Dirumah duka HTT
Hari terakhir di tahun ini aku manfaatkan dengan mencari data dan berkeliaran disekitar China Town kota Padang yang dikenal sebagai kawasan pondok (atau orang Padang bilangnya kampuang cino). Kemarin mememang banyak ada banyak acara yang diadakan disekitaran pecinaan, salah satunya adalah festival kota tua yaang diadakan leh EO yang kebetulan adalah teman2ku anak2 AIESEC juga. Karena aku mang udah disana dari pagi jadi ga da salahnya juga kan aku bantu2 mereka sediki.
Jam 11 aku udah sampai dirumah duka HTT, pada dua jenazah yang disemayamkan disana masih akan dilakukan berbagi upacara keagamaan sesuai dengan agama sijenazah. Kebetulan mereka terdiri dari dua agama yang berbeda. Yang satu Katolik dan satunya lagi Budha, pada saat aku sampai disana keluarga Katolik sedang melakukan misa Requem, ditengah2 misa ini keluarga Budha melakukan pula upacara kematian Terayada yang dipimpin seorang Pandita Budha (seorang wanita), upacara ini dilakukan dengan berdiri mengelilingi jenazah sambil mebaca kibat suci yang dipimpin oleh seorang Pandita. Wah bentrokan dong kedua upacara jadinya, tapi tampaknya ndak ada masalah dengan hal ini bagi mereka, umat Katolik bernyanyi dan umat Budha tetap khusuk melantunkan mantra dan bacaan kitab suci sambil membunyikan lonceng.
Karena misa Katolik dimulai duluan maka mereka juga lebih cepat selesainnya jadi tanpa membuang waktu aku mewawancarai sang pastu yang memimpin misa pastur Abel Maia. Perbincangan kami seputar tatacara pengurusan jenazah dengan ajaran katolik dan sampai sejauh mana gereja Katolik dapat menerima adat istiadat Tionghoa (cari tau lagi kegiatan adat apa saja yang tidak bisa diterima oleh gereja).
Selesai dengan pastur aku mencegat ibu Pandita, tapi beliau ada janji lain untuk mendoakan orang yang sakit keras ditempat lain. Beliau menyarankan aku menemui sang romo di Vihara dekat taplau (tapi lupa nama romonya). Baeklah tapi tidak sekarang karena aku ndak ada persiapan, lagian aku harus ke rumah abu abadi.
Setelah nyasar dua kali akhirnya rumah abu ini aku temukan,,,dijalan yang ternyata juga udah dua kali aku lewati. Tidak banyak informasi yang bisa aku gali dari pak Bernard sang penjaga rumah, tidak mengizinkan juga untuk memotret bagian dalam dari rumah abu (harusnya diam2 aku potret saja) dan terkesan aku buru2 "diusir" dari tempat itu.
Rumah abu yang berada dibawah naungan HBT ini terdapat di jalan Pasa Batipuah. Ruangan utama adalah ruangan tempat menyimpan abu dimana terdapat rak dan lemari2 kecil tempat menyimpan abu yang disusun sampai kelangit2 ruangan, pintu dari setiap lemari kecil tempat menyimpan abu ini terbuat dari kaca sehingga terlihat dari luar adalah sebuah wadah untuk meletakkan hio, papan nama dan photo si mendiang dan dibelik papan nama itu diletakkan abu yang disimpan didalam sebuah guci. Ada beberapa lemari yang berisi dua buah guci dan ternyata mereka adalah sepasang suami istri. Pada bagian depan tepat disebelah kiri dan kanan pintu masuk terdapat altar doa untuk agama Katolik dan Budha.
Sejak didirikan dan diresmikan oleh walikota pada tahun 1999 silam rumah abu ini hanya berisi 200 abu. Prosedur penitipan abu ini adalah dengan membayar sumbangan ke HBT (perlu riset lebih jauh ke BHT tentang hal ini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar