itu kami bersiap-siap untuk pergi melayat ke dusun Perdah.

Almarhumah adalah istri dari pak Usman dan bibi dari Mahyudin yang baru saja meninggal jam 5 lalu. Karena kami tidak tau dengan pasti lokasi rumah duka kami menjemput Mahyudin terlebih dahulu dirumahnya. Istri mahyudin bilang kalau suaminya sudah kerumah duka, ternyata tidak terlalu sulit menemukan rumah duka. Dari luar sama sekali tidak terlihat seperti ada kemalangan dirumah ini, tidak ada bendera kuning seperti tradisi di Jawa atau bendera hitam di halaman rumah seperti yang biasa dilakukan orang-orang di Padang. tidak terlalu ramai jika dilihat dari luar, ternyata rumah ini lebih jauh lebih besar dari yang saya duga.

Saya membayangkan dimanakah jenazah dibaringkan, ternyata jenazah di semayamkan di ruangan terpisah. Disana jenazah di kelilingi oleh para pelayat wanita, saya lihat mereka sebagian besar adalah ibu-ibu. Dari ruangan tempat saya duduk saya tidak dapat melihat secara jelas apa aktifitas yang dilakukan oleh para wanita di ruangan tempat disemayamkannya jenazah. Setelah berpindah tempat lebih dekat saya lihat para ibu membaca yasin, tidak ada pemimpin, setiap orang yang datang membaca beberapa ayat dengan suara pelan tapi bisa saja terputus karena mereka harus menyajikan makanan dan kopi untuk pada pelayat pria diruangan sebelah. Jadi terkesan membaca yasin di hadapan jenazah yang dilakukan oleh pada pelayat wanita ini tidak fokus, setiap orang bergantian membaca sesuka hatinya. Saya perhatikan tidak ada yang membaca sampi selesai, terputus karena mengobrol dengan orang disebelah mereka atau teputus karena urusan 'dapur ' yang saya sebutkan tadi.

Sementar itu diruangan sebelah para pria yang sebagian besar sudah berumur juga, hanya satu atau dua orang yang berumur sedikit lebih tua dari kami bertiga. Pelayat remaja tidak ada saya lihat diantara mereka, dua orang anak yang berusia kira-kira 7 dan 9 tahun yang sejak tadi menempel dengan pak Usman saya kira masih keluarga dari almarhumah. Ruangan ini sepertinya adalah ruang makan keluarga yang diseting menjadi ruangan lapang dengam mengeluarkan sebagian besar perabotannya, disebelah selatan ruangan tempat kami para pelayat pria duduk saya bisa melihat daput karena tidak ada sekat yang memisahkan antara ruang makan dan dapur. Seperti dapur-dapur keluarga Bunut lain para ibu rumah selalu membuatnya sangat rapi dan bersih, semua peralatan masak, cetakan kue (beberapa diantaranya baru kali ini saya lihat), berbagai pisau dan piring tergantung rapi di dinding dan langit-langit dapur. Tidak ada ativitas doa atau ritual mlayat di ruangan ini, tidak ada pngajian ataupun riraman rohani. Mereka mengobrol dengan asik sambil minum kopi dan makan kue kecil. Obrolan pun sangat ceria dan tidak ada kesan sedih diantara tuan rumah. Sesekali para para ibu datang meletakkan mengambil piring kosong dan menggantikannya dengan piring baru yang sudah diisi kue.

Saya menangkap kata penggawa dari dua orang bapak yang sedang mengobrol dibelakang saya dalam bahasa hulu. Mencoba melibatkan diri dalam percakapan mereka tentang penggawa, walaupun ada kemungkinan mereka tidak bercakap-cakap tentang penggawa karena saya hanya menangkap sepotong-sepotong saja percakapan mreka dalam bahasa hulu. Dahulu sebelum undang-undag pemerintahan desa yang sekarang ini diberlakukan hanya ada satu pengawa untuk seluruh kecamatan saya mereka tidak dapat menjelaskan kenapa saya pada saat itu hanya bisa mengira-ngira hal ini mungkin dikarenakan pengaruh kerajaan Bunut. Pada masa kerajaan satu kerajaan berkuasa satu penggawa saja yang mengurusi urusan pemerintahan sekaligus adat yang berada langsung dibawah raja. Hal ini struktur ini terbawa sampai saat kerajaan butut hilang setelah kemerdekaan dimana sebagian besar wilayah kecamatan Bunut Hilir adalah wilayah kerajaan Bunut juga [OC], tapi sekarang pemerintah mensyaratkan setiap desa untuk ada satu penggawa. Saya menyanyakan siapa nama penggawa kampung kita ini pak? Lalu mereka berdua saling bertanya satu sma lain, sampai pertanyaan ini dilemparkan ke orang diluar kami bertiga. Seorang bapak menyebutkan dua nama tapi beliau tampaknya juga tidak begitu yakin apakah orang tersebut masih menjabat sebagai penggawa.

Ditingkat kecamatan ada lembaga yang bernama Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) yang salah satu pekerjaannya adalah merumuskan peraturan adat yang dipakai oleh seluruh orang Melayu kecamatan Bunut Hilir, sementara ditingkat kampung juga ada lembaga adat yang berada dibaah struktur pemerintahan desa. Lembaga ini memiliki struktur sendiri yang terdiri dari ketua sekretaris dan juga dua orang anggota.

Acara melayat pada hari pertama kematian berlanjut terus dengan mengobrol, merokok, makan kue dan minum kopi beranjut sampai tengah malam. Semua pelayat terutama para pria tidak pulang, mereka semua termasuk kami bertiga menginap dirumah duka malam itu. Tuan rumah mempersiaplan bantal-bantal dan selimut-selimut tambahan untuk para pelayat yang menginap, keluarga-keluarga dibunut sepertinya memiliki banyak persediaan bantal dan selimut jika datang saat-saat seperti ini. Bantal, selimut, karpet, tikar dan peralatan makan lebih banyak beberapa dai jumlah keluarga penghuni rumah. Saya mencium aroma apak dari bantal dan selimut yang diberikan oleh tuan rumah, sepertinya memang dipersiapkan untuk acara-acara seperti ini.

Saya berkenalan dengan seorang mantan guru Aliah yang sekarang diangkat sebagai staff desa bernama Gebang, dia pernah mengajar sebentar di Aliah setamat kuliahnya di STKIP. Namanya Gebang. Dia tipikal orang muda kampung selalu ingin maju dalam pendidikan, dia bercerita semasa kuliah pernah ikut berbagai organisasi mahasiswa, ikut studi banding ke berbagai kota. Lalu bercerita bagaimana sulitnya dia dalam permasalahan ekonomi untuk dapat taman kulia, tapi disisi lain dia juga sangat terpesona dengan cerita-cerita kami tentang pendidikan di Jawa. Dia berandai-andai kalau dia kuliah di Jawa pasti dai akan lebih sukses dari sekarang.

Tidak ada komentar:

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats