Ibu Nor adalah penduduk desa Bunut Hulu. Saya yakin sebenarnya beliau baru berumur 30an, tapi penampilan fisiknya yang tidak terawat membuat dia tampak seperti 10 tahun lebih tua dari usaia aslinya. Perawakannya kurus tapi tegap, kulitnya kusam dan hitam terbakar matahari saya membayangkan dia pasti wanita yang tangguh. Tidak mudah untuk hidup terisolir ditengah danau jauh dari kampung Bunut yang nyaman, tidak ada gunanya juga menurut bu Noor untuk terlalu merawat tubuh. Dia mengenakan baju kumal yang sama ketika saya melakukan observasi pertama kali ke danau ini dua hari yang lalu. Tapi saya melihat semangat dan kegigihan dalam nada bicara bu Noor dia bilang bahwa
"kalau ndak ada keramba susah hidup, mau tetap di kampung juga serba susah"
"kalau ada usaha keramba kita bisa tabung buat rumah, buat beli emas"
Ibu Noor dan suaminya pak Buyung sudah punya rumah sendiri di Bunut Hulu, sedangkan orang tua mereka yang juga orang bunut tinggal di dusun perdah (arah ke pantai). Mereka menikah sejak tahun 2005 dan belum dikaruniai anak sampai sekarang. Mereka mendapatkan bantuan kanting ini dari pemerintah tahun 2006 lalu, lanting proyek percontohan ini dibawa melalui sungai dari Putusibau. Sampai saat ini keramba ibu Noor sudah panen tiga atau empat kali. Setelah pemerintah merasa ada keerhasilan pada ibu Noor mereka sekarang membuat keramba dan lanting kedua yang berada disebelah lanting ibu Noor. Menurut saya cukup lama juga jaraknya pembangunan lanting kedua dan ketiga ini. saya lupa menanyakan lebih lanjut tentang apa saja syarat untk mendapatkan lanting ini, apa saja yang mesti dipenuhi. Lanting dan keramba ini diberikan lengkap dengan bibit secukupnya untuk sekali panen pakan yang diberikan juga secukupnya. Setelah itu nelayan yang dibantu harus melanjutkan sendiri setelah itu. Karena mereka merasa masih bisa menambah beberapa keramba lain mereka kemudian membuat tambahan keramba lain disamping kerambayang di berikan oleh pemerintah sesekitar lanting. Selain itu mereka juga membudidayakan toman didalam kurung, awalnya yang dimaksud dengan kurung adalah sma dengan keramba. Tapi ternyata kurung adalah krungan ikan atau kandang ikan yang dibuat dari kayu. Kurung ini tertutup sepenuhnya, jadi tidak perlu khawatir dengan binatang pemangsa yang akan memakan ikan.
Pada observasi pertama ke Tramabas saya kira dia adalah istri dari ketua danau dan baru tau kemudin ternyata suaminya pak Buyung bukanlah ketua danau. Saya berharap pada kunjungan kedua ini bisa mendapatkan informasi yang lebih dari pak Buyung tentang pengelolaan lanting dan aktivitas ekonomi yang dilakukan di danau tapi sayangnya kara bu Nor suaminya sedang memukat burung kedalam hutan. Saya melanjutkan mengobrol mengenai bagai mana awalnya dia dan suami mendapatkan lanting ini.
Mengupahkan kepada orang untuk tinggal dilanting merupakan pilihan terakhir bagi nelayan. Ibu Nor ketika saya tanya kenapa tidak dipahkan saja buk kepada orang lain, beliau menjawab hampir tidak ada orang yang pakai cara upah-upah dalam mengelola keramba ini karena investasi mereka yang bernilai jutaan rupiah berada di keramba ini tidak mungkin dipercayakan kepada orang lain. Memelihara ikan didalam keramba bisa saya lihat sebagai penghasilan utama mereka, sekali panen mereka bisa mendapat untung sampai jutaan rupiah. Walaupun begitu untung yang besar ini mereka jadikan investasi atau tabungan untuk keperluan yang lebih besar seperti membeli rumah, biaya anak sekolah atau tabungan. Jadi diantara peternak keramba tidak mengenal sistem upahan dalam mengelola keramba, semua barang keperluan selama didanau dibeli didanau dua atau tiga kali sebulan ke Bunut. Semua yang mereka perlukan sudah mereka stok didanau jadi hanya perlu ke kampung desa (Bunut Hulu) dua sampai tiga kali seminggu. Bahkan dilanting mereka ini juga ada satu ekor ayam kampung jantan yang diikatkan di lanting belakang dekat dengan keramba. Saya membayang kan kenapa memelihara ayam ditengah danau begini, toh juga tidak menghasilkan telur. Lalu ada juga seekor kucing jantan berwarna putih di lanting ini, namanya Gelok. Menurut bu Noor Gelok sudah menemaninya dan suami sejak pertama kali mereka tinggal di lanting, dia (Gelok) dibawa sejak dari bayi ke lanting. Sejak itu gelok tidak pernah menginjak daratan lagi. Kucing yang malang. Tapi walupun begitu kucing ini sangat disayangi oleh pasangan ini.
IbuNoor mempunyai dua lanting, yang pertama adalah lanting yang didapat dari bantuan pemerintah (satu paket ketika juga dengan keramba) disini tempat dia bersama suami tidur dan meletakkan pakaian lanting. Lanting ini masih tergolong baru, dicat putih dan pada sisi sebelah lanting tergantung papan yang menunjukka lanting dan keramba ini adalah bantuan dan proyek percontohan yang diberikan oleh Dinas Perikanan Kab. Kapuas Hulu. Lanting yang kedua terletak kearah darat atau dibelakang lanting yang pertama. Dilihat dari bentuk fisik lanting ini yang tidak serapi lanting pertama dan juga disesuaikan dengan kebutuhan mereka didanau lanting ini sepertinya dibuat sendiri oleh ibu Noor dan suaminya. Lanting ini difungsikan selabagi dapur, tempat menyimpan bahan makanan.
Tak lama kemudia pak Buyung datang dengan sampan motor 3 pk nya, baru balik dari memukat burung. Sebelum pak Buyung dari perahunya bu Noor berbicara dengan suaminya dengan bahasa hulu dalam tempo yang sangat cepat hanya beberapa kata yang saya mengerti, kalau tidak terjemahan saya tidak salah dia memberi tahu kalau
pak Wim membawa tiga anak ini, mau lihat-lihat keramba. Pak Wim juga membeli toman-toman mereka.
Bu Noor memanggil pak Wim dengan panggilan Unggal yang berasal dari kata tunggal, karena pak Wim adalah anak tunggal di keluarga. Dia di keluarga di panggil unggal dan orang-orang satu kampung juga memanggil pak Wim dengan panggilan unggal.
Saya menyalami pak Buyung, beliau berperawakan tegap, berotot kulit gosong terbakar matahari. Saya memprediksi umurnya tidak lewat dari 40 tahun. Di katakan oleh pak Buyung bahwa aktivitas mereka yang utama di lanting adalah memelihara ikan-ikan di keramba dan kurung. Pemliharaan ini mencakup memasang bubu dan jermal disungai-sungai pada bagi hari dan kemudia mengambilnya juga di pagi hari keesokan harinya. Ikan-ikan yang didapat dengan bubu ini digunakan untuk pakan ikan yang didalam keramba dan kurung. Jika ada ikan yang cukup besar yang didapat dengan bubu dan jermal akan dimakan untuk lauk sehari-hari. Ikan yang didapat dari jermal dan bubu ini jumlahnya biasanya sampai lebih dari seratus kilo tapi jumlah ini hanya cukup untuk satu sehari saja (satu kali makan), patin yang dipelihara didalam dia keramba dalam sekali makan bisa sampai 30 kilo, toman biasanya makan paling banyak bisa sampai 50 sampai 60 kilo dan gurame tergolong sedikit dalam makan karena juga dikasih makan buah, semacam buah-buahan ikan dan biasanya ibu Noor yang mencari buah ini kedalam hutan.
Selain itu pak Buyung juga memukat ikan di sungai-sungai sekitar danau Tramabas, hasil yang dari memukat ini dijual ke desa dan uangnya akan di pergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Disela-sela keiatan itu pak Buyung menangkap burung hijau di hutan, Hari ini pak Buyung tidak beruntung karena pukatnya hanya menjerat satu ekor burung dan itupun juga tidak menghasilkan karena burung yang terjerat mati. Dia melepaskan bangkai burung itu dari jeratnya, menurutnya ini karena kesalahan dalam pemasangan pukat. Apabila pukat burung yang terbuat dari benang-benang halus ini tidak benar maka begini lah hasilnya. Biasanya akan mendapatkan lebih banyak burung ketika musim buah, pak Buyung harus memanjat pohon cukup tinggi untuk memasang pukat. Burung ini biasa di jual ke orang di Bunut seharga 120 ribu. Salah satu orang Bunut Hulu yang berlangganan membeli burung hasil tangkapan pak Buyung adalah bang Suha tetangga sebelah rumah pak Wim. Dari Suha akan dijual pada pengumpul berikutnya kepada orang di Putusibau seharga 180 ribu dan selanjutnya dari pengumpul di Putusibau ini burung akan dijual ke toko burung seharga 250 ribu. Biasanya di toko burung akan di pelihara dulu sampai beberapa saat untuk memulihkan tenaganya sebelum dijual ke pembeli, mungkin sampai di toko burung akan harganya menjadi 300 sampai 350 kata pak Buyung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar