Jumat, 10 Desember 2010

Persepsi tentang banjir, pendidikan di kampung dan sejarah masjid (Rabu, 25 Agustus 2010)


masjid Baiturrahman

Dua hari terakhir mendung, pagi ini juga tidak ada matahari kalau seperti ciaca langit pagi ini bang Syamsul (tetangga pak Wim) meramalkan akan terjadi hujan lebat lagi disore atau siang hari. Ketinggian hari dari empat hari terakhir semakin naik, kami berpatokan kepada salah satu tiang gertak yang ada di halaman depan rumah pak Wim dan lantai halaman belakang (dekat dapur). Kemaren sore permukaan air kira-kira satu jengkal dari lantai halaman belakang. Pagi ini permukaan air sudah menyentuh lantai, sebagian lantai yang terbuat dari papan kayu kawi tersebut sudah acap (bahasa hulu untuk banjir).

Saya memutuskan untuk melihat-lihat keadaan fenomena banjir ini disekitar kampung Hulu, mengambil jalan pintas yang menghubungkan dusun Kuala Bunut dan perdah agar bisa mengamati dalam sekali jalan dibanding dengan mengambil jalan yang biasa (jalan kampung sebelah Barat) dengan melalui jalan pintas ini akan lebih banyak wilayah yang teramati. Jalan pintas ini berada disebelah kanan kantor desa apabila kita menyusuri jalan ini maka akan tembus tepat di depan masjid kampung Hulu. Ketika ketika akan masuk ke jalan tersebut saya bertemu dengan pak Irzal (salah seorang staff desa Bunut Hulu), beliau menyapa saya dan sambil lalu bilang "jalan sebelah ilir ja' sana' dah acap", "iya pak ndak apa-apa saya mau liat seberapa acapnya jalan"

Ini pertama kalinya saya melalui jalan ini, letaknya cukup terpencil disepanjang jalan ini tidak ada rumah penduduk hanya hutan, kuburan kampung, sebuah kandang ayam dan beberapa kolam ikan toman.tapi cukup strategis karena menghubungkan dua dusun yang ada di desa Bunut Hulu yaitu dusun Kuala Bunut (disebelah selatan) dan dusun Perdah (disebelah utara).

Sebagian hampir semua rumah penduduk yang berdekatan dengan pantai terutma yang berhadapan langsung dengan pantai sudah terendam uleh banjir hingga sedala mata kaki orang dewasa. Kalaupun tidak terendam hingga sedalam itu sebagian besar papan teras depan rumah sudah becek oleh air sungai yang meluap. Saya menyapa seorang bapak yang sedang membuat 'panggung tambahan' didalam rumah, menurut keterangan si bapak sudah hampir empat hari rumah mereka terendam oleh air sungai kapuas yang meluap. Karena diperkirakan permukaan air akan terus meninggi maka dia membuat panggung tambahan didalam rumah dengan menyusun papan yang disangga oleh drum atau tiang-tiang penyangga. Kebanyakan rumah di Nanga Bunut terutama yang berjarak sangat dekat dengan pantai sudah menyiapkan papan-papan ekstra dan tiang-tiang kayu penyangga untuk membuat panggung tambahan di dalam rumah dikala banjir seperti ini.

Sebagian besar ativitas penduduk tepi pantai yang terkena dampak banjir paling parah pagi itu adalah kegiatan bersih-bersih, menata ulang perabotan dan menyingkirkan sampah-sapah kayu yang terbawa oleh banjir. Sepulang dari berkeliling kampung Hulu saya bergabung dengan bang Suha yang rumahnya berseberangan dengan rumah pak Wim. Menurut menurut cerita Suha banjur yang cukup besar terjadi pada tahun 1996 waktu itu air naik sampai setinggi 15 sentimeter dari lantai. Kebanyakan rumah sudah menyiapkan papan-papan dan drum dikolong rumah guna membuat panggung atau lantai tambahan apabila air sudah masuk kedalam rumah. Ketika banjir mata pencarian yang paling terkena dampak adalah para pemilik kebun karet. Menurut beberapa bapak yang kebetulan sedang berkumpul didepan rumah bang Suha, tidak pernah terjadi musim pasang selama ini. Rata-rata durasi pasang hanya 2-3 bulan saja, itupun tidak pernah setinggi ini, salah seorang bapak didalam grup pagi itu menghitung pasang kali ini sudah 8 bulan 22 hari (Beliau berpatokan pada dimulainya pengerjaan proyek jalan lintas di selatan kampung).

Pada saat banjir mereka tidak dapat menoreh getah, karena bangian pohon tempat dibuatnya toreha sudah digenangi air. Sedangkan apabila mereka memaksakan menoreh bagian atas pohon hal ini akan menyebabkan kerusakan bahkan kematian pada pohon. Sedangkan pengaruh yang cukup terasa bagi aktivitas penangkapan ikan yang dirasakan oleh nelayan adalah, menurunnya hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena ikan-ikan memencar sampai kedaratan karena daratan yang semestinya kering sekarang digenangi oleh luapan air sungai. Kondisi menguntungkan sebaliknya akan dirasakan oleh nelayan pada musim kemarau, air sungai menyusut sehingga ikan-ikan terkumpul pada ceruk-ceruk danau dan anak-anak sungai. Aktivitas yang sangat diuntungkan dengan adanya bajir dan meluapnya sungai adalah aktivitas para pekerja kayu. Menurut Sahul dahulu pada masa loging para pekerja kayu ilegal yang mencari kayu sampau jauh kedarat (jauh dari tepi sungai, masuk kedalam hutan). Akan lebih mudah bagi mereka untuk mengangkut kayu tersebut dengan meluapnya sungai, dari dalam hutan kayu tinggal dihanyutkan saja melalui anak-anak sungai kemudian ketika di sungai besar kayu-kayu tersebut akan dipindahkan ke rakit khusus pengangkut kayu yang sebelumnya telah parkir. Walaupun begitu pada masa loging pencari kayu yang menebang hutan secara aktif lebih dilakukan orang-orang diluar Kapuas Hulu, bahkan buruh-buruh persusahaan ini sebagian besar adalah orang-orang dari Sambas. Biasanya mereka (pekerja kayu dari Sambas) lebih produktif dan menghasilkan kayu lebih banyak dibandingkan dengan orang Kapuas Hulu atau Bunut sendiri.

20.00

Mahyudin sepertinya sudah resmi menjadi local guide kami yang paling setia, tadi malam ketika kami bertiga makan mie rebus di warung dekat pasar si ibu pemilik warung dengan santai bertanya "lhoo mahyudinnya mana?" lalu ketika dalam perjalanan ke rumah mahyudin di Kampung Hulu segerombolan bapak yang sedang mengobrol di simpang menyapa kami dengan kalimat "mau kerumah Mahyudin yah? Dia kayanya di rumah mertuanya tuh" dan kami bertiga cuma bisa cengengesan ketika terdengar salah satu bapak bilang dengan nada guyon kepada temannya "mereka pasukannya Mahyudin tuh".

Si Mahyudin, orang satu ini memang jadi penghubung yang sangat bermanfaat. Dia punya link atau kelanan dari berbagai kalangan mulai dari birokrat kampung, pejabat kecamatan, pengurus dewan adat, pedagang kayu, nelayan dan lain sebagainya. Saya mendapat kesan bahwa dia mendapatkan semacam 'kesenangan aneh' dari kegiatan penelitian kami ini. Dia adalah tipe orang yang dengan sangat mudah mengoceh tentang berbagai informasi yang kadang memang kami butuhkan.

Malam ini maksud kami menemui Mahyudin adalah untuk membicarakan masalah angkutan yang akan kami tumpangi untuk ke Putusibau. Dia sedang berada di masjid besar, sedang memperbaiki lampu masjid. Di masjid sedang ada pengajian rutin Ramadhan,menemui fenomena yang sama seperti masjid-masjid lainnya di Nanga Bunut yaitu tidak ditemukan remaja laki-laki didalam pengajian atau kegiatan tadarusan. Tadarus sedang berlangsung, sebagian besar peserta tadarus adalah remaja usia SMP dan hanya dua orang yang usia SMA. Terlihat didalam kelompok pengajian istri si Mahyudin, sepertinya bertugas sebagai guru mengaji malam ini. Beberapa remaja putri yang sedang tidak mendapat giliran membaca qoran bergerombol di sekitar kue-kue kecil dan minuman yang sepertinya sisa pertemua masjid segera menyingkir dan bersikap kikuk (salah tingkah) ketika kami bertiga memasuki ruangan masjid. Dua diantara bereka kedapatan oleh saya sedang berbisik-bising sambil melirik-lirik kearah kami berdua. Masjid ini sangat dibangga-banggakan oleh masyarakat Nanga Bunut, terutama orang desa Bunut Tengah teringat pada suatu jumat sehabis sholat ada seorang bapak yang bilang "yah ini lah Bunut Tengah, derahnya kecil dan tidak ada apa-apanya. Cuma masjid ini yang kami banggakan". Begitu juga dengan seorang pak haji (saya lupa namanya) yang sedang tidur-tidur ayam kemudian bangun ketika melihat kami datang. Tanpa diminta beliau langsung memberikan tur singkat yang berisi fakta-fakta unik tentang masjid:

Hampir semua bagian asli masjid terbuat dari kayu belian

Bahan-bahan pembuat masjid terutama kayu adalah satu paket dengan bahan bangunan yang digunakan untuk membuat keraton melayu Pontianak. Sisa kayu untuk membuat masjid besar dibawa ke Pontianak dengan cara dihanyutkan di sungai untuk membangun keraton tersebut.

Setiap tonggak penyangga masjid melambangkan satu orang sahabat Nabi.

Tonggak masjid dari fondasi sampai kepada atap merupakan satu kesatuan kayu yang sama, tidak terputus.

Panjang bagian kayu yang di tanam didalam tanah adalah sepanjang +/- 2 meter dengan bagian bawahnya yang tidak diruncingkan (datar), fakta ini terungkap ketika melakukan renovasi, memperluas ruangan mimbar empat tiang Barat di geser kerah luar.

Pada awalnya bagian depan masjid menghadap ke arah barat, tapi ketika terjadi renovasi besar-besaran arah depan masjid dirubah kearah utara yaitu kearah laut. Bagian utara yang dulunya di pagar kemudian dibuat lapangan yang cukup besar sehingga bisa dimanfaatkan untuk melaksanakan sholat Ied.

Pak Haji dan bapak penjaga masjid sangat percaya dengan kisah-kisah hantu yang bergentayangan di sekitar masjid, dulu pada masa loging sering terjadi kecelakaan kerja yang yang berujung pada kematian para pekerja kayu (kebanyakan berasal dari Sambas) dari PT. Bumi Raya. Angka kecelakaan begitu tinggi, dalam satu bulan bisa terjadi sampai dua kematian, mayat-mayat ini dimandikan dan disholatkan di masjid besar.

Setelah dari masjid kami melanjutkan perjalanan kerumah Gebang, seorang staff kantor desa urusan pemerintahan yang juga pernah mengajar pada Madrasah Aliah Nanga Bunut. Tampaknya rumah gebang menjadi tempat berkumpul bagi para intelektual muda desa. Dirumah Gebang sudah hadir Iwan yang bekerja di PNPM konsultan ahli bidang pemberdayaan masyarakat, dia seorang sarjana teknik informatika tamatan UGM, lalu ada Untung seorang guru ekonomi Madrasah Aliah yang pernah kuliah di UNTAN dan ada Gebang sendiri yang menamatkan kuliahnya di STKIP jurusan pendidikan kewarganegaraan.

Pembicaraan bersama kami bersama para intelektual kampung ini berkisar seputar perjuangan mereka selepas kuliah bekerja dengan kondisi yang seba terbatas di Nanga Bunut. Gebang dan Untung adalah guru-guru perintis di Aliah, mereka menceritakan betapa kerasnya perjuangan untuk tetap mempertahankan Aliah. Pada masa itu hanya ada 4 orang guru yang mengajar semua mata pelajaran, satu kelas yang isinya terdiri dari 20 orang murid, keterbatasan sarana belajar seperti bangku, buku-buku pelajaran. Jika mereka berempat tidak bisa memenuhi sejumlah persyaratan dari DEPAG maka dengan sangat terpaksa Aliah akan di tutup. Salah satu syarat yang paling berat yaitu adalah memenuhi jumlah tenaga pengajar, hal ini diakali dengan mendatangkan para pengajar honorer dari desa-desa tetangga dan bahkan mereka juga mengizinkan beberapa tamatan SMA untuk mengajar.

Tidak ada komentar:

My Visitors

mereka yang berkunjung


View My Stats