Setelah sahur kami tidak melanjutkan tidur karena jam 6 kami sudah harus sampai di rumah Mahyudin, dia akan mengantarkan kami ke danau Siawan dengan speedboat nya. Fahri memberikan uang 500 ribu kepada Mahyudin untuk pengganti bensin dan sedikit tambahan atas jasanya menjadi supir kami ke Pontu. Tanpa menghitung uang atau bertanya jumlah uang kepada Fahri dia langsung mengantongi uang itu. Sedikit khawatir Fahri bertanya kepada Mahyudin apakah uang itu cukup? Dan dia pun bilang "ah.. cukup lah tu, aman lah".
Sehari sebelumnya ketika kami merencanakan perjalanan ini bersama dia memang bilang ke kami kalau dia tidak terlalu hafal jalan ke Pontu, apa lagi kalau lewat pintas-pintas (jalan pintas). Dia baru dua kali mengendarai boat sendiri kesana, biasanya bagi orang yang baru-baru mengingat kalan diperlukan simbol-simbol sperti kantong plastik yang digantung dipepohonan untuk menandai jalan. Karena itu hari ini dia membawa penunjuk jalan bernama Upik. Anak kelas 2 SMP, dia tinggal di dusun Perdah Bunut Hulu, seperti bisa membaca pikiran saya Mahyudin buru-buru menambahkan kalau Upik sudah biasa bolak balik Pontu Bunut sendirian.
Perjalanan ke pontu memakan waktu 3 jam dengan speedboat 30 pk dar Bunut. Dua kali kami harus berbalik arah karena Mahyudin terlambat membelokkan speed ketika Upik mengsintruksikan untuk berbelok. Saya heran bagaimana dia bisa mengingat semua jalan-jalan pintas sungai-singai kecil ini, bagi saya sungai-sungai dan hutan-hutan ini nyaris tidak bisa dikenali.
Kampung Pontu berada di sungai batang siawan, nelayan yang tinggal di kampung ini bekerja di kedua danau besar yaitu danau Pontu dan Danau Siawan. Ketika akan memasuki perkampungan pontu Mahyudin melambatkan speednya karena kalau melewati keramba dan lantung di sungai kecil seperti itu tetap dengan kecepatan maksimal akan menimbulkan gelombang yang cukup besar sehingga akan mersusak lanting-lanting dan keramba para penduduk. Beberapa orang ibu yang sedang mandi dan mencuci menyapa kami dengan bahasa hulu. Kami membalas dengan lambaian. Saya mengira awalnya perkampungan nelayan Pntu tidak seramai ini dan perumahan mereka pun tidak permanen, tapi sebagian besar rumah disini sudah permanen dibagun dengan ranggung yang terbuat dari kayu belian. Ada juga saya lihat sebuah surau.
Kami langsung menemui pak Pendi di lantingnya, ketika kami masuk dia sedang membetulkan jala di halaman lanting. Kemudian membawa kami duntuk duduk dirumahnya, sepertnya rumah ini juga sekaligus warung. Beberapa keperluan rumah tangga seperti detergent dan sabun mandi dipajang dietalase. Pendi tidak seperti laki-laki Bunut kebanyakan yang kulitnya coklat terbakar matahari, pendi agak terlalu 'putih' untuk ukuran nelayan. Mimik wajahnya selalu serius, berbicara dengan nada datar dan dingin, saya merasa tidak nyaman ketika melihat mata pak Pendi yang tajam. Tampaknya Mahyudin merasa sedikit tegang apabila berbicara dengan Pendi.
Entah kenapa Mahyudin selalu merasa memperkenalkan kami kepada orang-orang baru adalah tugasnya, padahal saya tadinya berencana mau membuka percakapan ini. Dia memperkenalkan kami kepada Pendi dalam bahasa Hulu, saya bisa menangkap beberpa inti pembicaraan itu yang pertama memperkenalkan kami, tujuan kami dan meminta izin jika nanti kami akan bermalam disini. Pendi menjawab dengan kalimat pendek-pendek yang intinya mendukung aktivitas kami bertiga. Setelah saya berkeliling melihat aktivitas warga yang di perkampungan, sebagian besar yang saya lihat adalah para perempuan kemana para pria? Menangkap ikan kah?
Saya mengunjungi tiga orang ibu yang sedang mengeluarkan ikan (lais) yang terperangkap jala, ada banyak sekali metode yang digunakan oleh warga pontu untuk menangkap ikan disekitar sungai Batang Siawan, danau Pontu dan danau Batang Siawan. Selain itu aktivitas lain yang saya lihat adalah membuat ikan asin dan keropok kering. Di halaman rumah mereka terlihat keropok-keropok setengah kering di jemur dan juga ikan asin yang dijemur diatas wadah bilah-bilah bambu. Salah satu dari tiga ibu tersebut sangat bersemangat ketika saya ajak ngobrol, bahkan menawarkan rumahnya ketika saya bilng kami ada rencana menginap di pontu. Lalu dia menyuruh saya untuk mebasuh muka di air sungai agar bisa 'berkenalan' dengan pontu, dipercaya jika orang baru berkunjung dia sebaiknya membasuh muka sebagai tanda perkenalan jika tidak mereka bisa sakit setelah balik dari Pontu.
Pontu tampak sudah menjadi kampung kecil, seperti kampung kecil yang mendukung kamung induk di Bunut. Saya menilai kampung ini bisa dikatakan permanen karena orang-orang disini disamping memiliki lanting atau rumah apung tetapi juga mempunyai rumah panggung permanen dibelakang lanting tersebut. Baru tau belakangan ternyata lanting tempat menambatkan speed boat adalah milik keluarga Upik. Ayah, ibu seta kakaknya tinggal di lating Pontu sedangkan ia karena masih bersekolah di SMP desa Bunut Hulu harus tetap tinggal di kampung. Rumah merekasebenarnya ada di kampung Hulu tapi karena takut tinggal sendirian dirumah kosong Upik memilih untuk tinggal di rumah neneknya di kampung Tengah (Bunut Tengah). Ayah dan ibu Upik asli orang Bunut Tengah. Upik dipercaya oleh ayahnya untuk mengantar dan menjemput barang-barang keperluan di Pontu, tak heran Upik sangat kenal jalan-jalan pintas sungai kecil sekalipun. Malah katanya dia sering melakukan perjalanan malam juga Pontu-Bunut.
2 komentar:
makasih gan info nya sangat menarik
dan bermanfaat
terus berkreasi gan
terimakasih gan info nya sangat menarik
terus di update info menarik lain nya
Posting Komentar