Informasi ini dikumpulkan dari diskusi bersama Sekretaris kecamatan Bunut Hilir dan Kasi Pemerintahan pak Abang Mabruk pada hari Senin tanggal 16 Agustus 2010 pukul 09.15 di kantor camat Bunut Hilir. Perjalan ke kantor camat Bunut Hilir menempuh waktu 5 menit dengan jalan kaki dari rumah Pak Wim. Pagi itu saya berangkat dengan tanggui baru saya. Memakai tanggui membuat saya berjalan lebih pd menyusuri jalan-jalan gertak Nanga Bunut, tanpa perasaan diledek, tanpa perasaan aneh yang mungkin akan saya rasakan ketika memakai topi tradisional ini ketika berjalan di kampus. Bahkan di perjalanan ada ibu-ibu yang memuji "duh.. bagus sekali tangguinya". Di Bunut tanggui benar-benar menjadi aksesori segala umur yang bisa dipakai disegala musim, ukurannya yang lebar melindungi pemakainya dari terik matahari dan hujan.
Cerah dengan sinar matahari berlimpah. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa sejak dua hari yang lalu Nanga Bunut diguyur hujan terus menerus, hanya dari ketinggian air yang sekarang sudah melewati setengah tinggi gertak lah orang-orang akan tau seberapa hebatnya hujan dua hari ini. Ketika sudah mendekati kantor camat tepatnya di gedung aula tua yang belakangan saya ketahui adalah bekas sebuah sekolah Tionghoa Tiong Hoa Chung Hui tampak beberapa aparat pemerintahan berseragam dinas, polisi, TNI AD dan beberapa orang lainnya yang berpakaian rapi dalam batik dan safari. Saya melongok sedikit lebih jauh lagi kedalam gedung tersebut dan melihat siswa SMA berpakaian PRAMUKA lengkap sedang berbaris. Aah ya, saya baru sadar kalau besok akan diadakan upacara bendera. Teringat kalau pak Wim bilang upacara di lapangan dibatalkan karena lapangannya acap, dari dua hari yang lalu hujan terus menerus. Dan pagi ini di alula inilah upacara di persiapkan.
Dihalaman kantor camat saya melihat Pak Rustam (Sekretaris Camat yang sekaligus juga menjabat sebagai ketua Majelis Adat Melayu kecamatan Bunut Hulu) sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang PNS berpakaian dinas yang kemungkinan besar juga staff kecamatan Bunut Hilir. Sedikit minder dan canggung saya melirik diri saya yang hanya berpakaian T-shirt dan celana pendek plus sandal gunung sementara semua orang berpakaian formal dan rapi. Saya menyapa Pak Rustam dengan "selamat pagi pak" sambil bersalaman dengan beliau, jawabannya hangat, tegas dan sangat formal. Sangat berbeda dengan Pak Rustam yang biasa kami ajak ngorol dirumahnya ketika sedang memberi makan ikan di kolam setiap sore. Satu hal yang sama adalah karakter beliau yang tegas sehingga memberikan kesan seperti karakter seorang birokrat yang disiplin. Sebelumnya saya memang sudah membuat janji untuk yah.. Sebutlah 'wawancara' ini dengan beliau dan Pak Mabruk. Seperti biasa kalimat pembuka yang hampir selalu saya gunakan ketika membuka obrolan adalah "lagi sibuk apa nih sekarang pak?" .. "kok ramai sekali kelihatannya.." dan seterusnya…. Jawaban dari beliau berupa kalimat-kalimat singkat dan sangat formal. Karena sudah mengetahui tujuan saya beliau langsung mempersilahkan saya masuk ke ruangan Pak Mabruk dan mengatakan kepada saya bahwa dirinya akan segera bergabung.
Pak Mabruk sepertinya sedang sibuk dengan lembaran-lembaran dokumen yang sedang dibolak-baliknya tapi langsung mangabaikannya diatas meja dan buru-buru membalas salam saya ketika saya menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. Semua papan petunjuk fasiltas umum keempat desa sekitar pusat kecamatan Bunut Hilir (desa Bunut Hilir, Bunut Tengah, Bunut Hulu, dan Ujung Pandang ) seperti puskesmas, masjid dan sekolah menuliskan kata Nanga Bunut, saya heran kenapa mereka tidak menuliskan kecamatan Bunut Hilir saja? Kenapa begitu pak? Nanga berarti muara atau pertemuan dua sungai. Jadi Nanga Bunut mengacu kepada empat desa yaitu desa desa Bunut Hilir, Bunut Tengah, Bunut Hulu, dan Ujung Pandang yang terletak disekitar muara sungai Bunut dan Kapuas.
"ya jadi empat desa itulah yang kota Nanga Bunut"
"Ibu kota kecamatan Bunut Hilir, makanya satu paket disebut Nanga Bunut"
Lalu tentang sengketa wilayah desa Bunut Hulu dengan desa Nanga Tuan pak Mabruk membenarkan memang pernah tejadi, kecamatan pernah memfasilitasi tapi walaupun belum menemukan titik terangnya oleh kedua fihak masalah ini terkesan dibiarkan mengendap saja. Ketika saya bertanya tentang batas wilayah yang pasti dari desa Bunut Tengah dan Bunut Hulu beliau menjawab dengan jawaban yang serba tidak pasti dan sangat berhati-hati.
"kalau tentang batas-batas wilayah agak susah saya bicaranya yah.."
"masih kurang jelas.. "
"ada sih peta, tapi peta lama sebelum pemekaran. Pemerintah dengan departemen yang terkait belum ada membantu kami untuk memetakan dengan jelas setiap wilayah desa ini."
Sedikit gugup melanjutkan,
"seharusnya, departemen pertanahan, atau badan apalah dari pemerintahan yang ahli dalam masalah peta-peta ini membatu.. Jadi perpedoman kepada peta lama ja' dulu"
"Boleh saya lihat petanya pak?" saya belum berani menggunakan kata 'minta' terlalu riskan takut terlalu lancang dan akhirnya kehilangan data yang berharga ini jadi saya memberikan kesan kalau hanya mau melihat-lihat petanya saja dulu.
"iya..iya boleh"
Pak Mabruk membuka laptopnya dan secara sekilas saya melihat peta yang cukup lengkap dari ke delapan desa kecamatan Bunut Hilir. Saya memperlihatkan ekspresi sangat tertarik dan ingin mempelajari lebih dalam lagi wilayah Bunut Hilir lalu memberanikan diri untuk meminta peta-peta tersebut. Dan berhasil.
"mmhh… boleh saya copy petanya pak?"
Dan buru-buru menjawab,
"iya..iya boleh, di copy nak apa"
Namun ekspresi yang saya tangkap dari jawaban ini, lebih kepada perasaan tidak mau terus direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan terus-menerus tentang desa dan batas desa.
Tentang perkembangan dan sejarah pemekaran desa-desa di kecamatan Bunut Hilir terutama desa Bunut Tengah dan Bunut Hulu. Pak mabruk memberikan jawaban dengan sangat berhati, seakan memperhitungkan setiap konsekuensi yang akan diterimanya dari memberikan jawaban. Hal ini terlihat dari dia selalu berusaha mengacu jawabannya kepada dokumen-dokumen tertulis yang sudah dipersiapkannya di lemari kerjanya. Setiap saya menanyakan pertanyaan yang agak detil seperti, "jadi desa yang sekarang ini pemekaran yang keberapa pak?" atau "ketika dusun-dusun mana yang menjadi desa sendiri ketika terjad pemekaran tahun 1996?" beliau kembali cepat-cepat mengecek di lembaran-lembaran dokumen diatas mejanya.
Beberapa poin yang dapat saya simpulkan dari diskusi mengenai perkembangan desa-desa adalah,
Paling tidak sejak tahun 1986 sudah terjadi tiga kali pemekaran desa di kecamatan Bunut Hilir. Pada tahun 1986 desa-desa di kecamatan Bunut Hilir adalah:
Bunut Hilir
Bunut Hulu
Teluk Aur
Nanga Tuan
Nanga Boyan
Lalu terjadi pemekaran lagi menjadi:
Bunut Hilir
Bunut Hulu
Teluk Aur
Nanga Tuan
Nanga Boyan
Ujung Pandang
Pemekaran terakhir:
Bunut Hulu (terdiri dari dusun: Kupan dan Dilaga)
Bunut Hulu (Perdah dan Kuala Bunut)
Teluk Aur (Puring, Jaung 1 dan Jaung 2)
Nanga Tuan (Siawan, Tanjung Entibab dan Kuala Buin)
Empangau (Embaloh Hulu dan Embaloh Hilir)
Ujung Pandang (Kubu, Tanjung Kapuas dan Ujung Pandang Kapuas)
Tembang (Tanjung Bunga dan Beringin)
Bunut Tengah (Baiturrahmah dan Karya Bhakti)
Ditengah diskusi mengenai desa Pak Wim yang kebetulan sedang berada di kantor kecamatan bergabung bersama kami. Beliau berpakaian dinas Linmas, sepertinya juga barusaja mengikuti gladiresik upacara bendera.
Lalu tentang persyaratan pemekaran desa pak Mabruk sepertinya juga tidak terlalu ingat pada undang-undang nomor berapa hal ini diatur, yang jelas menurut pak Mabruk ada dua pasal yang menyatakan apabila sebuah dusun jika jumlah penduduknya sudah lebih dari 750 jiwa dan dusun tersebut mempunyai potensi (terutama potensi alam) dia dapat dimekarkan menjadi sebuah desa. Tapi pak Wim tampaknya kurang setuju dengan implementasi dari undang-undang ini, karena ada beberapa dusun yang belum memenuhi dua persyaratan ini dan khirnya menjadi dusun tertinggal.
Lalu saya bertanya kepada kepada pak Mabruk mengenai ada tidaknya intervensi pemerintahan kecamatan dalam pengelolaan hutan, apakah ada peraturan dari kecamatan yang dalam mengelola hutan dan danau?
"kalau itu aturan-aturan umum dari departemen kehutaan ja', kecamatan tidak secara khusus membuat peraturan unutuk hutan dan danau"
Kalau aturan lain ada tidak pak? Sebenarnya saya sudah tau bahwa ada peraturan danau dan peraturan adat yang berkaitan dengan hutan. Pertanyaan ini hanya bermaksud untuk mengeksplorasi lebih dalam.
"Ooh ada itu peraturan danau, ketua danau yang buat.. Tapi yang saya percaya tidak ada satupun peraturan danau yang bertentangan dengan peraturan pemerintah "
5 komentar:
Having read this I believed it was very enlightening.
I appreciate you taking the time and effort to put this information together.
I once again find myself personally spending a significant amount of time both reading and leaving comments.
But so what, it was still worth it!
Also visit my blog post League Of legends hack
Does your blog have a contact page? I'm having problems locating it but, I'd like to
send you an email. I've got some recommendations for your blog you might be interested in hearing. Either way, great blog and I look forward to seeing it grow over time.
My weblog The Interlace
Hi! Do you know if they make any plugins to
assist with Search Engine Optimization? I'm trying to get my blog to rank for some targeted keywords but I'm not seeing very
good results. If you know of any please share. Many thanks!
My web-site - Download 7Zip
Appreciation to my father who informed me concerning this blog, this weblog is truly remarkable.
Feel free to surf to my blog post ... Minecraft Crack
Dear Prabu,
Ada sedikit koreksi mengenai pemekaran Desa, terutama Desa Empangau (sila dicek lagi). Di situ tertulis Embaloh Hilir dan Hulu. Yang benar adalah Empangau dan Empangau Hilir. Embaloh sendiri adalah nama kecamatan.
Oke, ditunggu postingan berikutnya. Sila berkunjung ke puandjelata@wordpress.com
Posting Komentar